12

5.5K 935 84
                                    

12.

"Nira yakin banget, ya, si Annisa-Annisa itu gak mungkin ikutan ngaduk semen, waktu Haikal bangun rumah untuk dijual. Jadi, kenapa Nira harus ikutan motong timun dan lalapan lain hanya untuk bantu pesanannya Bang Panji?" Anira berkacak pinggang, di tengah baskom-baskom berisi timun, kol, dan kemangi.

Di hadapan perempuan itu, Panji hanya berdiri diam dengan wajah yang tampak datar saja. "Gak ada salahnya membantu tim untuk menyelesaikan pesanan. Toh, kamu hanya memotong timun satu baskom. Aku sudah mengatur jika seribu pesanan nasi boks Pak Haikal, dikerjakan oleh lima cabang kita dan dikirim dari masing-masing cabang. Cabang ini hanya mendapat jatah 225 boks saja dan kamu sudah mengeluh."

"Bukan mengeluh lagi, tapi gak terima!" Anira bicara tegas. "Tugas Nira cuma terima pesanan, bukan buat pesanan. Si Annisa itu, Nira yakin tugasnya cuma buang uang hasil jual rumah buatan suaminya. Masih bagus Nira ada di sini untuk bantu menaikkan pendapatan depot dari pesan antar. Dalam beberapa hari Nira kerja saja, Abang membuktikan sendiri, kan, kalau jumlah pesanan antar meningkat tajam?"

Anira menaikan dagu dengan mata yang menantang dan gestur jemawa. Seringai penuh bangga tercetak jelas, saat Panji tak lagi bisa mendebat dan menyuruhnya turun tangan membantu karyawan.

"Tapi kita kurang orang dan butuh bantuan." Panji menghela napas panjang seraya terus berpikir mencari solusi. "Pesanan memang membludak sejak kamu gencar memainkan sosial media dan bantu promosi."

Anira mendengkus kasar. "Pokoknya Nira gak mau bantu! Abang atur sendiri aja, siapa yang tugas motong timun!" Tanpa peduli dengan Panji yang tampak repot mengarahkan karyawan, Nira kembali duduk di meja kerjanya dan membuka laman-laman sosial media. Ia hanya mau fokus bekerja sebagai penerima pesanan layan antar dan mempublikasikan depot milik ayahnya agar lebih banyak orang tertarik membeli masakan mereka.

"Mas Panji! Mbak Eva datang." Teriakan Nissa si kasir terdengar dari lantai bawah.

Anira melirik kepada Panji yang langsung beranjak cepat menuju lantai bawah. Ia hanya mengangkat bahu sekali, tak peduli dengan keanehan sikap Panji setiap tukang kerupuk dan gorengan itu datang.

Saat Anira mulai asyik dengan kanal youtube yang memutar musik kesukaannya, Panji datang lagi bersama perempuan yang Anira kenal sebagai penyuplai gorengan dan kerupuk itu. Tanpa rikuh, Panji membuka laci meja yang Anira tempati dan mempersilakan Eva duduk di hadapan Anira.

"Ini uang pembayaran untuk seribu kotak kue berikut pisang ambonnya." Panji mengambil amplop dan memberikannya kepada Eva. "Untuk uang kerupuk, seperti biasa, akan dibayarkan langsung oleh Pak Budi per minggu dengan jumlah total pemakaian kerupuk selain pesanan ini."

Perempuan di depan Anira itu tersenyum senang. "Makasih banyak, ya, Mas. Eva gak sangka bisa dapet rezeki sebanyak ini."

"Kita yang dapat, Va, bukan cuma kamu. Saya justru terima kasih sudah dibantu menyediakan boks kue sesuai yang diminta pelanggan kami."

Anira yang sejak tadi seakan tak dianggap ada, memindai interaksi antara Panji dan perempuan yang selalu tampak dekat dengan suaminya itu. Cara pandang Eva pada Panji beda, begitu pun sikap Panji pada perempuan itu. Pada anak buah Pak Danis saja, Panji tidak selembut ini. Mengapa ke Eva begitu?

Decih remeh Anira membuat Panji menoleh kepada istrinya. "Kenapa, Nira?"

Anira hanya menggeleng, lalu kembali fokus pada layar komputer. "Enggak. Itu timun tolong diurusin. Anira gak mau dan gak bisa bantu. Lagi sibuk." Mata Anira yang dibuat ketus, berusaha tak menatap Eva dan berlagak sibuk mengamati laporan bulanan pesanan yang ia terima. Satu minggu lagi gaji pertamanya akan cair, dan ia berencana meminta komisi lebih pada ayahnya.

After Payment DueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang