14

4.8K 1K 84
                                    

14.

Dua jam lalu, seluruh karyawan depot pecel ayam Senyum Pantura menerima gaji mereka. Hampir seluruh karyawan depot tersenyum cerah dan bersemangat kerja. Beberapa dari mereka bahkan janjian pergi ke suatu tempat bersama, setelah jam operasional depot selesai. Semua tampak bahagia, kecuali Anira.

"Ini gak adil, Ayah!" Putri pemilik depot Senyum Pantura sedang menghubungi ayahnya. "Anira juga yang menangani pesanan Pak Haikal. Jadi, sudah jadi hak nira juga komisi itu. Kenapa semuanya masuk ke pendapatan Bang Panji?"

Anira masih kesal saat membaca slip gaji sederhana buatan ayahnya, tak ada komisi penjualan pesanan dari Pak Haikal yang jumlahnya fantastis itu. Saat ia konfirmasi, ayahnya menjawab jika semua komisi penjualan pesanan Pak Haikal masuk ke Panji.

"Apa bedanya rekening kamu dan Panji? Masuk ke mana pun, tetap kamu dinafkahi Panji, bukan?" kilah sang ayah dari seberang sana. "Lagipula, sejak dulu Pak Haikal itu sudah pelanggannya Panji. Jika mereka butuh pesanan, Pak Haikal pasti memanggil Panji. Jadi, ya pasti masuk komisi Panji."

"Tapi kali ini kan, Nira ikutan bantu! Ya harus kebagian juga, dong!"

"Kamu bantu apa? Kalau cuma ikut main ke rumah beliau ya bukan bantu namanya."

Kesal karena tak bisa menang debat dengan ayahnya, Anira menutup sepihak sambungan itu, lantas membanting pelan ponselnya ke atas meja. Ia menunduk dengan kedua tangan yang memegangi kepala. Semua pria di hidupnya menyebalkan! Ia sudah membayangkan akan bertemu dengan Dion di mall dan membeli sesuatu yang ia inginkan. Belum lagi, krim malam, siang, body serum, juga beberapa produk perawatan tubuhnya yang lain, sedang habis serentak. Ia butuh banyak uang untuk membeli itu semua. Jika gajinya saja sudah harus disetorkan sebagian besar ke Panji untuk bayar cicilan utang, bagaimana ia memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri?

"Aarrgghhh! Gue pengen sepatu baru!" Anira bicara sendiri dan frustrasi sendiri.

Saat dehaman terdengar, perempuan itu menaikkan wajahnya dan menatap Panji dengan wajah datar. "Kenapa?" taya Anira saat Panji berjalan, lalu duduk di meja kerja Anira. "Kita masih bersitegang bukan?"

Panji meletakkan satu kantung plastik di depan Anira. "Nasi padang lauk rendang dan kikil. Ini buat kamu. Saya mau ambil makan dulu." Tanpa peduli dengan wajah Nira yang ketus dan dingin, Panji menuju dapur karyawan dan mengambil jatah makan siang karyawan dengan menu bebek goreng dan tempe penyet.

Anira membuka bungkus nasi padang yang Panji beri, lalu seketika liurnya seperti membanjiri mulut. Rendang dan gulai kikilnya menggoda. Ia ingin segera cuci tangan dan menyantap menu itu, tetapi hatinya ragu.

"Kamu gak suka?"

Anira menggeleng kepada Panji yang sudah duduk di depannya dengan satu piring nasi bebek dan tempe penyet. "Abang ... kenapa tetap terus belikan Anira makan siang, padahal kita sedang bersitegang?"

Panji tak menjawab. Pria itu hanya menatap Anira dengan binar mata dalam, lantas memutus pandangannya dan fokus pada makan siang. "Habiskan makan siang kamu, lalu lanjut bekerja. Jangan terlalu banyak memikirkan hal yang tidak membuatmu produktif." Gestur Panji yang tak acuh, membuat Anira akhirnya tak lagi banyak bertanya.

Perempuan itu beranjak cuci tangan, lalu mulai menikmati menu makan siangnya. Rasanya menakjubkan. Entah mengapa Panji seakan bisa tahu apa yang lidah Anira inginkan. Gurih dan pedas nasi padang membuat Anira tak lagi ragu untuk menyuap dengan jumlah banyak.

Saat mereka baru selesai makan, ponsel Anira berdenting. Ada notifikasi masuk dari bank. Kening Anira mengernyit saat bukan informasi jatuh tempo yang masuk, melainkan pemberitahuan jika ada saldo masuk ke dalam rekeningnya dan itu dari Panji.

After Payment DueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang