PROLOG

288 18 5
                                    

Beberapa bangkai itu bertumbangan di tanah. Potongan-potongan tubuh dari makhluk yang tidak wajar. Itu adalah puluhan demit, bermacam-macam wujudnya telah terbantai. Mengikuti jiwanya yang telah lenyap, asap dan bara mulai menggerogoti onggokan jasad. Mereka makhluk yang berasal dari api maka akan kembali menjadi api.

Nafasnya tersengal, peluh keringat tak henti mengucur. Seorang pemuda dengan pakaian lusuh tanpa lengan, kain jarit yang melilit pinggang hingga ke lututnya pun, tampak kusam terkoyak. Lalu iket blangkon, melilit kepalanya, khas kebiasaan laki-laki di jaman kerajaan.

Dia Terjebak sendiri di dalam hutan hitam dan gelap, dikepung oleh puluhan demit buas, terancam setiap saat tapi dia masih tangguh dan melawan.

Pedangnya sudah memakan korban, banyak, bangkai-bangkai itu yang bertumbangan adalah bukti. Meski sudah membantai tidak sedikit, tapi sekarang yang masih berdiri dan masih berani mengancamnya, masih cukup banyak. Mereka meraung, menggeram, tak bisa berkata.

"Saya masih mampu! Maju kalian semua!"

Dia pun maju berlari, demikian dari arah sebaliknya, puluhan demit itu turut serempak menyerang.

Kakinya menghentak, dia melenting tinggi ke angkasa. Bersama teriakan yang keras, pedang pun ditebaskan dan demit-demit itu seharusnya tidak pernah berpikir akan menang.

Tanah luas hutan gelap itu penuh bangkai. Pemuda itu kini amat letih setelah menjalani pertarungan yang kesekian kali. Di hadapan api unggun, dia duduk tenang bermeditasi.

Bukan tanpa kerugian pertarungan itu berlangsung. Tentu luka-luka pasti terbentuk karenanya. Perut sobek tergores tanduk, bahu yang terkoyak oleh parutan taring, rusuk kirinya patah, kesimpulannya luka-lukanya cukup parah.

Hingga api unggun telah sepenuhnya padam, menyisakan abu-abu kering sisa pembakaran. Namun dia masih diam duduk bermeditasi, seakan tak awas pada sekelilingnya.

Sudah berapa lama itu berlangsung, seharusnya cukuplah lama. Mungkin sudah semalaman andaikan tempat itu dilintasi sang surya. Namun disadari olehnya, langit itu selalu gelap. Matahari tidak pernah sekali pun muncul selama dirinya di sana, padahal amat yakin dia sudah sangat-sangat lama tersesat. Tapi seakan waktu hanya berjalan di tempat atau berjalan teramat lambat, entahlah.

Dia hanya sendiri kini, setelah semua orang terdekatnya telah pergi. Kenyataan dirinya masih hidup setelah semua orang terbunuh di hadapannya, memang menyisakan penasaran. Namun dia tak mengingat apapun kenapa dirinya tiba-tiba terdampar di hutan kelam ini. Sebuah kesempatan tetap hidup, itu pemikiran yang sudah dia putuskan maka tak ingin menyia-nyiakan.

Rendanu... Rendanu...

Suara seorang gadis tiba-tiba terdengar di kepalanya. Dia pun bangkit, matanya menjelajah semua arah, bersama wajah pemasaran.

Tolong...

PEMBURU 2 JAMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang