Two

38 16 3
                                    

Jarinya mengetikkan sesuatu di atas benda pipih berwarna hitam dengan cepat dan hati-hati. Matanya tajam merasa fokus dengan apa yang Ia lontarkan dalam pesannya.

Ting!

Pesan masuk membuatnya memalingkan wajah ke arah nakas di sebelah kursi yang Ia duduki. Dengan pasti Ia bangkit secara sigap dan mulai mencari pakaian dalam almarinya. Berusaha mencocokkan dengan apa yang menjadi acaranya hari ini.

Acara amal.

Kemeja flanel dengan warna biru langit yang cukup sopan dan celana bahan katun yang dibeli sewaktu mamanya berada di Jogja. Merasa dirinya siap, Ia bergegas meninggalkan garasi dengan mobilnya serta membawa beberapa barang yang akan Ia donasikan.

"Hei, Man!?" ucapan itu merusak gendang telinganya. Bima berulah lagi, "Gimana outfit gue? Bagus kan?" Arsen melirik kecil ke samping dan pupil matanya membesar. "Lo gila?" tanya Arsen dengan nada mengintimidasi membuat Bima terkejut.

"Apa yang salah, Bro?" tanyanya dengan kening mengkerut. "Ini acara amal, kenapa lo kayak mau tanding nge-rap. Ganti sana!" ucapan itu membuat Bima menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Apa iya?

Dengan kalung di lehernya dan juga celana yang lumayan kurang bahan menurut Arsen, itu sangat tidak sopan. "Oke, sabar. Sebentar." Bima sigap keluar dari mobil dan kembali dengan pakaian yang membuat Arsen menggelengkan kepalanya pusing.

"Gimana?" tanya Bima membuat Arsen menghela napas lelah. "Terserah lo." Bima menyengir kuda karena dirasa ini sudah sangat sopan. Bima mengenakan baju koko yang Ia beli untuk lebaran tahun lalu.

Setelah melewati banyak rintangan hari ini, dari Bima yang sangat ribet dengan outfit-nya hingga jauhnya jarak Bandung ke Jakarta. Arsen menghela napas lega karena sampai di tujuannya. Rumah Belajar.

Anak-anak yang sedang bermain dan belajar disana mengetahui kedatangan Arsen langsung bergerombol menyusul kemana Arsen berada. "Kak Arsen! Aku kangen banget, kak Arsen jarang banget kesini lagi, kak Arsen sibuk ya?" beberapa pertanyaan itu membuat Arsen tertawa renyah. Astaga lucu sekali anak-anak itu, pikir Arsen.

"Kakak nggak kemana-mana kok. Cuman lagi fokus untuk ujian yang sebentar lagi bakal kakak laksanain." ucapnya tenang, Bima terkejut bukan main. Arsen berubah 180 derajat. Arsen yang judes tidak ada disini.

"Ya udah, yuk masuk ke dalam. Ngapain coba nyusul kakak keluar?" tanya Arsen lalu tersenyum merangkul beberapa anak yang tergapai oleh tangan kekarnya itu. "Kak Arsen, disini ada Rora lho." Arsen mengernyitkan dahinya kebingungan.

"Rora?" anak kecil itu mengangguk secara berbarengan. "Iya, Rora. Dia baik banget bacain kita dongeng kemarin malam waktu kita mau bobo." Arsen merasa penasaran namun tidak ingin terlalu banyak pertanyaan. Ia hanya mengangguk mengimbangi perasaan senang anak-anak itu.

"Eh Arsen udah dateng, maaf Ibu nggak sempat nyambut. Ibu tadi abis dari pasar." ucap Bu Sri membuat Arsen tersenyum dan mengisyaratkan bahwa tidak masalah. Arsen memperkenalkan Bima kepada Bu Sri dan Bima sangat diterima dengan baik disana.

Setelah acara amal berjalan dengan lancar, langit malam mulai menyelimuti Rumah Belajar. Arsen dan Bima yang mulai kelihatan letih beristirahat dengan duduk santai di gazebo depan Rumah Belajar tersebut.

Sampai tidak sadar bahwa listrik disana padam, suara jeritan menyadarkan mereka. "Eh kalian kenapa?" tanya Arsen sembari berlari menuju ke dalam rumah. "Kak gelap!! Aku takut!" ucapan itu membuat Arsen ikut panik dalam hatinya.

Arsen mencoba tenang agar anak-anak disana tenang. "Tenang yah. Kakak cari penyebabnya oke? Kalian disini aja bareng-bareng. Jangan misah." titahnya membuat mereka semua patuh.

"Sepertinya turun, Sen." suara itu mengejutkan Arsen. "Iya, Bu." Arsen berusaha mencari dimana saklar penghubung dari semuanya itu. Bu Sri bilang itu ada di teras belakang, samping kebun bunga Bu Sri.

Dirasa cukup gelap, Arsen mencari keberadaan ponselnya untuk menciptakan cahaya sedikit dari sana. "Shit!" ternyata Arsen melupakan ponselnya di gazebo tadi. Merasa tidak ada yang perlu disesali, Arsen mencoba memberanikan diri untuk terus mencari dalam keadaan gelap gulita.

Suara pohon yang terkena angin membuat bulu kuduk Arsen berdiri. Sudah cukup luas menelusuri teras belakang ini, Arsen menemukan sesuatu yang janggal. Kenapa ada orang lain disini? Tadi Ia sendirian, atau memang itu tidak terlihat karena keadaan gelap?

"Dia manusia Sen, nggak mungkin hantu." ucapnya dalam hati berusaha tenang.

Arsen mendekati dengan langkah hati-hati, lalu, "Arghhh!" yang disentuh terkejut dan yang menyentuh ikut terkejut. "Gila ya lo?!" teriak Arsen membuat gadis itu memunculkan wajah yang sedari tadi tertutup oleh rambutnya.

"Lo kali yang gila! Untung gue nggak punya riwayat sakit jantung! Sinting!" ucapnya membuat Arsen menatapnya dengan tajam. Sialan. "Ngapain lo disitu?!" tanya Arsen membuat gadis itu kembali mendengus kesal.

"Lo buta?" tanyanya membuat Arsen semakin kesal. "Gue nanya." Gadis itu menyorot saklar penghubung dengan senter di ponselnya membuat Arsen malu sekaligus bingung.

"Gue nggak bawa senter, jadi nggak keliatan." ucapnya sinis. Gadis itu menatapnya dari bawah ke atas membuat Arsen semakin kesal dengan tingkahnya.

"Udah sana, ngapain lo disini?" tanya gadis itu dengan nada meremehkan. "Gue nyari ini." Arsen menunjuk saklar penghubung yang ada di hadapannya kini. "Ini mati listrik, bukan turun." jawab gadis itu membuat Arsen menghela napas panjang.

"Ya Allah, kata Bu Sri turun." pelannya yang masih bisa didengar oleh gadis ini. "Kalo turun, rumah sebelah nggak akan ikutan gelap." jawabnya yang kali ini Arsen setuju. Gadis itu menutup kembali saklar penghubung tersebut dan mulai meninggalkan Arsen sendirian disana dengan keadaan gelap gulita. "Sialan tu cewe." umpatnya dalam hati.

Setelah berusaha melewati kegelapan yang jujur menakutkan itu, Arsen kembali berkumpul dengan Bu Sri dan anak-anak di ruang tengah. Tidak lupa dengan Bima.

Dan, gadis menyebalkan itu?

"Rora, Rora kemana aja? Tadi aku mau kenalin Rora sama kak Arsen tau." ucap anak kecil itu sembari memeluk pinggang Rora. Rora melihat ke arah Arsen dan Bima, dua pemuda yang asing untuknya.

"Oh itu yang namanya Rora?" Arsen terkejut dengan tatapan kesalnya. Rora memutar kedua bola matanya malas melihat laki-laki penakut di hadapannya ini.

"Oh kakak penakut itu ya?" ejek Rora membuat anak-anak itu justru tertawa renyah. Tidak lupa Bima. "Diem." bisik Arsen kepada Bima membuat Bima membungkam mulutnya sendiri dengan telapak tangan.

"Arsen takut gelap toh?" tanya Bu Sri dengan senyuman yang terlihat samar karena mereka hanya ditemani dua batang lilin. "Engga, Bu. Cuman kalo gelap banget ya nggak bisa bohong." ucap Arsen mengecil membuat Rora menunjukan ekspresi menangnya. Arsen melempar tatapan sinis membuat Rora semakin senang mengejeknya.

Di sela-sela renyahnya tawa mereka, Rora mengisyaratkan ibu jari yang terbalik ke arah Arsen tanpa disadari oleh siapapun. Yang artinya "Cemen." Arsen yang melihat hal itu hanya bisa menyimpan kesal dalam hatinya. Reseh sekali gadis yang baru pertama kali ditemuinya itu. Tidak ada sisi malaikat di dalam dirinya, semua ucapan anak-anak tadi tidak dapat Ia percayai. Sama sekali tidak.

###

To be continued.
See you next part.

Voyage (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang