Di gang gelap dan sempit itu seorang pemuda terpuruk, tengkurap di antara hamparan kotoran dan lumpur, diguyur lebatnya hujan. Dia baru saja ditinggalkan sendiri oleh gerombolan pria.
Uangnya yang didapat dari bekerja kasar sebagai buruh angkat material, dirampas. Tidak menyisakan apapun selain luka memar di beberapa jengkal badannya. Dan perutnya yang masih kosong sejak pagi hari. Malam itu bisa dikatakan malam sial untuknya.
Air matanya mengalir, itu yang kesekian kali...
Apanya yang menantang dan meraih dunia... Ternyata semua hanya omong kosong kekanak-kanakan saja...
"Brengsek... Sialan... Brengsek!"
Adalah kenyataan, di baik sebuah kota yang megah, besar dan gemerlap, pasti ada sisi gelapnya. Kota Pajang pun demikian, tidak mungkin ideal. Jauh dari pusat kota, di jalanan, pada daerah kumuh, mereka menjalani kehidupan bak orang yang terdampar, tanpa harta, tanpa apapun. Selain mengandalkan amarah dan kekerasan untuk makan.
***
"Menantang dunia dan meraihnya, kalimat itu terus aku pegang kamu tahu? Dan itu tidak masuk akal... Ya itu benar, bertahun-tahun sudah mencobanya. Adalah kenyataan bahwa seseorang yang terlahir di jalanan seperti kita, dengan latar pendidikan terbelakang, ingin mencapai cita-cita setinggi langit itu, memang tidak mungkin. Mau sebanjir apapun keringat terkuras, air mata meluap lalu semangat itu, tidak bisa. Hanya menjadi buruh kasar dengan penghasilan tak layak dan kelaparan, itu pencapaian terbaikku..."
"Aku merasakan kehidupanmu yang keras."
"Apa kamu iba? Benar, sangat keras selama lima tahun terakir ini... Dan sekarang, setelah kamu sudah hadir di sampingku lagi," Rama merangkul pundak sahabatnya sambil menjulurkan telunjuknya. "Itu... Gedung itu, waktunya kita memulai perjalanan kita untuk merampasnya."
"Gedung itu terlihat mewah dan mahal. Berapa tahun lagi itu kira-kira?"
"Yah, aku sudah menghitungnya, seratus tahun pun tak akan cukup ku rasa."
Mi'un berpaling, melihat wajah sahabatnya di sebelah, yang masih tersenyum.
"Apa kamu mengatakan sebuah lelucon?"
"Lelucon? Lebih tepatnya itu fakta. Itulah kenyataan jika kita melangkah di jalan lurus, dengan keringat, air mata, semangat... ah, aku jadi mengulangi kalimat melankolis itu..."
Sambil berkata Rama memandang balik Mi'un. Wajahnya masih berseri tapi Mi'un menangkap setitik kilau gumpalan bering di matanya.
"Dan satu hal yang ingin aku untuk mencobanya."
"Satu hal?"
"Darah..."
Mi'un hanya terdiam. Itu terdengar mengerikan di telinganya tapi tidak mengerti pasti makna dibalik itu. Namun tatapan mata Rama jelasnya terlihat amat gelap.
Di usia sama-sama dua puluh, mereka berdua pun memulai. Yang pertama, di sebuah terminal angkutan umum, di pinggiran kota Pajang, kelompok berandal itu terlihat sedang tertawa-tawa, sambil sesekali menenggak. Ada yang bernyanyi-nyanyi sumbang sedangkan yang lainnya memainkan gitar. Mereka mengenali Rama, demikian sebaliknya.
Darah pun benar-benar menetes untuk pertama kali. Dari salah satu kepala berandal itu, darah mengalir, menumpah ke tanah berkat hantaman botol pada kepala salah satu pemuda itu. Dan pada apa yang diperbuatnya, mata Rama tidak menunjukkan penyesalan. Mata itu tetap terbuka tegas, tak berkedip ataupun tersentak sedikitpun. Bahkan seakan dia menikmatinya dari goresan senyum tipis itu.
Di sisi lain dan dipastikan saat itu, Mi'un benar-benar kuat. Tak berubah dari apa yang ditampakkannya dari kecil. Tanpa kesulitan belasan orang itu dijatuhkannya sendiri. Pukulan demi pukulan tangannya melancar terarah begitu cepat dan sigap. Tak ada yang meleset, tak ada yang mampu menghalau. Bahkan lengan salah seorang dari mereka seketika patah kala menahan tinjunya, berlebihan memang. Sementara Rama lebih banyak menjadi penonton setelah mencederai kepala salah seorang darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PEMBURU 2 JAMAN
AkcjaRendanu seorang pendekar muda, hidup sebagai pemburu demit dalam peperangan abadi antara dua dunia. Dia linuwih dalam kanuragan, dia seorang pejuang, bersama kelompoknya, ratusan demit pun ditumbangkan. Pada saatnya semua lenyap, Rendanu tiba-tiba t...