5

5.3K 941 73
                                    

5.

Senyum Anira tampak semringah sepagian ini. Setidaknya, ia sudah bisa meminta tolong Panji membayar dua tagihan yang sudah jatuh tempo, dua jam lalu. Siang ini, anak gadis Pak Budi sedang berhias diri untuk bertemu calon suami yang tadi memberinya tiga juta untuk bayar dua tagihan.

"Bang Panji mustahil gak jatuh cinta sama gue, kalo lihat gue secakep ini. Aduh, vokalis pelakor mana pun juga kalah sama pesona gue." Dengan bangga dan penuh percaya diri, Anira memoles bibirnya dengan lipstik seharga lima ratus ribu yang ia beli dengan kartu kredit tiga bulan lalu. "Apalagi, lirikan mata gue yang pasti menarik hati. Sementara, gue tarik tunai duit dia dulu, soal hati bisa nanti-nanti. Tergantung situasi dan kondisi."

Entah racauan apa pun yang keluar dari mulut Anira hingga tampilannya sudah sempurna. Ia sudah siap memesan taksi dan pergi menuju salah satu cabang depot milik ayahnya, di mana Panji meminta untuk bertemu siang ini.

"Halo, calon suami Nira." Suara Anira sangat merdu, ringan, dan ceria, kala menyapa Panji yang tengah sibuk menghitung timun dan terong yang baru datang.

Para pegawai yang mendengar sapaan anak majikan mereka, seketika terkejut dan memasang wajah takut. Berbeda dengan Panji yang tetap memasang wajah serius, dengan terus memperhatikan angka jumlah kilogram sayuran yang terkirim siang ini.

"Nisa, tolong bilang Pak Daniswara, kalau kiriman timun dia kelebihan dua kilo. Ini mau dikembalikan atau gimana? Kalau masuk tagihan, harus bicara sama Pak Budi." Gestur Panji masih serius, seakan kedatangan Anira bukanlah hal aneh dan baru. Saat ini, Panji justru mendekati karungan jeruk peras, alih-alih Anira yang berdiri cantik menunggunya. "Sedang jeruk perasnya malah kurang dua kilo, timbangannya. Sepertinya karyawan dia terbalik menimbang pesanan kita. Tolong laporkan saja, nanti saya tembusin ke Pak Budi soal ini."

Setelah memastikan Nissa, salah satu pegawai yang bertugas di meja kasir mencatat laporan dari Panji, pria itu lantas melirik Nira dan meminta gadis itu untuk mengikutinya ke lantai dua.

"Lain kali jangan begitu di depan banyak karyawan. Saya tidak enak dan tidak suka jika ada omongan terkait hubungan kita." Panji mendudukkan dirinya di atas kursi kerja yang ia miliki. Kursi sederhana dengan meja kecil, namun lengkap karena memiliki komputer dan mesin cetak.

Anira mencebik tak acuh. "Biasa aja, kali. Toh kita emang beneran mau nikah." Gadis itu sedikit jaga jarak dengan baskom berisi petai dan terasi, lalu memilih duduk di sebelah Panji, alih-alih di hadapan pria itu. "Aku duduk sini, soalnya gak mau deket-deket sama itu," tunjuknya pada baskom yang Anira maksud.

Panji yang jantungnya mulai kebat-kebit akibat wangi tubuh Anira yang menggoda, berdeham demi menetralkan hormon lelaki yang mendadak bikin keki. Tolonglah, mereka masih belum suami istri, tetapi godaan berahi seringkali membuat pria itu nyaris lupa diri.

"Saya sudah cetak kesepakatan pernikahan kita, dengan klausa yang saya perbaiki." Panji mengambil satu kertas yang tertutup banyak map, lalu mengangsurkan kepada Anira.

Anira tersenyum seraya menerima kertas itu. "Ah, gampang ini mah, yang penting transferan Abang setiap bulan, setiap tanggal jatuh tempo." Ia membaca surat perjanjian itu dengan santai, sebelum keningnya berkerut dengan wajah bingung, lalu berganti amarah. "Loh, kok, klausanya jadi begini?" Mata Anira memancarkan binar penuh tanya. "Ini mah Abang curang namanya."

Panji menggeleng tegas, lalu mengambil kertas itu dan meletakkan di atas meja agar mereka bisa baca bersama. "Satu, Panji dan Anira menikah dan Panji menafkahi Anira sejumlah tagihan cicilan sepuluh kali yang Anira butuhkan. Kewajiban Panji sebagai suami, hanya melunasi utang Anira. Jika Nira butuh tambahan uang, Anira wajib membantu Panji bekerja atau bekerja sendiri."

After Payment DueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang