Nine

16 3 0
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak <3

---

Lintasan sintesis menghiasi mata indahnya, betisnya yang kekar dan lembab menjadi bukti bahwa ia telah berlari untuk beberapa putaran. Anton yang duduk di sampingnya hanya meneguk habis air mineral yang ada di botolnya membuat lehernya bergejolak dan terlihat maskulin.

Arsen mengakui bahwa kharisma ayahnya tidak ada yang bisa menyaingi. Ia kembali memandang sekitarnya berharap bahwa ia bisa pulang sekarang. Tempat ini terlalu ramai membuatnya gelisah dan tidak nyaman.

"Mau kemana lagi, Nak?" Anton membuka suara, Arsen menoleh sebentar. "Pulang. Mama sendirian." Anton tersenyum kecil dari sana dan mengangguk.

"Whatsapp Mama gih. Bilang kita makan malam di luar." Arsen menoleh dan mengangguk paham lalu mengeluarkan ponselnya.

"Mama tuh kalo prepare lama, jadi info aja dari sekarang." Arsen hanya mengangguk karena malas terlalu banyak cerita. Sungguh, ia lelah. Ia hanya perlu mandi.

Setelah melewati beberapa lampu merah, mereka sampai di tujuan. Rumah dinas yang baru untuk mata Arsen. Disana ia mendapat satpam yang cukup ramah.

"Mandi hei buruan!" Belum juga Arsen menapakkan kakinya di depan pintu, Diana sudah heboh dan ini kali pertama Arsen melihatnya sebagai ibu-ibu 'beneran'.

Anton tertawa, "Sabar dong, Mam." Arsen tersenyum kecil di ujung bibirnya melihat orang tuanya bersikap aneh hari ini.

"Sok atuh mandi, kan ada dua kamar mandi. Mama udah mandi." Diana mendorong kecil bahu Arsen dan Anton berbarengan membuat tubuh mereka sedikit maju. 

Setelah ritual mandinya selesai, Arsen siap dengan kaos hitam polos, celana hitam adidas serta sepatu slop vans catur. Diana serta Anton duduk di ruang tengah dengan baju rapihnya.

Arsen memandang penampilan orang tuanya dari atas ke bawah lalu kembali memandang penampilannya. Kenapa jauh sekali?

"Dek... kemeja kamu mana?" Diana menegur lalu Arsen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Emang harus formal kayak gitu?" Arsen bertanya dengan nada bingung.

"Iya." jawab Diana berbarengan dengan Anton. Arsen diam sebentar, lalu memandang kembali kedua orang tuanya.

"Arsen pake ini aja." putus Arsen membuat Anton menghela napasnya pasrah.

"Oke, berangkat." Diana memutus perdebatan antar keluarga kecilnya ini. Sejujurnya Arsen tidak suka hal-hal rumit seperti itu, kalo pun mau harus ada pemberitahuan lebih awal. Sesuatu yang dadakan membuat kepalanya pusing.

Roots Cafe and Resto, mobil mereka sudah sampai di tujuan dan papan nama itu membuat otak Arsen mengeja dengan spontan.

Sebelum masuk, tempat ini terlihat kecil bagi Arsen akan tetapi setelah melihat ke bagian dalamnya tempat ini lumayan berkelas dan cukup luas.

"Ini tempat yang Papa dapetin dari rekomendasi Om Tino, Sen. Bagus kan?" Arsen hanya mengangguk lalu kedatangan mereka bertiga disambut hangat oleh para pelayan disana.

Sepertinya Anton telah memesan meja VIP untuk makan malam kali ini. Para pelayan itu mengarahkan langkah mereka untuk naik lift menuju lantai 2.

Setelah pintu lift terbuka lebar, susunan kursi serta meja yang tertata elegan menghiasi mata indah Arsen. Ia suka dengan hal-hal rapih dan elegan seperti ini, matanya selalu berbinar untuk itu.

"Silahkan, Pak Anton." Pelayan yang ramah dan menawan ada di samping meja yang mereka pesan. Arsen duduk dengan perasaan tenang, Anton benar-benar menghibur matanya dengan makan malam seperti ini.

###

Mata abu-abu pekat pemuda ini tidak lepas dari lampu-lampu bangunan di hadapannya. Hal yang bisa membuatnya lebih tenang dari kelamnya kisah hidup Bima hanya dirinya sendiri.

Sejujurnya, ia bukan Bima yang dikenal Arsen. Dirinya yang sebenarnya bukanlah seperti yang Arsen kira.

Di balik guyonan dan kalimat-kalimat absurdnya justru banyak sekali kesedihan yang Bima pendam. Ia pikir hanya Arsen satu-satunya orang yang bisa memacu dirinya untuk menjadi penghibur di sela-sela kesedihannya.

Suara pintu terbuka membuat lamunannya hancur, Bima menoleh ke arah suara dan menemukan ibunya disana.

"Kok belum tidur, Mi?" tanyanya lalu mematikan puntung rokok yang ada di tangannya tersebut. Wanita itu menghampirinya dengan sebuah berkas di tangannya itu.

Bima mendongak lalu mengambil berkas tersebut. Bima membukanya lalu membaca dan mengerutkan dahinya bingung. "Formulir untuk siapa?" Bima bertanya dengan nada tenang karena pikirnya tidak ada yang aneh dari sana.

"Buat kamu lah." Wanita itu menjawab membuat Bima membulatkan matanya terkejut. "Bima?" wanita itu hanya mengangguk.

Bima menatap ibunya tidak percaya, apa dirinya akan seperti Arsen kali ini? Mengikuti apa kemauan orang tua demi cita-cita yang tidak ia inginkan.

"Mami pengen kamu terjamin masa depannya, Bim." Bima hanya diam dengan rahang yang mengeras.

"Mami egois." jujur, Bima kecewa dengan sikap ibunya yang seperti ini.

Bima pergi meninggalkan Ghina disana sendirian. Bima keluar dari rumah dengan suara knalpot motor yang sangat keras menciptakan getaran di bahu Ghina.

Dalam sekejap rasa kacau mengalir di tubuhnya, baru saja ia merasa tenang dengan kesunyian yang ia miliki.

Bima tidak tahu lagi harus mengadu pada siapa, Arsen telah benar-benar pergi. Ia sendirian sekarang, Bima hanya butuh teman.

Dirinya mematung di bangku pinggir jalan ditemani gelapnya malam. Banyak orang berlalu lalang tapi Bima tidak memperdulikan hal itu. Yang ia lakukan sekarang hanya menangis, pelupuk matanya sudah basah tapi tidak ada gerakan sedikitpun dari sana untuk menghapusnya.

"Hal apa sih yang bisa bikin cowo nangis sampe sendirian kayak gini?!" suara itu menghentikan pikiran Bima. Bima mengangkat pandangannya dan berusaha menebak siapa gadis di hadapannya ini.

Sebungkus tissue mengarah ke tangannya, Bima buru-buru mengusap semua air matanya itu dengan lengan dan jaket jeans nya.

Perempuan itu tertawa melihat tingkah Bima yang malu dan merasa seperti terancam dengan kedatangannya.

"Lo siapa?" Bima bertanya dengan sedikit keras. Ia belum pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya.

"Anak Sunshine?" perempuan itu bertanya membuat Bima semakin terkejut. Dari mana perempuan ini tahu bahwa dirinya pernah bersekolah disana.

"Lo hacker ya?" Bima membuat ekspresi panik dan hal itu justru terlihat konyol untuk gadis yang ada di hadapannya kini.

Gadis itu duduk di sampingnya dengan jarak beberapa senti, Bima menjauh sedikit karena merasa tidak aman. 

Gadis itu menoleh ke arahnya lalu tersenyum dan telunjuknya mengarah ke motor yang ia parkir di depan bangku tersebut.

"Itu stiker Sunshine." Bima melirik ke arah motornya membuat ia sadar dan malu bukan main. Bisa-bisanya ia lupa ada stiker itu disana.

Gadis itu tertawa renyah, "Lo ngapain disini nangis malem-malem?" Bima mendelik, "Bukan urusan lo." Gadis itu mengangguk paham akan tetapi raut wajahnya berubah menjadi tidak berseri.

"Jangan nangis sendirian, di pinggir jalan lagi. Nanti lo dikira anak hilang terus di angkut sama satpol pp." Bima menekuk bibirnya, kenapa gadis ini menyebalkan sekali?

Gadis itu pergi dari hadapan Bima namun ia meninggalkan sebungkus tissue di samping tas Bima. Bima ingin memanggilnya tapi punggungnya sudah hilang dari pandangan.

"Siapa dia?" batinnya bertanya tapi rasa penasaran tidak ada dari sana.

###

Happy reading! <3

To be continued

See you next part.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Voyage (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang