13

4.8K 995 64
                                    

13.

Panji kurang ajar!

Hingga dua hari setelah malam itu, Anira masih bungkam dan perang dingin dengan suaminya. Panji mencoba menjelaskan jika malam itu sikapnya hanya refleksi terhadap perhatiannya kepada Anira.

"Perhatian sama mesum itu beda jauh! Kalau mau nolong tapi tangannya kotor, bisa kali pake tisu! Anira gak terima Abang berlaku gitu. Kita memang suami istri, tetapi kita punya kesepakatan yang sudah disepakati."

"Tapi kita sudah sering berdekatan seperti itu, Nira. Lagipula, tidak ada yang salah dengan sikap saya."

"Salah besar! Kontak fisik yang kita lakukan gak pake bibir sama bibir. Abang kurang ajar! Nira gak terima diperlakukan begitu." Malam itu, Anira menatap Panji dengan inar penuh emosi. "Nira tahu, setelah kita cerai nanti, status Nira pasti janda. Namun, Nira tetap mau memberikan semua hal berharga Nira untuk pria yang Nira cinta."

Panji hanya menghela napas panjang, lantas pergi ke luar kontrakan. Entah ke mana pria itu menghindar dari perdebatan sengit malam itu. Anira sedang sekeras cangkang kepiting dan sepedas saus padang menu makan malam mereka.

Anira kembali mendengkus kesal, setiap mengingat bagaimana Panji menciumnya. Bukannya apa, masalahnya ia hanya merasa sedikit terganggu dengan desiran asing yang malam itu mengguncang hatinya. Ia berdebar. Meski ringan, tetap saja membuatnya tak tenang. Anira terpaksa menutupi rasa asing itu dengan marah-marah hingga Panji meninggalkannya.

Ini sudah waktunya istirahat. Anira bingung ingin makan apa, karena tak selera melihat lele goreng yang tersaji di dapur karyawan. Ia ingin makan di luar, tetapi sulit karena uangnya terbatas. Rasanya ingin menangis, saat selera makan kita dipaksa harus seirama dengan keadaan.

"Ikan kakap itu lebih enak dari lele. Masa iya gue harus ngunyah lele." Anira bergumam sendiri seraya mencetak tagihan yang harus Panji bayar bulan ini. "Mau sop buntut, tapi tempatnya jauh dan harganya mahal." Pedih. Pedih Anira rasa dalam hati, saat lidahnya lebih cocok dengan daging merah, tetapi ia harus mau makan setiap hari dengan menu unggas dan lele di depotnya.

Dengan enggan dan terpaksa, Anira melangkah menuju dapur karyawan dan mengambil nasi dengan lele goreng dan sambal. Ia kembali ke meja kerjanya, tetapi tak lantas menyuap nasi lele ke dalam mulutnya. Mata Nira terus memindai menu itu dengan perut yang bergejolak minta dinafkahi. Selama perang dingin, Anira dan Panji tak pernah mampir sarapan. Jadi, perur Anira cepat berteriak saat jam makan siang tiba.

Tangan Anira akhirnya mengambil secuil daging lele, lalu mencampurkan dengan nasi dan sambal. Ia membuka mulutnya dengan sangat terpaksa dan mulai memasukkan makanan itu. Matanya terpejam dengan wajah yang tampak menahan mual.

"Gak enak," keluhnya lirih dengan raut ingin menangis. "Tapi gue laper."

Anira ingin menangis rasanya. Ia membuka mata, lantas mengambil es jeruk yang tersedia di mejanya. Ia meneguk minuman itu sebanyak mungkin, berharap mual bisa segera hilang. Ia berpikir, rasa-rasanya lebih baik membeli gorengan saja daripada harus tersiksa dengan menu yang bukan seleranya. Ia hendak membuang nasi dan lauk dalam piring, sebelum Panji datang dengan langkah cepat.

"Jangan dibuang!" Pria itu menegur Anira dengan suara lantang.

Anira mematung dengan wajah kaget. Ia bahkan hanya mengerjap saat Panji mengambil piring dari tangannya, lantas meletakkan piring itu ke meja kerja lagi.

Panji bergerak mengambil nasi di piring baru serta mangkuk kosong. "Ini sop sapi. Kamu makan sekarang." Panji meletakkan piring nasi dan mangkuk berisi potongan sapi, wortel, dan kentang di atas meja kerja, samping piring nasi lele. Tanpa menunggu Anira, ia melahap nasi lele di piring Anira dengan cepat dan lahap.

Anira tak langsung kembali ke meja kerjanya. Perempuan itu masih berdiri di ambang pintu dapur karyawan dengan mata yang menyoroti Panji. Dadanya kembali bergemuruh, entah karena perasaan apa. Mereka tengah perang dingin, bukan? Lalu, mengapa Panji masih peduli kepadanya seperti ini.

Bunyi perut Anira yang sampai di telinga Panji, membuat pria itu menoleh kepada istrinya. Ia melirik Anira dengan sorot tajam dan memberi isyarat agar Nira lekas makan. "Sop kamu bisa dingin dan rasanya tak lagi enak. Lekas makan dan kembali bekerja."

Anira yang juga tak bisa menahan lapar, akhirnya duduk dan makan dalam diam. Mereka tak bicara apa pun, juga Panji yang tak mengambil makan Anira seperti yang biasa mereka lakukan. Saling berbagi makanan dan sepiring berdua. Kali ini, mereka makan dari piring masing-masing, dengan suasana yang canggung dan dingin. Bahkan, setelah piring nasi lele yang ia makan habis, Panji langsung meninggalkan Anira dan keluar depot lagi, entah ke mana.

******

"Mbak, ada yang cari." Seorang karyawan depot menghampiri Anira yang tengah melakukan pembukuan pesanan hari ini. Ini sudah jam pulang dan Anira yakin, seaat lagi Panji akan datang menjemputnya pulang.

"Bang Panji?" tanya Nira tanpa menatap karyawan itu. "Tolong bilangin, kalau Nira masih kerja sedikit lagi."

"Bukan, Mbak. Pelanggan."

Mendengar jawaban si karyawan, mata Anira sontak memicing. "Pelanggan? Ada komplain?"

"Enggak. Cari Mbak Anira katanya."

Melihat keseriusan karyawan itu, Anira akhirnya turun ke lantai satu dan mencari sosok pelanggan yang menunggunya. Saat tahu siapa orang itu, senyum Anira seketika merekah.

"Kak Dion? Kok gak hubungi Anira?" Ia menghampiri Dion, lalu duduk di meja tempat pria itu menikmati gorengan dan kerupuk yang biasa Eva suplai.

"Aku baru pulang jaga. Lewat depot ini, eh kepikiran bungkusin Mama ayam bakar untuk kami makan malam."

Senyum Anira tersungging manis. "So sweet banget sih, Kak Dion. Sama mamanya saja begitu perhatian, apalagi sama istrinya nanti."

Dion tertawa ringan dan lepas, mendengar seloroh Anira kepadanya. Sambil menunggu pesanan Dion dimasak, mereka berbincang ringan dan saling bertukar tawa. Anira dan Dion mengenang masa SMA mereka sebagai adik kakak kelas, hingga senyum tak pernah hilang dari wajah mereka.

"Sebentar. Ada remah-remah kerupuk di ujung bibir Kak Dion." Anira memajukan tangannya, lantas mengusap lembut ujung bibir Dion. "Makan kerupuk aja belepotan kaya anak kecil."

"Kamu perhatian banget," puji Dion yang kini menarik tisu dan membersihkan area sekitar bibirnya. "Eh aku udha dipanggil. Udah selesai pesanan aku. Pamit dulu ya, Nira."

Anira mengangguk seraya terus tersenyum simpul. "Sering-sering ke sini, ya. Beli ayamnya Nira sama kunjungi Nira."

"Siap, Bu Komandan." Mereka kembali tertawa ringan, hingga Dion akhirnya pamit pulang.

Saat Anira hendak membereskan meja dan mengambil tas sambil menunggu Panji datang, langkahnya yang hendak menapaki tangga berhenti saat mendapati Panji tengah berdiri tegang di anak tangga pertama.

"Bang Panji kapan datang?" Anira bahkan mengernyit bingung mendapati suaminya sudah membawa tas kerja yang biasa ia gunakan. "Kok mukanya tegang gitu? Marah sama Nira? Harusnya Nira yang masih marah sama Abang."

Langkah Anira mundur satu dua, saat Panji memajukan tubuhnya hingga Anira bersender pada tembok tangga. "Gak usah cari perkara di depot. Malu sama karyawan lain."

Mata Panji tajam menatap Anira yang kini bergerak kikuk dan ketakutan. "Kamu malu terlihat bersitegang dengan saya, tetapi tak malu terlihat mesra dengan pria lain. Kamu marah besar saat bibir kamu dibersihkan suami, tapi tersenyum saat membersihkan bibir pria lain."

Suara Panji yang pelan tapi penuh tekanan, membuat Anira semakin ketakutan. "Masalahnya, kan, pernikahan kita itu ...."

"Diketahui semua karyawan di sini. Jaga harga diri kamu dan martabat saya sebagai suami kamu!" Tanpa peduli dengan lirikan beberapa karyawan yang lewat, Panji menghimpit tubuh Anira dan berbisik kepada istrinya. Setelah itu, Panji beranjak menuju meja Nissa untuk membahas pekerjaan, lalu pergi menuju parkiran. Tak peduli pada Anira yang masih terus berupaya bernapas normal.

*****


After Payment DueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang