Bab 8

8.5K 1.3K 55
                                    

Happy reading.

Luv,
Carmen

___________________________________________

Keira mengerjap.

Lalu ia menatap pria yang tengah balik menatapnya itu. Sulit berkonsentrasi ketika sepasang mata hitam itu menyorot tegas ke arahnya. Keira merasa... kecil.

"Si... siapa?" tanyanya ulang. "Sh... shake?"

"Sheikh. Sheikh Rashid al-Khalid."

Keira bersumpah ia sudah berkonsentrasi penuh. "Sh... Shake? Alcoholic?"

"Kau! Apa kau sedang meledekku?!"

Keira menggeleng cepat. Pria itu sudah tampak menakutkan dengan tubuh besar dan wajah gelapnya yang setengahnya ditumbuhi bulu kasar. Pria ini seperti beruang dan Keira tak ingin membuat sang beruang marah. "Ma... maaf, bisakah... kau pelan-pelan?"

Pria itu menatapnya lama sampai Keira ingin menangis. Lalu dia mendengus kasar. "Sheikh Rashid al-Khalid. My name is Sheikh Rashid al-Khalid," ucap pria itu lambat dan penuh penekanan.

Keira mengikuti. "Sh... Sheik Ra... shit al-Kholit." Pria itu tak tampak puas, tapi dia mengangguk.

"Panggil aku Rashid. With d, not t. Rashid. Ya Tuhan, apakah sesusah itu?"

Keira menahan tawa yang tiba-tiba ingin keluar. Tapi pria itu memelototinya hingga Keira menggigit bibir pelan. Rashit? Shit? Pantas saja pria itu tampak sangat kesal. "Ra... Ra... shid, Sir."

"Hmm..."

Keira menurunkan tatapannya dari pria itu. Ia masih tak sanggup berlama-lama menatap mata itu. Setelah terbangun yang kedua kalinya, Keira merasa... lebih baik. Ia sudah tahu, ini bukan mimpi. Walaupun Keira berharap sebaliknya, tapi saat ini adalah kenyataan. Entah bagaimana, ia terdampar di gurun ini.

"Maafkan... sikapku tadi."

Keira mengangkat mata dan menatap pria itu. Ada kilat samar di sana, seolah pria itu terkejut dengan ucapannya. "Kau sudah merasa lebih baik?"

Keira mengangguk. "Iya, kurasa. Kepalaku sudah tidak begitu sakit lagi. Dan walau aku tak bisa mengingat... ada banyak hal yang tak bisa kuingat..." Ia berhenti sejenak dan mengoreksi kata-katanya. "Sebenarnya malah, aku tak ingat apapun tapi aku tak setakut dan sepanik tadi lagi. I was confused but i didn't mean to harm anyone."

"Jadi apa kau sudah ingat sekarang? Kenapa kau ada di sini? Apa yang terjadi padamu?"

Keira menggeleng sedih. Ia tidak ingat apapun kecuali kecelakaan itu. Ingatannya seolah tersangkut. Tapi Keira juga tahu kalau orang-orang ini mengatakan yang sebenarnya. Hanya itu penjelasan paling masuk akal, kenapa ia ada di sini, di gurun di tengah benua lain, lebih tua beberapa tahun dari usia 16 yang diingatnya. Jadi... ia sudah 23 sekarang? Tanpa memori apapun, selain nama depannya, umur dan potongan kecil ingatan kabur tujuh tahun yang lalu. Menakjubkan. Ia bahkan tak ingat wajah orangtuanya, atau apakah ia memiliki keluarga, atau bagaimana hidupnya selama 23 tahun ini. Bagaimana mungkin?

"Aku masih... tak bisa mengingat apapun. Hanya namaku dan usiaku. Aku bahkan tak ingat nama belakangku."

"Jadi apa yang kau ingat?"

"Aku... aku mengalami kecelakaan. Hanya itu... oh, aku tak... aku tak bisa mengingat apapun... hanya aku ada di dalam mobil, malam, di tengah hujan, aku ada di belakang mobil, ada cahaya terang, mungkin ada truk di depan... aku tak ingat... kurasa... kurasa mobil itu menghindar lalu... menabrak sesuatu. Aku..." Keira meringis keras saat rasa sakit itu menghantam kepalanya. Ia memejam sejenak. Dan dorongan untuk menangis muncul lagi, tapi Keira menahannya. Ia wanita, bukan gadis remaja lagi. Tapi situasi ini sungguh membuatnya frustasi.

"I am sorry."

Keira hanya mengangguk.

"Maaf, tapi aku... aku ada di mana?" Keira ingat kalau dokter yang merawatnya sudah memberitahunya tapi Keira saat itu tak mendengarkan. "Katanya aku ada di gurun."

"Kau ada di Gurun Qhariyadh. Negara Bhastan."

Bhastan? Apakah Keira pernah mendengarnya?

"Timur Tengah?"

Pria itu mengangguk. "Ya, Timur Tengah."

Apa sebenarnya yang dilakukan Keira di sini? Ia berusaha mengangkat lengannya, teringat pada luka di kepalanya. Tapi pergelangannya tersangkut.

"Apa? Kenapa?" Keira menggerakkan lengan lain untuk menyibak selimut dan mendapati pergelangan kanannya diikat. Ia mengangkat wajah menatap pria itu. "Kenapa aku..."

"Kau ingin melukai dirimu sendiri. This is to protect you."

Keira kembali tenang.

"Please, lepaskan aku. Aku tidak akan histeris lagi."

How to Please a SheikhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang