2

7.2K 1K 56
                                    


"What do you mean? Kerjaan? Gak adalah!" Timmy membelalak dengan wajah tak habis pikir dengan permohonan teman liburannya kemarin. "Lo sendiri kenapa gak ajukan cuti? Gue pikir lo liburan sama gue kemarin itu sudah dengan persetujuan kantor."

Anira menggeleng lemah seraya mengaduk frozen yoghurt yang ia konsumsi malam ini. "Gue bolos. Urus cuti di kantor gue susah, makanya nekad bolos aja dua minggu demi ikutan liburan sama elu."

Timmy yang rambutnya dicat warna merah muda itu, menghela napas kasar dengan wajah tak habis pikir. "Gak ada posisi buat lo di kantor gue, dan gue gak bisa nolong lu soal tagihan kartu kredit itu."

"Gue pusing, Timmy! Anaya menghilang! Sebelum kita ketemuan sekarang ini, gue tadi udah ke kost Anaya dan kata ibu kosnya, itu anak udah gak tinggal di sana lagi. Duit gue sama dia ada dua puluh jutaan dan itu dari gesek tunai kartu kredit. Gue dipecat siang tadi dan gak yakin bulan depan udah dapet kerjaan baru."

"Ya itu urusan lo, masalah lo." Timmy menyedot smoothies yoghurt miliknya. "Kita gak ada kesepakatan apa pun terkait liburan kemarin. Kita bayar masing-masing semua tagihan liburan dan gue gak bisa bantu apa pun, karena lusa udah take off ke Amerika."

Tubuh Anira rasanya lemas dan seperti tak memiliki nyawa apalagi tenaga. Dua teman yang ia anggap satu visi dan misi, nyatanya tak bisa menolong dirinya yang tengah dilanda kesulitan.

"Kalau memang gak ada kerjaan buat gue, ya sudah. Gue bisa cari kerjaan sendiri, kok." Anira mengangkat dagunya. Ia anti terlihat lemah dan tak ada harga diri di depan umum seperti ini. "Lima puluh juta bukan jumlah besar buat gue."

"Nah itu lo tahu. Cari duit segitu sih gampang. Bokap lo kan juragan ayam goreng. Duitnya pasti banyak."

"Gue gak akan minta tolong bokap. Lima puluh juta itu terlalu kecil bagi dia, dan terlalu mudah untuk gue selesaikan." Anira beranjak dari duduknya di kafe frozen yoghurt ini, lantas mengambil tas kerjanya yang ia letakkan di kursi sebelah. "Thanks buat waktunya. Sorry udah ganggu lo dan gue gak bisa antar lo ke bandara lusa. Lo tahu, gue sibuk."

Tanpa berniat basa-basi lagi dengan temannya ini, Anira segera melangkahkan kaki meninggalkan Timmy dengan hati yang terasa panas dingin.

****

Tak ada hari yang lebih kelam dari hari ini bagi Anira. Terakhir kali, saat mamanya mengembuskan napas terakhir, Anira merasakan itu. Tiga tahun lamanya sudah kejadian itu, dan Anira sudah mulai bangkit dan merelakan takdir yang memisahkannya dengan sang ibu.

Ia melangkah gontai setelah menuruni taksi yang mengantarnya pulang. Tanpa semangat, Anira memasuki rumah dan melewati saja dua pria yang tampak serius berdiskusi di ruang tamu kediaman mewahnya.

Anira tak pernah tertarik dengan urusan ayahnya bersama pria berwajah penuh bekas jerawat yang menjadi asisten merangkap orang kepercayaan sang ayah dalam mengelola bisnis milik orang tua Anira. Namun, langkah gontai Anira harus terhenti saat rungunya mendengar sang ayah bicara kepada Panji.

"Kamu saja tahu, jika saya siap membuka hati untuk perempuan baru."

Mata Anira sontak membelalak dan berbalik cepat menghampiri ayahnya. "Ayah jangan macam-macam. Tidak akan ada perempuan baru atau mama baru untuk Nira!" Suara Anira bahkan terdengar tegas, meski tak berteriak. "Kalau ingin menafkahi perempuan, tambahkan saja jatah bulanan Nira. Jangan melulu Ayah kasih Nira tiga juta per bulan. Kalau bisa, tiga juta untuk satu cabang depot yang Ayah kelola." Anira mendengkus penuh amarah, lalu duduk di salah satu sofa besar ruangan itu.

"Kamu bicara apa, Nira?" tanya sang ayah santai, sambil tersenyum menyambut anaknya yang berwajah masam. "Tiga juta satu depot itu, setara penghasilan Panji, dong. Kalau kamu bisa bekerja seperti yang Panji lakukan, Ayah tidak masalah memberikan uang bulanan segitu."

After Payment DueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang