Part 6

2.2K 316 1
                                    

"Let me hug you. Afterall, you are my brother. My dad's only son."

Indira memeluk Timon juga istrinya. Perkataan Indira membuat Timon tersenyum senang.

"Ich habe eine hübsche kleine Schwester.  Deine Tante ist hübsch und mutig, Sera, (Saya punya adik yang sangat cantik. Sera, kamu punya bibi yang cantik dan berani,)" Ujar Timon pada putrinya.

Bayi bernama Seraphine itu tertawa kecil tanpa mengerti maksud ayahnya.

"Bye-bye little lady. We'll meet again someday. Okay?" celoteh Indira pada Seraphine yang ada di dekapan istri Timon.

"I'll find our dad and give him a punch in his chest because he doesn't contact you for a while," kata Indira pada Timon.

"Sie sagte, sie werde Aaron finden und ihm einen Schlag auf die Brust geben, weil er dich nicht kontaktiert, (Dia bilang, dia bakal nemuin ayah kalian. Terus tinju dadanya karna Aaron ga pernah ngehubungin kalian lagi,)" papar Arka pada Timon.

Mendengar ucapan Arka, Timon tertawa. "Ya, punch him like you do to punching bag," balas Timon membuat mereka semua tertawa.

Timon berbaik hati mengantarkan mereka kembali ke pusat kota Mostviertel. Selepas kepergian Timon, mereka langsung menuju perpustakaan kota.

Di sana ada pusat informasi yang bisa mereka tanya.

"Ich suche Aaron Walters. Er war einer der Freiwilligen hier. (Saya mencari Aaron Walters. Dulu dia relawan di perpustakaan ini.)" Arka bertanya pada pegawai pusat informasi yang sedang berjaga.

"Ah, Aaron Walters. Warte eine Minute. Ich werde das Buch bekommen, (Ah, Aaron Walters. Tunggu sebentar. Aku ambil bukunya dulu,)" jawab wanita berkacamata itu pada Arka.

Mereka berdua berdiri menatap ruangan sekeliling mereka. Perpustakaan itu terbilang tua. Dekorasi ruangan bagian dalam maupun luarnya terlihat tua namun menarik.

Sangat nyaman untuk dijadikan tempat membaca. Lalu ada foto para gubernur kota dari masa ke masa. Juga sejarah singkat Kota Mostviertel.

Perempuan berkacamata itu datang kembali dengan buku tebal di tangannya. Ia mulai membuka satu persatu halaman buku, mencari keberadaan informasi Aaron Walters di buku besarnya.

"Wenn es Ihnen etwas ausmacht, wer sind Sie für ihn? (Kalau boleh tau, kalian siapanya Aaron Walters?)" tanya penjaga pusat informasi itu.

"Sie ist seine Tochter und sucht ihn, (Dia anaknya dan sedang mencari keberadaan Aaron,)" jawab Arka.

"Sie hat sein Aussehen. vor allem die Augen, (Dia mirip Aaron. Apalagi matanya,)" komentar penjaga pusat informasi itu.

Arka tersenyum ramah mendengar perkataan penjaga pusat informasi. "Katanya lo mirip bokap lo. Apalagi mata lo," ungkap Arka pada Indira.

Indira tersenyum mendengar ucapan Arka. Selama ini ia mengira jika dirinya sangatlah mirip dengan sang ibu. Namun ternyata semua orang di sini mengatakan dirinya mirip dengan ayahnya.

Lagi dan lagi, penjaga pusat informasi itu bercerita sedikit tentang Aaron. Tentang jasa-jasanya pada perpustakaan kota itu.

Bahkan foto Aaron bersama gubernur kota itu di pajang di salah satu dinding perpustakaan. Rasa senang dan bahagia mengalir dalam tubuh Indira mendengar cerita penjaga pusat informasi.

Ayahnya yang baik dan disukai banyak orang. Ayahnya senang menbantu semua orang.

"Seine letzte Adresse ist Saint Gilgen.  Es ist eine Stadt im Nordwesten Österreichs.  Nahe der deutschland Grenze, (Alamat terbarunya adalah Saint Gilgen. Kota di barat daya Austria. Dekat perbatasan Jerman,)" jelas penjaga pusat informasi.

Tidak ada alamat rinci. Yang tertulis hanyalah Saint Gilgen. Dengan sedikit tambahan jika penjaga itu mendengar kalau Aaron Walters membuka sebuah panti asuhan di Saint Gilgen.

Urusan mereka selesai dengan pusat informasi di perpustakaan kota. Berbekalkan satu nama kota, mereka akan lanjut mencari keberadaan Aaron.

Hari sudah menjelang sore. Arka sibuk mencari kereta menuju Saint Gilgen di waktu terdekat.

"Semua kereta lagi ke-postpone buat tujuan Saint Gilgen. Ada jalur kereta yang ga available. Katanya sih ada kecelakaan kereta. Jadi kurang lebih baru bisa ke sana besok sore," papar Arka pada Indira.

"Opsi lain ga ada?" tanya Indira.

"Naik bis kalo mau. Cuma menurut gue sih sama aja waktu tempuhnya. Bis jam 10 malam nanti. Terus ga ada perjalanan langsung, transit dulu Eugendorf, Jerman buat beberapa jam. Saran gue kalau gini mending kita nunggu kereta. Toh jalan di bis kurang nyaman juga berjam-jam kayak gitu."

Indira sedikit menimang masukan dari Arka. "Kalau gitu kita nginep di sini aja."

Keputusan Indira membuat Arka langsung memesan tiket kereta untuk keberangkatan paling cepat setelah jalur kereta kembali tersedia. Yaitu besok di pukul 6 malam.

Mereka kembali ke loker penitipan barang lalu menuju penginapan terdekat di sana. Karena Mostviertel bukanlah kota besar, penginapan di sini pun tidaklah begitu modern dari segi penampilan.

Kebanyakan terletak di bangunan lama era 1500-an. Indira memasuki kamar yang telah mereka sewa. Sebuah jendela yang langsung menghadap jalanan. Kamar mandi dengan nuansa vintage yang unik. Serta ranjang dari besi yang mencirikan suasana dahulu.

Tadi saat berada di rumah Timon, Timon memberikan sesuatu pada Indira. Itu merupakan kuda kayu kecil yang dibuat sendiri oleh Aaron.

Kala itu Aaron membuatnya karena teringat akan bayi Indira. Lalu dia memberikannya pada Timon. Timon merasa benda kecil itu sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh Indira bukan dirinya.

Mata Indira menelaah mainan kuda kecil di tangannya. Ada sebuah ukiran nama di bagian kaki kuda itu bertuliskan My Lost Diamond.

Ia kira selama ini semua baik-baik saja. Tapi ternyata baik ayah maupun ibunya sangat tersiksa dengan keadaan mereka. Bisa-bisanya pula Syanendra memisahkan mereka tanpa merasa sedikit rasa kasihan akan dua manusia ini.

Semakin banyak hal-hal peninggalan ayahnya yang didapati Indira. Kotak kecil yang Syanendra berikan, beberapa barang serta foto milik Aaron dari Timon, juga kesaksian dari orang-orang yang ia jumpai.

Kini tangan Indira mengambil agenda milik ibunya. Mungkin ia akan lanjut membaca kembali agenda itu.



Jakarta, Maret 1996

Aku sudah mengetahuinya. Dalang dibalik penculikan Mas Arya dan kehancuran bisnis ayah. Keluarga Tjokrotama. Yang seharusnya menikahkan putranya denganku. Mereka merasa tidak terima dengan pernikahanku serta aku yang telah memiliki putri. Kenapa mereka setega itu? Pada akhirnya aku tetap tidak bersama anak mereka dan pada akhirnya aku kehilangan dua orang yang berharga. Kakakku dan juga belahan jiwaku.



Bali, Agustus 1996

Aku menangis setiap menginjakkan kaki di kota ini. Kenangan bersama Aaron bermunculan begitu saja di kepalaku. Tapi entah kenapa, Indira sangat menyukai Bali. Ia seperti Aaron. Persis.



Jakarta, Desember 1996

Sudah berapa lama aku tak berkirim pesan dengan Aaron. Tak ada pesan balasan datang. Padahal aku terus menyuratinya. Apa dia sudah melupakanku dengan Indira? Tampak bukanlah seorang Aaron. Mungkin ini sudah waktunya aku menyerah. Menyerah akan perasaan dan cintaku untuk seorang pria.



Indira memejamkan matanya. Apa ibunya tau jika kakek selama ini menahan surat yang masuk dari Austria? Apa ibunya tau sebagian suratnya tidak pernah sampai terkirim ke sana?

Suara ketukan membuyarkan fikiran Indira. Ia buru-buru membuka pintu, melihat Arka yang berdiri di depan pintu kamarnya.

"Eum, gue tau ini bukan waktu yang tepat. Tapi mungkin kita bisa keliling liat kota. Sekalian lo lepas penat lo. Tapi kalo lo capek gapapa, gue bisa pergi sendiri," tawar Arka pada Indira.

Tatapan Arka jatuh pada kuda kayu yang digenggam Indira. Ia tau mainan itu adalah pemberian dari Timon. Mungkin saja Indira sedang sibuk dengan fikirannya di dalam saat Arka mengetuk tadi.

"Tunggu sebentar ya, biar gue beres-beres."

Mengejar Papa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang