Four

27 12 1
                                    

Lampu neon dan orange menyorot wajah kokohnya, suasana ramai tidak mengusik sama sekali isi kepalanya. Suara canda dan tawa yang kini menjadi pemandangan indahnya, beberapa teman kelompok SMA yang cukup dekat dengan Arsen berada disini untuk merayakan perpisahan sekaligus kemenangan atas kelulusan mereka.

Tidak lupa dengan Bima, sejak hari itu Bima sedikit menjaga jarak dengan teman judesnya itu. Pikirnya, Arsen memang butuh waktu.

Bima mungkin tidak bisa mengerti sepenuhnya apa yang Arsen inginkan dan rasakan tapi Bima bisa mengganti hal itu semua dengan sebuah pemakluman yang jarang orang lakukan.

Arsen hanya butuh space.

Bima dengan keyakinannya mencoba untuk meraih kembali teman judesnya itu, "How are you, bro?" tanyanya berusaha santai padahal hatinya gugup setengah mati.

Arsen yang sadar akan kedatangan Bima menoleh dengan sigap, bertukar pandangan dan, "Ngambek lo kelamaan." ucapan itu membuat Bima yang sedari tadi kikuk menjadi tertawa lepas.

"I just give you some spaces. Nothing more." lugas Bima membuat Arsen melempar tatapan sinisnya, lagi. Bima berdecak kesal lalu menghamburkan pandangannya ke arah mug milik Arsen. Matcha. Bima mengernyitkan dahinya, yang ia tahu manusia judes ini sangat tidak menyukai Matcha.

"Matcha?" suara Bima membuat Arsen menoleh ke arah cangkirnya lalu bertukar pandang dengan Bima. "Nggak semua hal yang nggak gue suka harus gue hindarin kan?" tanya Arsen dengan nada mengintimidasi membuat Bima mengangguk pasrah. "Lo kesambet, fix."

"Mencoba nggak ada salahnya. Hal yang nggak gue suka, nggak selamanya bakal selalu ada." ucapan itu membuat Bima mengernyitkan dahinya, kenapa jadi bijak sekali teman judesnya ini.

Baru ingin menanyakan sesuatu tentang pendidikan selanjutnya Arsen angkat bicara, "Lo kapan ngajuin essay?" tanyanya datar membuat Bima bergumam sebentar memikirkannya.

"Bareng lo. Lo ngajuin, gue ngajuin." Bima merasa tenang dengan jawabannya, yang disebut justru tertawa kecil.

Bima menunjukkan ekspresi bingungnya melihat Arsen tertawa, "Gue udah ngajuin seminggu yang lalu." Bima membulatkan matanya terkejut dan jujur, Arsen menikmati ekspresi itu dengan bahagia.

"Makanya tadi, gue bilang ngambek lo kelamaan." ucapnya membuat Bima panik dengan isi kepalanya sekarang. Arsen masih dengan lengkungan lebar di bibirnya merasa menang melihat Bima menderita.

"Lo kenapa nggak bilang sih?!" Bima hampir meledak tapi ia tidak bisa marah, ini bukan seratus persen kesalahan Arsen.

"Lo nggak nanya." Ucapan itu sungguh membuat Bima semakin memerah dan ingin mengeluarkan air matanya. Essay yang dibutuhkan cukup rumit dan sulit, ia butuh atau bahkan sangat butuh bantuan Arsen. Dan yang ia takutkan Arsen tidak akan membantunya jika sudah terlambat seperti ini. Itu semua karena Bima tahu Arsen punya pikiran yang ideal.

"Jangan ketawa! Bantuin gue, please." Arsen menghela napas panjangnya, jawabannya menentukan nasib Bima. Bima berhati-hati akan itu, "Lagipula nggak selamanya kan penderitaan lo ini bikin gue bahagia. Sekali-sekali boleh lah." Arsen menang dengan kalimat sarkasnya barusan.

Bima berdecak, "Anjing lo, Sen." Arsen justru semakin senang mendengarnya.

Sedikit rasa empati tumbuh dari sana, "Iya, gue bantu." Arsen meneguk cangkir berisi matcha latte-nya itu dengan raut wajah tidak sedap.

Mendengar jawaban tersebut Bima senang bukan main, Arsen tidak sekejam itu ternyata. Ia masih memiliki hati nurani yang mungkin nggak semua orang dapat merasakan dan mendapatkannya.

Voyage (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang