Kemuning senja sudah hampir menghilang dan akan tergantikan oleh gelapnya awan hitam keabuan bergumul di langit Jakarta. Tristan telah sampai pada tempat ternyaman dalam hidupnya, disambut oleh pelukan hangat bidadari rumah yang selalu menunggunya pulang dengan utuh.
Ada perasaan kuat yang mengganjal Tristan kalau Sarah berusaha ingkar terhadap ancamannya. Ia akhirnya berniat untuk memastikan sendiri kebenaran dari perasaannya itu.
"Tristan ke kamar Sarah dulu ya mak. Mau mastiin dia masih hidup apa nggak," serunya sambil terkekeh kecil dari balik senyum miringnya.
"Tristan!!! Sembarangan kalo ngomong," jawab ibunya seraya tersenyum pula.
Masih dengan sisaan gelaknya ia berjalan menuju kamar Sarah meninggalkan sang ibunda. Membuka perlahan pintu kamar yang tak terkunci dan dengan cepat suasana silau seakan langsung menyayat-nyayat matanya. Itu karena koleksi poster sunrise Sarah yang sudah terlalu banyak bermukim di dinding kamarnya. Terpantul oleh cahaya lampu dan menjadikan gambar tersebut terkesan nyata serta dapat dirasakan.
Selain itu yang membuat mata Tristan tersayat adalah mengetahui bahwa perasaan janggalnya salah besar. Kamar itu kosong, sepi, hening, sunyi. Tanpa suara dengkuran seseorang yang sudah sesore ini masih menumpuk pundi-pundi tahi mata-kebiasaan Sarah.
Tristan menutup kembali kamar dengan kontras dan brightness yang skalanya tidak manusiawi. Berjalan ke arah ibunya yang masih duduk lesehan menatap serius sebuah drama lokal nan menguras emosi. Ia lalu ikut bersila kaki untuk menjadi saksi setiap kurasan emosi yang terpancar dari rona merah wajah sang ibu.
"Mak, Sarah kemana?"
Senyap.
Ibunya tak menjawab pertanyaan Tristan. Masih terlalu khusyuk terhadap drama lokalnya.
"Mak? Mak!!" Akhirnya Tristan sedikit mengguncangkan tubuh ibunya.
"Ha? Kenapa Tan?"
Barulah ibunya tersadar dari larutnya tenggelam dalam kolam sandiwara persuasif.
"Sarah kemana?" tanya Tristan kembali mengulang pertanyaan yang sama.
"Emang di kamar gak ada?" jawab ibunya tanpa menatap Tristan dan lebih memilih memokuskan pandangannya pada lacar kaca.
"Kalo ada Tristan gak mungkin nanya sama mama."
"Lah, ke mana tuh anak. Gak biasa-biasanya dia keluar. Mama gak tau dia ke mana."
Merasa dialognya dengan sang ibu terkesan monolog, Tistan lebih memilih untuk bangkit meluruskan lagi kakinya dari silangan. Melangkah menjauh menuju pembaringan ternyaman demi menunggu kepulangan adik kecilnya. Tentunya dengan tidur terlebih dahulu.
☀️☀️☀️
Tristan seketika terbangun karena telinganya menangkap sebuah suara aneh yang berasal dari ruang tamunya. Dengan gerak cepat ia memutuskan untuk bangkit dari pembaringannya. Tak lupa sebuah sapu ia selipkan pada telapak tangannya untuk berjaga-jaga. Pasalnya rusun tempat tinggal mereka rawan sekali akan maling dan kriminalitas lainnya. Apalagi Tristan menilik jam yang kini telah menunjukkan setengah dua belas malam. Waktu yang strategis untuk melancarkan tindak kejahatan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika Kita
Ficción GeneralSemua tentang Sarah dan kecintaannya pada Sunrise sampai-sampai ia membuat kutipannya sendiri yaitu, ❝Let's make an our sunrise together❞ - Karena kecintaannya dengan sunrise ia sangat ingin menikmati matahari terbit di salah satu tempat pencipta su...