ANCAMAN DI DEPAN MATA

38 4 0
                                    

Jika semua jalan itu selalu lurus maka semua masalah pasti akan mudah. Namun tentu saja realita tidak demikian, pasti akan ada saat kondisi bergejolak. Dan terutama untuk seorang pemimpin, tak jarang harus membuat pilihan bak perjudian yang beresiko. Utamanya jika itu menyangkut nyawa atau sebuah kejahatan, tidak akan ada waktu lagi untuk ragu.

Miranda bukan orang baru, lumbung pengalaman telah dicapai selama beberapa tahun di bidang ini. Berapa kali berada pada saat nyawa terancam, tak perlu ditanya. Seharusnya telah terlihat dari posisinya saat ini. Tapi tentunya Miranda tetaplah manusia yang tak lepas dari pertanggung jawaban saat mengalami kegagalan. Lumrah untuk dirinya sebagai pemimpin.

Hari ini cukup lama waktu berlalu, dia hanya tertunduk diam. Pikirannya masih tak lekang juga dari ingatan kekalahan beberapa hari lalu. Selain sasarannya yang lepas, beberapa anggotanya banyak yang terluka dari kejadian itu. Bahkan hingga hari itu pun, masih ada satu orang yang belum keluar dari ruang perawatan.

Itu tidak cukup hanya disebut kekalahan... Itu kehancuran total...

Di balik meja kerja besar berwarna cokelat gelap, perempuan itu tertunduk, tertunjang oleh ke dua tangannya. kiranya sudah lewat jauh dari satu jam dia terdiam, sendiri di dalam ruangan gelap.

Pintu diketuk tiba-tiba, Miranda terkesiap dan mengangkat kepalanya. Ketika pintu itu terbuka, Lucky muncul dengan pakaiannya setelah hitam lengkap dengan mantel dan kacamata hitam. Dia melangkah masuk ke ruangan dengan tenang dan tanpa permisi.

"Kebiasaan yang tidak pernah berubah... Kamu tahu kebiasaanmu itu bisa saja lain waktu akan lebih merugikanku sebagai seorang wanita."

"Kenapa aku harus memikirkannya? Aku hanya melakukan kebisaan yang aku senangi, tidak bermaksud merugikan orang lain."

"Memasuki pintu orang lain tanpa permisi, aku tidak merasa itu kebiasaan yang wajar untuk orang normal."

"Pintu tak dikunci itu artinya aku bebas masuk, tidak ada yang salah?"

Saat ini perempuan itu sejatinya sedang gundah. Namun kedatangan luka tidak meluluhkan tapi semakin menambah penat baginya.

"Bodohnya, menanggapimu memang justru membuatku tidak normal... Abaikan itu, kamu... Apa yang kamu lakukan di sini? Ada urusan apa denganku? Asal tahu saja..."

"Para Dewan Pengawas menangguhkanmu sementara waktu... Aku datang hanya ingin memberikan... Mungkin semacam semangat? Karena kita berteman..."

Miranda menghela nafas mendengarnya sembari secuil tersenyum.

"Itu aku menghargainya... Tapi aku tidak menyangka kabar ini begitu cepat tersebar..."

"Kita bekerja di satu atap dan rapat evaluasi itu sudah berlalu empat hari maka wajar saja itu..."

"Tapi kamu yang pertama kali terang-terangan datang memberikan dukungan untukku. Aku sedikit terkejut, kamu lebih memperhatikanku lebih dari yang kukira."

"Tapi sejujurnya sejak awal misi itu memang terlalu beresiko untukmu aku rasa. Itu terlalu terburu-buru dan dipaksakan... Perintah yang terlalu mutlak, seperti titah yang turun dari langit. Sangat tidak adil atas kegagalan, seluruhnya dilimpahkan padamu."

Miranda hanya terdiam, tertegun, sesaat dirinya melirik pada Lucky.

"Bagaimanapun aku sudah berusaha... Sekarang aku sudah lelah jadi biarkan saja..."

Miranda menunduk, membenamkan wajahnya ke atas dari tangannya di atas meja. Hati perempuan itu tengah bimbang, Lucky sadar dan dia berdiam. Berdiri di tepi jendela kaya, wajah kakunya menatap langit siang. Namun dibalik itu, tak kuasa kepalanya terus berpikir pada permasalahan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 10, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PEMBURU 2 JAMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang