Three

36 16 6
                                    

Deburan ombak menjadi pemandangan mata indahnya kali ini. Suasana tenang yang Ia rindukan sejak dahulu akhirnya tercapai di sela-sela kesibukannya menjadi pelajar tingkat akhir. Perasaan sedih, bahagia, bangga terhadap apa yang sudah Ia lalui selama ini membuatnya jauh ingin mengetahui seperti apa masa yang akan mendatang.

Kehidupannya yang berpindah-pindah dengan segala drama yang ada. Keluarga yang baik namun idealis. Teman-teman yang peduli dengan caranya masing-masing. Hampir seluruh sudut pandang manusia yang Ia pernah temui Ia mengerti.

Dengan berharap penuh ada keajaiban yang mungkin nggak akan pernah terjadi lagi, Ia berharap hari itu tidak akan pernah tiba. Hari dimana Ia menjadi manusia yang tidak akan pernah diterima apa isi kepalanya.

Ia harap hari itu tidak akan pernah ada lagi dalam hidupnya. Seumur hidupnya. Terlihat egois namun Arsen punya hak untuk kebahagiaan dirinya sendiri.

"Sen, kalo liat ombak laut gini. Gue jadi inget dulu sebahagia apa nyokap main air bareng bokap." suara itu menghancurkan lamunannya. Bima. Teman rusuhnya itu kali ini benar-benar tenang.

Bima menghela napasnya sebentar, "Dan kalo dipikir-pikir, bahagianya manusia itu sederhana banget nggak sih?" Bima tersenyum sembari melihat deburan ombak yang indah disana. Arsen mengangkat sudut bibirnya kecil.

Arsen sadar bahwa setiap manusia mempunyai sisi dan kisah kelamnya masing-masing. Cara bahagia dan cara hidup masing-masing. Dan memang, ada beberapa hal yang nggak bisa dipilih.

Bima nggak memilih dirinya untuk menjadi seorang broken home.

Dan, Arsen.

Arsen nggak pernah memilih dirinya untuk memiliki kehidupan nomaden.

Arsen menyentuh bahu Bima berharap Bima sedikit bisa tenang dan melupakan hal yang melukai hatinya itu.

"Gue baik-baik aja, Sen. Lagi pula gue nggak milih ada di posisi ini. Jalan hidup gue udah kayak gini dari skenario Tuhan." Arsen melirik teman di sampingnya ini sebentar lalu membuang pandangannya ke arah pasir di bawah kakinya. "Bahkan gue jungkir balik atau salto pun, kalo kata Tuhan gue bakal kayak gini. Ya akan kayak gini." kali ini Arsen benar-benar melihat sisi lain dari Bima.

"You're such a toughness one, Bim." Bima tersenyum mendengarnya. "You too, Man!" Arsen mengangkat sudut bibirnya menyadari bahwa betapa pentingnya bersyukur atas apa yang dimilikinya saat ini.

Karena, cepat atau lambat, semua akan berlalu. Mau atau nggak mau.

"Thanks, Bim." Bima melemparkan baru kerikil yang ada di tangannya sejak tadi lalu membisikkan sesuatu disana. Arsen hanya mengernyitkan dahinya bingung apalagi tingkah temannya satu ini.

Bima melihat ke arahnya kemudian menyerahkan beberapa batu kerikil yang ada di dekat pasir pantai. "Bisikin ke batu ini apa hal yang lo harap nggak akan pernah terjadi. Dan buang batunya ke arah laut." Arsen sedikit tertarik namun tidak ada gerakan dari sana.

Bima kembali menatapnya, "Kata nyokap gue, apapun yang tenggelam ke laut pasti bakal pergi dan susah buat balik lagi. Dan gue harap, hal yang nggak pernah lo harapkan itu benar-benar lenyap dan nggak akan balik lagi." jelasnya membuat Arsen terkekeh pelan.

Kedua pemuda itu melakukannya. Dengan sedikit lelucon dan harapan bahwa benar apa yang dikatakan ibundanya Bima.

"Gue harap beneran nggak akan balik lagi." Bima menghela napasnya dengan tenang sembari melihat kemana arah batu itu akan tenggelam. "Thanks me later." ucapnya membuat tatapan sinis Arsen muncul kembali ke permukaan.

"Gue laper, mending cari makan. Sekitar sini banyak seafood enak." Arsen mengangkat satu alisnya, ragu.

"Kata nyokap lo lagi?" Bima terkikik geli, "Engga." Baru saja Arsen merasa tenang, Bima menjawab. "Kata bokap." Arsen menghela napasnya lelah dan menyesal mendengar jawaban itu keluar dari mulut Bima.

Voyage (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang