19

5.1K 885 47
                                    

Panji menarik gas sepeda motornya dengan cukup kencang. Telepon dari Nissa sesaat lalu, membuat pikirannya kacau hingga ia meninggalkan pertemuannya dengan Eva di salah satu cabang yang sedang ia monitori. Otaknya tak habis pikir dengan apa yang Anira lakukan hingga ayah perempuan itu marah tak terkendali dan membuat depot langsung ditutup sementara.

Saat motor matiknya sampai di depot tempat Anira dan mertuanya berada, Panji melihat rolling door depot sudah tertutup, dan hanya menyisakan celah kecil untuk keluar masuk satu orang. Dengan segera, Panji melangkah masuk dan merasa sedikit aneh mendapati banyak wajah yang menatapnya dengan raut bermacam-macam.

"Bapak Budi ngamuk di atas. Gue gak sangka lo sama Anira bisa melakukan hal kaya gitu." Nissa yang hanya terduduk di meja kasir sejak tadi, melirik ke arah tangga. "Kalau habis ini karir lo selesai, gue gak tau apa kita masih bisa bertahan juga di sini sama Anira doang."

Panji tak menanggapi ucapan Nissa. Pria itu menaiki tangga dengan langkah cepat hingga sampai di lantai dua hanya dalam hitungan detik. Saat sampai di lantai dua, Panji melihat Anira yang duduk menunduk di meja kerja, dengan Pak Budi yang berdiri sambil menggenggam bendelan kertas yang Panji tahu lembar cetak tagihan utang istrinya.

"Kenapa harus ke Panji? Kamu masih punya Ayah, Nira."

Panji mendengar ucapan dengan nada penuh tuntutan itu. Punggung Pak Budi tampak tegap dengan tangan yang berkacak pinggang. Dari belakang tubuh itu, Panji bisa tahu dan membayangkan bagaimana wajah majikannya saat ini.

"Berapa yang sudah Panji bayarkan dan berapa sisa utang kamu sekarang?"

Mata Panji kini menatap Anira. Perempuan itu masih menunduk seraya menangis sesenggukan. Panji tak tahu harus bagaimana saat ini. Membantu Anira menjelaskan dengan risiko pernikahannya selesai atau ... ah, Panji tak menemukan solusi terbaik saat ini.

"Pak." Panji akhirnya bersuara, hingga kedua orang di depannya serentak menatap kepadanya.

Pak Budi menatapnya dengan wajah tegas. Panji bahkan tak ingat, apakah pernah ditatap sedemikian tajam oleh majikannya selama ia bekerja di depot. "Kamu laki-laki, Panji. Laki-laki tidak melakukan hal konyol seperti ini."

"Saya ... berniat menolong Anira."

"Dan menghianati kepercayaan saya. Ini juga berarti pelecehan terhadap saya," tambah Pak Budi dengan mata yang masih tajam menghunus Panji. "Berapa saya harus bayar utang anak saya kepadamu?"

Panji terdiam. Mulutnya enggan bersuara dan menjawab total yang sudah ia keluarkan selama menikah dan membayar cicilan utang Anira.

"Panji?" Pak Budi memanggilnya dengan nada yang terdengar mengintimidasi.

"Ayah," panggil Anira dengan tangis yang belum reda. "Ini urusan Nira sama Bang Panji. Ayah jangan ikut campur."

Pria paruh baya itu menatap putrinya. "Kamu anak Ayah dan akan selalu begitu sampai kapan pun. Satu kali ini saja, Anira. Cukup satu kali ini saja kamu kecewakan Ayah dan buat sakit hati Ayah. Sekarang, hitung semua utang yang belum terbayarkan di bank-bank itu, dan berikan catatannya kepada Ayah."

Anira menggeleng. "Ini urusan Nira sama Bang Panji."

"Anira!" Mata Pak Budi bahkan melebar dengan amarah yang semakin kentara. "Ayah tunggu dua menit dari sekarang untuk kamu menghitung sisa utangmu, dan berikan totalnya kepada Ayah."

Tangis Anira pecah lagi, meski tanpa isak. Ia membuka ponsel dan menghubungi satu per satu customer service lima bank kartu kredit yang memberinya utang. Pak Budi dan Panji masih mematung di tempat mereka masing-masing, dengan mata dan telinga yang fokus pada setiap aktivitas Anira.

After Payment DueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang