Bab 18

7.6K 1.1K 39
                                    

Happy reading, semoga suka.

Ebook sudah tersedia di Playstore ya.

Juga ada di Karyakarsa ya, cari aja di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Juga ada di Karyakarsa ya, cari aja di sana.

Yang nunggu updatean wattpad, here you go.

Luv,
Carmen

_________________________________________

Jadi, kau membalas satu persatu surat ucapan terima kasih dari anak-anak di panti asuhan?"

Keira bertanya seolah-olah wanita itu kaget. Bahwa Rashid mau repot-repot membalas surat-surat yang dikirimkan anak-anak panti asuhan yang menjadi tempatnya berdonasi selama ini.

"Ya," jawabnya tapi tak mengangkat kepala dari laporan yang dibacanya.

Saat itu, mereka ada di ruang kerjanya. Di sore hari, tepat tiga hari setelah mereka tinggal bersama. Dan seperti yang dijanjikannya pada Keira, wanita itu mulai membantunya. Jadi artinya, setiap kali ia berada di ruang kerjanya, mencoba fokus untuk bekerja, ada kemungkinan sangat besar kalau Keira juga turut hadir di sana.

"Kau baik sekali, Sheikh."

Ucapan lembut bernada tulus itu membuat Rashid mengangkat kepala. Ia menatap Keira dari seberang meja, mereka duduk berhadap-hadapan. Wanita itu sedang sibuk menuliskan kalimat balasan serupa pada setiap kartu yang akan dikirimkan kembali bersama cek bulanan. Hanya satu kalimat, yang isinya menyemangati anak-anak itu, biasanya disiapkan oleh sekretarisnya dan Rashid hanya membubuhkan tanda tangan, tapi walau hanya tampak seperti kartu ucapan biasa bagi kebanyakan orang, namun bagi anak-anak malang tersebut, perhatian sederhana seperti itu akan membuat mereka merasa... berharga, diinginkan.

"Baik?" tanya Rashid, menelengkan kepala pelan.

"Iya, kau memberi mereka... harapan. Di dunia di mana mereka tak memiliki orang tua, perhatian langsung seperti ini membuat mereka merasa... dicintai, diinginkan. Kartu-kartu seperti ini, perhatian-perhatian seperti ini yang membuat mereka merasa lebuh bahagia, tidak terlalu kesepian, menyadari ada seseorang di luar sana yang benar-benar peduli."

Rashid terkejut wanita itu memiliki pemikiran seperti itu. Banyak yang berpikir bahwa apa yang dilakukannya ini tidaklah berguna, sebagian pasti merasa Rashid hanya ingin menjaga citra publiknya. Mereka tidak mengerti bahwa Rashid melakukan ini semua demi memberi secercah harap untuk anak-anak tersebut. Persis seperti yang dikatakan Keira, Rashid ingin anak-anak itu tak terlalu kesepian dan membiarkan mereka tahu bahwa ia akan ada untuk mereka - jika suatu saat dibutuhkan. Selalu menyenangkan ketika tahu bahwa ada seseorang yang selalu bisa diandalkan.

"Thanks."

"For what?" Keira tersenyum bingung.

"For saying those."

"Oh." Keira lalu mengatupkan mulut lalu mulai menggigit-gigit bibirnya seolah dia malu dan tidak tahu bagaimana harus merespon balik.

Sebaliknya, bagi Rashid, tindakan Keira sangatlah mengganggunya... secara... ah, ia bahkan tak ingin memikirkannya.

"Berhentilah menggigit bibirmu," geramnya rendah.

Wanita itu otomatis berhenti. Wajahnya tampak merona malu.

"Aku... kau akan melukai bibirmu," lanjutnya lagi susah-payah.

"Oh..."

Rashid merutuk dalam hati.

"Sudah selesai?" tanyanya kemudian tiba-tiba. Ia menjulurkan tangan untuk meminta tumpukan kartu itu. "Aku masih harus menandatanganinya."

Seolah bangun dari keadaan mati rasa, Keira mengoceh gugup. "Oh... ya... umm.. sudah. Sebentar... ummm... ini... ini... Sheikh."

Rashid menyambar kartu-kartu itu sebelum Keira sempat menyerahkannya. Lalu ia berpura-pura fokus memeriksa dan membubuhkan tanda tangannya sambil memberi perintah lain.

"Ada sebagian lagi di atas rak, di dalam keranjang."

"Ap... apa?"

"Surat-surat yang harus dibalas," jawab Rashid singkat sambil menunjuk ke arah rak yang dimaksud.

"Oh... oke."

Keira berdiri, begitu terburu hingga kursinya berderit di atas lantai parkit mengilat milik Rashid.

"Ma... maaf."

"No big deal," sahut Rashid.

Lalu wanita itu berbalik memunggunginya dan berjalan menuju rak. Baru pada saat itu, Rashis mengangkat kepalanya lagi untuk memperhatikan Keira.

Dan ia kembali menghela napas.

Padahal Keira sudah berpakaian dengan sopan. Blus longgar abu, rok panjang hitam jelek yang melebar menutupi sampai telapak kakinya, sama sekali tidak mengenakan sesuatu yang mencolok. Tapi tetap saja, dengan pakaian sesopan itu, Rashid tetap melihat Keira dengan cara yang lain. Wanita itu terlihat begitu menggoda. Dan semua yang bisa dipikirkan oleh Rashid terhadap Keira adalah segala sesuatu yang sangat tidak sopan.

Apa yang sudah merasuk dalam kepalanya, sih?!

Kini, ia melihat Keira yang sedang berjinjit bersusah payah untuk meraih keranjang di atas rak. Jelas, rak itu terlalu tinggi untuknya. Kesal, Rashid berdiri. Ia beralasan bahwa ia tak ingin keranjang itu jatuh menghantam wajah cantik Keira lalu menambah masalah baginya, tapi Rashid tahu ia sebenarnya benar-benar peduli.

Ia tiba tepat ketika keranjang besi sialan itu nyaris jatuh dan mematahkan tulang wajah wanita itu. Sambil memaki terkejut, Rashid menyambar sisi keranjang itu dan mendorong benda tersebut kembali ke atas rak. Lalu tangannya yang lain tanpa sadar memeluk pinggang wanita itu, setengah menjauhkannya, melindungi Keira dengan menariknya menjauh.

"Really, Keira? Apa kau tidak melihat tangga di sebelah sana?" ujar Rashid kasar, menahan diri untuk tak memaki.

"Ma... maaf, Sheikh."

Wanita itu mencoba berputar di dalam pelukan Rashid. Saat dia mendongak untuk menatap Rashid, itulah kesalahan pertama Keira. Wanita itu berada begitu dekat dengan Rashid, ia bisa mempelajari tekstur halus kulit wajah wanita itu, merasakan napasnya, menatap bibirnya yang penuh, kedua bola mata birunya yang membelalak terkejut. Dia membeku, begitu juga Rashid. Waktu berdetak lambat. Sementara jantung Rashid bergemuruh pelan. Sial, ini benar-benar sial. Tapi godaan untuk melekatkan bibir dan mencuri sedikit manis dari bibir menggoda tersebut begitu besar sehingga Rashid tak sanggup menolak.

Rashid menunduk lebig dekat, bergerak menutup jarak yang semakin sempit sementara Keira hanya diam menunggu dengan kedua mata menatapnya nanar. Hanya tinggal beberapa milimeter, Rashid lalu tersentak pelan dan melepaskan pelukannya. Mendorong Keira ke tepi, ia meraih keranjanf surat sialan itu.

"Bagaimana kalau kau membuat kopi untuk kita?" tanyanya sambil menurunkan keranjanf tersebut. Napas Rashid sedikit tersengal, suaranya lebih serak dari biasanya. "I really need coffee."

"Yy... yes. Ya, Sheikh."

Lalu Keira kabur secepat kilat seolah dia tak tahan berada sedetik lebih lama di dekat Rashid.

Well, siapa yang sanggup? Bahkan orang buta sekalipun bisa melihat ketegangan seksual mereka. Udara di sekitar mereka memberat oleh ketegangan itu. Siapapun yang ada di dekat keduanya pasti bisa merasakannya.

Shit! Ini benar-benar bencana, Rashid, batinnya pada diri sendiri.

How to Please a SheikhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang