Gadis berambut pendek itu berjalan dengan sangat lesu, seolah ia tak ingin menuju ke tempat yang sekarang ia tuju, walaupun ia merasa lapar dan lelah malam ini karena ia baru selesai kelas tambahan.
Jemari tangannya terus meremat kuat ujung almamater sekolah yang ia kenakan.
Gadis itu berbelok ke sebuah gang sempit dan sedikit kumuh. Ia terus berjalan lambat, dan langkahnya terhenti didepan sebuah rumah kecil bercat coklat.
Ia menatap sendu rumah itu, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya gadis itu berjalan mendekati pintu rumah.
Ceklek!
Ia baru memegang gagang pintu, namun seseorang membukanya dari dalam.
Seorang lelaki dewasa melipat kedua tangannya didepan dada, menatap bengis gadis itu.
"Pulang terlambat?!" bukan sambutan selamat datang, melainkan bentakan yang keluar dari mulut lelaki itu.
"Ma-maaf." ucap gadis itu tertunduk.
"Cepat mandi dan ganti bajumu lalu ke bar! Aku tidak butuh penolakan! Dasar jalang!" lelaki itu mencengkeram lengan gadis itu.
Si gadis meringis menahan tangis dan sakit, "Ta-tapi a-aku lapar, ayah."
"Lapar?! Kau bilang lapar?! Kau saja tak menghasilkan uang untukku! Lalu kau bilang lapar?! Makan saja batu itu!" lelaki itu menguatkan cengkeramannya.
Air mata yang ditahan mati-matian oleh gadis itu meluruh pada akhirnya, "Se-seharusnya ayah yang bekerja, bukan aku.."
Plakk!
Gadis itu lebih memilih melepaskan cengkeraman dilengan kirinya, dan melangkah masuk ke rumah. Daripada ia haru menerima tamparan dipipi kirinya.
Aroma alkohol, puntung rokok, dan sampah bungkus makanan ringan yang menyapa indra penciuman dan penglihatan gadis itu.
Gadis itu memilih abai, ia melangkahkan kakinya menaiki satu-persatu anak tangga rumahnya.
Kamar dengan nuansa pink ini menjadi saksi tangisnya disetiap malam. Sendu.
"Mengapa aku se-sengsara ini? Ibu, mengapa kau pergi tak mengajakku? Aku rindu." gadis itu memeluk erat sebuah pigura foto seorang wanita cantik.
"Aku ingin pergi dari sini, tapi aku harus tinggal dimana?"
"Apa aku harus menyusulmu Ibu?"
"Aku iri dengan Emma, Angela, Jeffrey, dan Felix karena mereka hidup dengan sangat damai." air mata gadis itu masih terus mengalir membasahi pipi putihnya.
"Hei apa yang kau lakukan anak bodoh! Cepat!"
Teriakan sarkas dari lantai bawah oleh ayahnya membuat gadis itu mengusap kasar airmatanya.
"Kau harus kuat Helena! Harus!" monolognya pada dirinya sendiri.
Ya, gadis itu adalah Helena Aorin, gadis malang yang kehilangan ibunya empat tahun lalu dan harus tinggal dengan ayah tirinya yang begitu kejam.
Mengapa ia tidak memilih melarikan diri dari rumah itu? Itu rumahnya, rumah milik ibunya yang dibangun dengan jerih payah sang ibu.
Seperti inilah keseharian Helena, dipaksa bekerja apapun untuk memenuhi kebutuhan sang ayah yang hanya berjudi, mabuk, dan marah-marah.
Helena mengenakan dress merah selutut dan ketat ditutupi coat panjang coklatnya.
Ia menyambar tas selempang kecil miliknya, mengenakan high heels, dan mematut dirinya di depan cermin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lord, Love, and War [HIATUS]
FantasiEmma mencintai Leo, sang raja es terkuat dan raja dari segala raja. Hanya, semua tak seindah bayangan Emma.