TANGISAN MALAM

83 7 0
                                    

Di dalam bus kota cenderung ramai, berjubel, suasana wajar saat akhir minggu tiba. Kebenarannya adalah itu tidak nyaman, berdesakan, cenderung pengap, belum lagi sesekali aroma keringat lebih dominan beredar kali ini. Namun untuk saat ini, keadaan itu begitu terlihat wajar, sangat membantu Fuji mengusir secuil trauma. Terlebih Rendanu kini berada ada di sampingnya.

Sangat menyusahkan, demikian pikir Fuji, begitu tahu diri. Tapi ketika pemuda itu menawarkan diri, begitu berat Fuji menolak. Peristiwa mengerikan itu baru sesaat tadi, masih ada keraguan maka dia yakin masih membutuhkan bantuan. Setidaknya untuk malam sampai di mencapai rumahnya.

Seorang pemuda dengan pakaian pendekar ala drama kolosal, lengkap dengan pedang terikat di punggung, sebutlah dia aneh dan pikiran itu layak. Menarik perhatian itu yang berlaku pada Rendanu sekarang. Namun dia tampak mengabaikan, meski berpasang-pasang mata itu begitu jelas melihatnya lekat. Fuji sendiri juga ada rasa penasaran, ada apa dengan penampilannya itu.

Rendanu hanya bisa kagum, tertegun pada pemandangan di luar jendela. Warna-warni cahaya kota, bangunan-bangunan tinggi dan kokoh, segala hal yang tampak, hampir seperti keajaiban. Itu benar-benar dunia yang berbeda dari tempat asalnya, dia berpikir.

Hanya sebuah desa kecil di tengah hutan, hanya ada rumah-rumah berdinding kayu, beratap daun aren kering. Dikelilingi lebat pepohonan hutan juga amat sunyi damai. Begitu gambaran tempat tinggalnya dulu. Di kala malam, hanya mengandalkan cahaya dari lampu minyak. Membandingkan dua hal itu, bagai langit dan bumi.

Jawaban masih belum didapatkan, tentang dimana dirinya kini terdampar. Yang pasti, Rendanu yakin bahwa ini bukan dunia yang sama.

"Apakah... Apakah anda berasal dari kota ini?" Fuji tiba-tiba bertanya. Rendanu yang tadi hanya tertuju pada jendela, memberikan pandang padanya.

"Entahlah..." Dia berujar ragu.

Mendapati tatapan Rendanu, Fuji seketika gugup lalu membuang muka.

"Entahlah? Apa maksudnya itu?"

Rendanu diam sesaat.

"Apa kamu pernah mendengar tentang kerajaan Mataram?" Rendanu bertanya.

Fuji mengangkat alisnya. Sempat terkejut akan tanya itu namun menyimak penampilan pemuda itu, dia pun mencoba mengerti.

"Kerajaan Mataram? Tentu saja saya pernah mendengarnya."

"Dimana itu?! Kamu yakin?"

"Dimana? Mungkin... Sekitar empat ratus tahun silam, kerajaan itu memang ada. Dan sekarang, tersisa hanya kerajaan kecil, sekelas bangsawan, yang menjadi wilayah bagian dari Negara Kesatuan."

"Empat ratus tahun?" Terkejut dan bingung, membaur di wajahnya.

"Kenapa? Apa ada masalah?"

Rendanu mengusap wajahnya, bermaksud menenangkan diri.

"Semua menjadi masuk akal sekarang... Semuanya..."

Fuji hanya tertegun, meraba-raba maksud perkataan Rendanu.

Merasa paham dimana dirinya kini terdampar, Rendanu hanya bisa pasrah. Empat ratus tahun, bukan jarak yang dekat. Semua yang terlewat, tidak mungkin kembali.

Rendanu memutuskan, terus bergerak maju dan berteman dengan waktu adalah yang terbaik. Bagaimanapun, dia harus menerima keadaan dan melanjutkan hidup. Hanya saja bagaimana caranya, dia harus mencari tahu.

***

Sesaat Fuji terdiam di depan rumahnya. Pikirannya bergulat, berpikir tentang kalimat yang akan disampaikan pada orang tuanya. Yang jelas, mereka saat ini pasti dalam suasana kalut. Itu terbaca dari gerombolan pesan di ponsel, yang didapatkannya sesaat tadi.

PEMBURU 2 JAMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang