6

5K 988 73
                                    

6.

"Saya terima nikah dan kawinnya Anira Mandalika binti Budi Setiawan dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."

"Sah!"

"Sah!"

Seharusnya, batin Anira bersorak senang diiringi hati berdebar kencang. Bukankah setiap pengantin wanita merasakan euforia itu setelah akad? Namun, mengapa wajah Anira tampak datar-datar saja?

Saat Panji menyematkan cincin kawin di jari manisnya, yang ada di pikiran Anira hanyalah berapa lama ia harus bertahan dengan kesepakatan pernikahannya. Apa yang nanti akan ia lakukan selama menjalani rumah tangga, dan bagaimana ia harus mengumpulkan uang untuk melunasi utangnya agar terbebas dari Panji−yang kini mencium keningnya lama ... dan khidmat.

Anira tertegun. Beginikah memiliki suami? Maksudnya, akan ada seseorang yang menyentuhnya setelah ini. Bolehkah ia menolak dicium keningnya seperti tadi? Namun, bukahkah Panji yang rela menolongnya terbebas dari kepelikan yang ia buat sendiri?

"Ya, mempelai perempuan silakan mencium punggung tangan mempelai pria."

Teguran itu menyadarkan Anira bahwa ia harus menerima uluran tangan Panji yang ada di hadapannya. Dengan gamang, ia menerima lalu mencium punggung tangan Panji. Tangan itu liat dan tampak kuat. Anira tak meragukan bagaimana cara Panji bekerja membantu ayahnya menjalankan bisnis depot pecel ayam, hingga semakin sukses dan dikenal banyak orang.

"Jangan lama-lama cium tangan saya." Bisikan Panji membuat mulut Anira mencebik, lalu melepas prosesi salim itu.

Juru foto mengarahkan mereka untuk mengambil gambar dengan buku nikah di tangan, juga beberapa pose yang memaksa Anira untuk mau direngkuh dan dipeluk oleh suaminya.

Acara resepsi yang diselenggarakan di hotel bintang tiga itu cukup meriah. Pak Budi mengundang banyak koleganya, juga Panji yang kedatangan banyak sanak saudara. Anira sesekali merasa bingung saat beberapa komentar dengan pertanyaan senada, masuk ke telinganya.

"Ih, kok bisa Panji dapet perempuan secantik ini?"

Antara bangga dan malu juga, rasanya. Anira sadar, pria se-standar Panji itu harusnya tidak layak untuk dia. Lihatlah Anira Mandalika si putri tunggal pengusaha pecel ayam itu. Meski kulitnya tidak putih, tetapi parasnya ayu dan terawat. Tubuh Anira langsing indah khas perawan yang dijaga ketat ayahnya. Pun wajah Nira yang mulus dan penuh perawatan di segala sisi. Dalam kondisi dirias begitu, pesonanya sanggup membuat Panji terus melirik ke arah istrinya yang sulit tersenyum di pelaminan.

Acara yang terselenggara dalam satu hari itu akhirnya selesai. Pak Budi yang tak tertarik menikmati fasilitas hotel, memilih pulang dan melanjutkan pekerjaan, karena besok Panji tidak masuk kerja. Pria ini hanya mengucapkan selamat atas pernikahan dan berpesan agar menjaga Anira seperti ia mencintai putrinya.

"Sejak lima belas tahun lalu, kamu sudah saya anggap bagian dari keluarga saya. Kamu bekerja keras bersama saya dan mendiang istri hingga depot kita besar seperti saat ini. Soal Anira yang di luar perkiraan saya, saya rasa ... ini mungkin takdir yang menjodohkan kalian." Ayah Anira yang menikmati hidangan di ruang VIP tempat acara, mengunyah pudding dengan wajah yang berpikir serius. "Saya hanya ingin anak saya bahagia dan bisa menjalani hidupnya dengan lebih baik dan benar. Anira yang manja dan keras kepala, mungkin saja akibat dari saya dan mendiang istri yang terlalu abai pada tumbuh kembang Nira, saat kami fokus mengembangkan bisnis kuliner ini." Mata lima puluh tahunan itu lantas menatap Panji yang juga menikmati minuman dingin, usai resepsi berakhir. "Saya minta tolong, kamu jaga dan cintai Nira dengan baik. Sekali lagi, saya meminta bantuan kamu."

Panji meneguk soda dingin dan merasakan aliran manis segar itu di tenggorokannya. Ia mengangguk yakin kepada majikan yang kini menjadi mertuanya, dengan wajah serius dan sungguh-sungguh.

*****

Di sisi lain, Anira sedang kalang kabut sendiri di kamar pengantin. Ia bingung harus bagaimana jika Panji datang dan tiba-tiba meminta hak pria itu sebagai suami.

"Gue yang cantik gini masa harus rela digrepe-grepe sama wajah yang lebih mirip papan penggilesan dari pada pipi?" Anira menangkup pipinya dengan kedua tangan dan membayangkan jika ia mungkin saja tak rela disentuh oleh pria yang menolongnya. "Bener, Bang Panji yang menolong gue dari belitan utang sialan ini, tapi ... masa iya gue harus−"

Pintu kamar pengantin terbuka. Panji datang masih dengan baju pengantin yang ia kenakan. Berbeda dengan Anira yang sudah melepas kebayanya dan kini memakai baju tidur berlengan dan celana panjang.

Mereka saling tatap beberapa saat, sebelum Panji melangkah masuk dan canggung seketika melingkupi ruangan ini.

"Kamu sudah makan? Saya lihat tadi, setelah acara, kamu langsung pergi menghilang." Meski dengan gugup yang mulai memacu degup jantung, Panji berusaha bersikap biasa saja. Ah, andai mereka sungguhan sepasang kekasih, Panji pasti langsung merengkuh Anira dan menciumnya secara bertubi-tubi.

"Nira gak hilang, Nira ganti kebaya sama hapus riasan. Nira takut kosmetiknya gak cocok di kulit, terus wajah Nira rusak. Perawatan kulit wajah Nira gak murah." Anak Pak Budi itu beringsut duduk di tepi ranjang yang ditaburi kelopak mawar merah. "Bang, Nira belum siap untuk yang ... itu." Dengan gugup dan menunduk, Anira mengaku. "Kita menikah karena Abang mau menolong Nira, kan? Bukan untuk ...."

"Sementara begitu," jawab Panji yang membuka kancing beskapnya satu per satu. "Kita fokus dengan urusanmu dulu, lalu lihat ke depannya nanti." Panji tak berani berharap dan berandai yang terlalu tinggi. Seperti obrolannya dengan Pak Budi, Panji hanya ingin mencintai dan mengarahkan Anira pada hal yang lebih baik.

Anira mendongak, hendak mengucap terima kasih. Namun, dada liat Panji yang bidang terpampang jelas di depan Anira, membuat gadis itu akhirnya melengos dengan napas yang memburu. Sial! Panji wajahnya memang pas-pasan, tetapi kenapa badannya bisa pas seperti pria dalam bayangan Anira? Aroma parfum Panji semakin jelas tercium. Anira yakin, pria itu pasti melangkah mendekati dirinya. Bulu halus Anira seketika berdiri tegap, seperti menyambut kedatangan Panji yang membawa aura mistis bagi Anira.

"Kamu ngapain?" Suara Panji bahkan terdengar jelas, padahal pria itu bicara lirih kepada Anira.

Anira menggeleng, masih dengan membuang muka. "Jangan deket-deket Nira kalau lagi telanjang gitu. Bahaya kalau Nira tiba-tiba bunting gara-gara Abang."

Panji mengulum bibirnya, menahan tawa sekuat tenaga. Lihatlah anak perawan Pak Budi yang wajahnya sudah merah padam itu. Gadis 25 tahun yang takut melihat pria bertelanjang dada. Panji baru membuka atasannya saja, belum bawahnya. Anira yang sejak tadi tertangkap gelisah oleh matanya, membuat Panji ingin sedikit saja bercanda dengan perempuan yang kini menjadi istrinya.

"Memangnya kalau kamu hamil kenapa? Bukankah saya memang suami kamu?"

"Abang harus ingat klausa kesepakatan kita. Nira gak mau dipaksa untuk yang satu itu," jawab Anira, masih dengan membuang muka.

Alih-alih pergi dari hadapan Nira, Panji justru membungkukkan badan dan berbisik lirih di telinga istrinya. "Bikin anak itu, kerja sama antara suami dan istri, Nira. Gak akan bisa kalau hanya saya yang telanjang. Kalau mau, kamu juga harus seperti saya dan kita melakukannya bersama, dengan atau tanpa cinta." Senyum Panji merekah, saat tubuh Anira terlihat tegang dan mematung. "Saya bersedia melakukannya kapan pun kamu mau dan sanggup. Sekarang juga boleh."

"Enggaak!" Lalu Anira yang seperti berada di kandang singa, meloncat ke atas ranjang dan menggulung dirinya dengan selimut tebal. Tak peduli pada kelopak mawar yang jatuh berhamburan dan Panji yang tertawa tanpa suara sambil melangkah menuju kamar mandi.

*****

After Payment DueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang