Bab 5

10K 1.4K 70
                                    

Happy reading. Jangan lupa vote dan komen yang banyak.

Luv,
Carmen

__________________________________________

Jika Keira berharap ini hanya mimpi, dan ia segera sadar, maka ia akan kecewa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika Keira berharap ini hanya mimpi, dan ia segera sadar, maka ia akan kecewa.

Ia tidak terbangun juga.

Jika ini mimpi, maka ini menjadi mimpi yang sangat panjang.

Setelah wanita paruh baya yang Kaira tebak adalah semacam perawat meninggalkan tempat ini, ia memanfaatkan kesempatan untuk melihat lebih jelas. Ini jelas semacam... tenda. Bentuknya, dindingnya. Semacam kemah suku. Seperti sesuatu yang pernah dilihatnya di televisi. Seperti sesuatu yang pernah dipelajarinya di sekolah. Kini, ia semakin bingung.

Lalu seorang pria masuk bersama sang perawat. Saat tirai tersibak, Keira mencoba mengintip. Dari tempatnya berbaring, ia sulit melihat pemandangan di luar. Namun terik dan cahaya terang merembes masuk dan Keira mengernyit tak nyaman.  Baru ia menyadari bahwa ruangan tempatnya berbaring masih terasa nyaman karena beberapa unit pendingin ruangan portable yang setia menurunkan suhu. Tempat ini seperti campuran modern dan kuno, antik dan eksotis dengan tetap memperhatikan kenyamanan. Jadi... di manakah ini?

Sementara itu, pria tadi mendekat bersama sang perawat. Setelah Keira tak lagi sebingung tadi, ia baru sadar bahwa wanita itu mengenakan penutup kepala seperti penduduk-penduduk di Moroko dan sekitarnya. Seperti juga di bagian Timur Tengah yang juga panas dan kering. Dokter itu sendiri juga tampak seperti pria Arab. Dia mengenakan setelan biasa, celana dan kemeja dengan jas seperti dokter pada umumnya. Walau wajahnya tampak sangar oleh cambang dan janggut, dia memiliki mata hitam hangat dan senyum menenangkan. Pada tahap ini, Keira tak sanggup lagi memikirkan apa yang tengah terjadi. Ia hanya mengingat tentang kecelakaan itu tapi semua yang ada di sekelilingnya sekarang tak menjelaskan apapun.

"Halo Nona, aku senang kau sudah sadar."

Pria itu juga berbicara dalam Bahasa Inggris dan walaupun aksennya berbeda, Keira mengerti.

"Aku Dokter Hasyid. Siapa namamu?"

"Keira," jawab Keira langsung. "Keira. Keira... Aku... Keira."

Pria tadi mengangguk-angguk. Dan Keira merasa lega. Setidaknya, seseorang peduli dia siapa.

"Aku akan memeriksamu sekarang."

Keira hanya mengangguk dan membiarkan Dokter Hasyid memeriksanya. Pria itu detail, tak terburu-buru dan tetap ramah. Sikapnya sedikit menenangkan.

"Demammu sudah turun. Luka-lukamu tidak serius, hanya luka benturan di dahi dan kepala yang membutuhkan lebih banyak waktu. Katakan padaku, apa yang kau rasakan sekarang, Nona Keira?"

Bingung, sakit, kepalanya berdentam, sedikit mual dan juga... takut.

Tanpa sadar, ia meluahkam semua yang dipikirkannya dan merasa lega ketika dokter itu hanya tersenyum seolah dia mengerti.

"Itu biasa, kau baru saja mengalami benturan di kepala. Sangat wajar bila kau bingung dan sakit, juga takut. Tapi tidak apa-apa, you will feel better soon."

"Berapa... berapa lama aku pingsan?"

"Sehari lebih."

Tanpa sadar, Keira mencengkeram ujung lengan jas sang dokter.

"Apa yang terjadi padaku? Di mana orang-orang yang bersamaku?  Apa mereka semua baik-baik saja?Kenapa... kenapa kami ada di sini? Ini di mana? Kenapa aku..."

Dokter itu masih memasang wajah yang sama. Datar, tenang, tak menampakkan reaksi apapun.

"Kau... bepergian bersama seseorang?"

"Ya. Ya, mereka... baik-baik saja, bukan?"

"Aku tidak tahu, Nona."

Wajah Keira tampak bingung. "Ap... apa..."

"Kami menemukanmu sendirian. Kau pingsan di depan perkemahan."

What the hell has happened? Bagaimana Keira bisa berakhir di sebuah perkemahan? Apakah mereka mendatangi sebuah perkemahan?

"Ini... ini..."

"Nona Keira, tenanglah," ujar dokter itu lembut. "Apa yang terakhir kau ingat?"

Terakhir diingatnya? Tentu saja kecelakaan itu. "I... We had an accident. Me... me and... aku... aku tidak ingat, tapi aku bersama beberapa orang." Keira seolah bisa mencium bau obat-obatan yang tajam, bau darah, ia berusaha keras mengingat tapi sakit yang tajam membelah kepalanya. "Aarrgg!!"

"Nona..."

Keira membuka matanya lagi, berusaha menjelaskan. "Di mana aku sebenarnya? Aku... aku seharusnya ada di rumah sakit."

"Nona, tenanglah, biar kujelaskan," potong dokter itu lembut, tangannya mengusap bahu Keira ringan. "Kau mengalami benturan keras di kepala, yang kau rasakan saat ini adalah efek gegar otak. Kau tidak hanya pusing dan sakit kepala, saat ini kau kebingungan, jadi jangan memaksakan diri."

"A... apa?"

"Sudah kukatakan, kami menemukanmu dalan keadaan pingsan. Di atas punggung seekor unta. Kau sepertinya tersesat di gurun, berjalan terlalu lama, kau juga dehidrasi. Kau mungkin terbentur sesuatu sehingga kepalamu terluka. Dan gegar otak ringan memuatmu bingung dan sulit mengingat kembali. Kau butuh istirahat."

Sepanjang dokter itu menjelaskan, Keira melihatnya dengan kening berlipat. Ia berusaha memutuskan siapa yang lebih gila di antara mereka. Apa ia berhalusinasi? Atau pria ini sudah tidak waras?

"Gurun?" Keira tertawa bergetar. "Unta? Lelucon apa ini?"

"Kapan kau mengalami kecelakaan yang kau sebutkan tadi?" tanya dokter itu ramah.

"Huh?"

"Kecelakaan yang kau sebutkan tadi," ulang sang dokter ramah dan bahkan tersenyum menatapnya.

"Agus... Agustus 2012."

Dokter itu mengangguk.

"Itu hal terakhir yang kau ingat?"

Keira mengangguk. In fact, itu satu-satunya hal yang bisa ia ingat, dengan ngeri Keira menyadari hal itu. Apa yang sedang terjadi padanya?

"Nona Keira, sekarang sudah Juni 2019, kau berada di Bhastan, saat ini kau ada di Gurun Qhariyadh."

How to Please a SheikhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang