2. Letter

55 26 40
                                    

Rumah megah dengan taman indah ini tak henti dipandang Angela, berdecak kagum dengan apa yang dilihatnya hingga membuatnya berhenti di gerbang rumah itu.

"Apa kau akan berdiri di sana menunggu rumah itu menghampirimu?" interupsi Emma menyadarkan Angela dari lamunannya.

"Ah, ratu maaf. Eh dimana barang-barangku?" bingung Angela, bukannya tadi ia membawa banyak barang? Lalu sekarang dimana?

"Barangmu?"

"Iya ratu, tadi di si-"

"Sudahlah, ayo masuk barangmu sudah di kamarmu." Emma melangkah masuk ke pekarangan rumahnya diikuti Angela.

Angela berpikir, bagaimana bisa ada rumah semegah ini di tengah lebatnya hutan selatan kota? Darimana listriknya? Bagaimana jaringan selulernya? Dan bagaimana dengan bahan makanannya?

Sedetik kemudian, Angela mengetuk pelan dahinya. Ia baru ingat, siapa pemilik rumah ini.

"Ayo masuk." Emma membuka pintu rumah ini, untuk yang kedua kalinya Angela dibuat takjub.

"Kamarmu di lantai atas, pintu berwarna coklat."

"Baik ratu terima kasih." Emma mengangguk, menatap Angie yang mulai menapaki anak tangga.

Emma mendudukkan dirinya disofa. Semua yang terjadi padanya hari ini membuatnya pusing.

Pertama, tentang si guru berambut perak itu. Yang kedua, si anak siren yang mendapat perundungan. Yang ketiga, alasan Angie disini.

"Angela Sea. Apa yang kau lakukan disini? Ini bukan tempatmu, tapi kau juga masuk dalam lindunganku. Kau merepotkan." monolog Emma.

Emma memejamkan matanya, tidak, ia tidak mengantuk dan tidak membutuhkan tidur. Hanya saja, matanya lelah.

"Angela, berbaurlah dengan manusia. Ambil jiwanya sedikit demi sedikit, lalu cari ratu keenam, jadilah pengikutnya dan berkhianatlah"

"A-aku tidak bisa, aku takut. Berkhianat pada salah satu dari tujuh ratu itu sebuah keburukan untukku."

"Lakukan ini demi bangsamu."

"Aku tidak bisa! Bagaimanapun juga kalianlah yang membuat ratu keenam murka. Kalian penyebabnya."

"Apa kau benar-benar tidak mau!? Kau benar-benar menolak?!"

"Ya! Aku senang saat kau menyuruhku untuk mengambil jiwa manusia, setidaknya aku bisa memilih manusia yang mana! Dan menjadi pengikut ratu keenam itu suatu kebanggaan! Lalu, berkhianat padanya? Lebih baik kau bunuh aku, Ibu!"

"Kau! Tidak pantas kau menjadi siren! Tidak pantas menjadi anakku! Dasar bebal! Aku mengutukmu atas izin Poseidon agar kau tak menjadi siren lagi! Dan hidup menderita selamanya bersama para manusia!"

Emma membuka matanya dan spontan berdiri. Potongan kisah hidup Angie. Nafasnya tersengal, iris mata coklat itu kini berubah menjadi hitam. Ia marah.

"Jadi selama ini ia tak lagi memiliki ekor? Tak lagi dapat bertahan dalam air? Apa tadi, Poseidon? Apa dewa itu gila telah mengijinkan ibu Angie mengutuknya?" monolog Emma.

Hari mulai gelap, hujan deras mengguyur dan petir yang bersahutan. Angin kencang berhembus, jika manusia yang tinggal di rumah itu dapat dipastikan ia diburu rasa takut.

"Apa lagi ini ratu?" Emma menoleh, mendapati Angie berdiri di belakangnya.

"Hanya badai biasa." datar Emma.

Emma menatap Angie, sungguh apa yang dikenakan Angie sangat kumal.

Mengetahui sang ratu menatapnya tak enak, Angie menunduk, "Maaf ratu, aku tak punya pakaian bagus untuk bertemu denganmu." lirihnya.

"Kau buang semua pakaian lusuhmu, aku akan meminta temanku membawakan yang lebih pantas untukmu." ucap Emma lalu melangkah keluar. Melihat badai.

"Ratu benar-benar makhluk dengan mulut pedas, dan angkuh, juga kata-kata sarkas. Tapi aku menyukainya.'' monolog Angie, lalu kembali ke kamarnya.

Emma berdiri di teras setelah ia mengirimkan telepati untuk Rachel, menatap tajam rintik hujan yang turun.

Hatinya gundah, satu masalah selesai. Yaitu alasan Angie di sini. Masih ada beberapa yang belum terselesaikan. Tentang Angie yang tak melawan saat dirundung, dan apa yang harus ia lakukan pada lord itu.

Manik tajam Emma menatap fokus pada sesuatu yang berlari ke arahnya. Bukan manusia. Itu serigala, berwarna putih.

Serigala itu berhenti tepat di hadapannya, memberi hormat.

Baru kali ini Emma seterkejut ini, bagaimana tidak? Serigala putih itu yang awalnya akan dijadikan peliharaan itu berubah wujud menjadi orang yang ia kenal,

Jeffrey Alexis Key

"Kau?"

"Em-eh ratu." Jeffrey membungkukkan tubuhnya, memberi salam pada Emma.

Emma bingung, "Apa yang kau lakukan?"

"Aku ingin mengunjungimu." Emma menatap Jeffrey, pemuda itu tidak berbohong.

"Dengan tujuan?"

"Merindukanmu."

"Aku tidak."

"Oh, ayolah ratu aku hanya bercanda. Aku mengantarkan ini untukmu." Jeffrey menyerahkan sebuah amplop kecil berwarna merah pada Emma.

Emma menerima amplop itu, "Dari siapa?"

"Lord."

Emma mengalihkan atensinya, menatap menyelidik pada Jeffrey.

"Kau serius?" selidik Emma.

"Ya ratu, dan ya... Ratu harus berhati-hati, itu pesan dari Lord." jelas Jeffrey.

"Jeffrey, apa kau anak Hermes?" dari nada bicara Emma, Jeffrey tau ia sedang diintimidasi.

"Eh- em- i-itu-" tatapan tajam dari manik Emma membuat Jeffrey gelagapan.

"Jangan berbohong, aku tau kau anak Hermes." final Emma.

Jeffrey bungkam, apa yang dikatakan Emma itu memang benar.

"Apa karena aku mengantar surat dari Lord untuk ratu lalu ratu menyimpulkan bahwa aku anak Hermes, si pembawa pesan?" ucap Jeffrey dan tersenyum remeh.

"Kau anak Hermes. Aku tau itu sejak awal bertemu denganmu." tatapan datar Emma membuat Jeffrey sedikit takut.

"Iya benar, aku anak Hermes." lirih Jeffrey.

Emma menghela nafas, "Pulanglah Jeff, hampir pagi, kau harus bersekolah besok."

"Baik ratu.'' Jeffrey membungkuk hormat lagi pada Emma lalu berubah menjadi serigala putih dan berlari kencang menembus hutan.

Emma menatap amplop merah digenggaman nya itu lalu masuk ke dalam rumah.

Kamar elegan dengan warna cat gold dan perapian modern inilah tempat Emma.

"Apa yang dia tulis?" ucap Emma menatap amplop itu.

Perlahan, Emma membuka amplop itu , mengambil isinya. Kertas berwarna warm white. Emma mulai membaca nya dalam hati.

''Kau terlalu cepat menemukanku dan aku tahu  tujuanmu. Jangan langsung menyimpulkan bahwa kau dapat dengan mudah mencapai tujuanmu karena kamu telah menemukanku. Berusahalah, aku tidak ingin kau mendapatkanku dengan mudah. Ingat itu"

-leo

Untuk pertama kalinya, Emma merasakan patah hati seperti manusia.















Lanjut ga nih?

Lord, Love, and War [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang