Unfair

18 2 0
                                    

Note : dialog di cerita ini campuran (Inggris-Indonesia). So, maaf ya kalau bahasa inggrisnya kurang sesuai, happy reading

Suatu kesalahan memang tak ada yang mengenakkan, entah itu dari satu pihak atau kedua belah pihak. Sarah yang menyadari akan hal itu hanya bisa terpaku pada dermaga di pinggir rawa berair asin tersebut. Membiarkan surai ekor kudanya terombang-ambing tersapu oleh angin sungai. Tidak terlalu kacau sebab terdapat perlindungan yang rekat oleh topinya.

Tanpa ponsel, internet dan sinyal dirinya bisa apa?

Sebegitu patuh dan tergantungnya umat manusia akan kecanggihan yang terus meningkat seiring berjalannya waktu. Namun Sarah tak ingin larut akan kebahagiaan singkatnya yang terenggut. Ia mulai bergegas untuk menelurusuri setiap pijakan tanah yang tertutup oleh runtuhnya dedaunan.

Banyak jalan menuju tempat-tempat tersembunyi di dalam taman Idlewild itu. Seperti salah satunya yaitu wahana carousel antik dan jalur sepeda yang menyerupai jalur sepeda di gunung. Bersama dengan jatuhnya dedaunan kering kecoklatan, menambah warna estetika pada fasilitas di taman tersebut.

Biar begitu nampaknya Sarah mempunyai pilihannya sendiri. Ia lebih memilih untuk kembali pada dermaga rawa air asin yang sebelumnya ia singgahi. Bukan tanpa alasan Sarah ingin menerbangkan kembali surai hitam ekor kudanya. Mempertimbangkan sisi keramaian dan tingkat interesting di mata Sarah.

Rawa air asin jauh lebih memikat untuk Sarah dan juga banyak warga setempat yang hanya sekadar duduk-duduk pada rumput hijau di sepanjang tepi rawa.

Itu merupakan hal sama yang Sarah lakukan saat ini.

Menikmati banyaknya proses mini surfing tanpa ombak, mini boat dengan banyak tangan yang mendayungnya agar bergerak maju dan tak jarang deru pemanasan pesawat juga terdengar hingga telinganya ikut bergetar merasakannya.

Tanpa alas seperti kebanyakan warga lain, Sarah mulai membaringkan dirinya. Berbantalkan tas ransel gunung yang isinya pun menggunung, cukup untuk memberikan rasa nyaman pada kepalanya. Menatap layu ke atas mengikuti pergerakan awan lalu mengatup sejenak dengan sendirinya.

"Excuse me Miss."

Sayup-sayup ia mendengar seru panggilan dari pejaman matanya yang tak serius. Sebuah suara yang familiar ia dengar saat ujian listening bahasa inggris kala dirinya bersekolah dahulu. Namun tentunya tidak serumit english british yang bahkan aksen khasnya dikenali oleh Sarah tapi tidak dengan artinya.

Perlahan ia menaikkan kedua kelopak matanya, menilik ke arah sang pemanggil. Masih dengan keadaan terbaring santainya dan dengan tilikan parau lemahnya. Seorang pemanggil tersebut dapat Sarah lihat bahwa bibirnya tertarik memanjang beserta benda putih berjajar yang tertampil begitu saja—tersenyum—ke arahnya.

Sontak Sarah langsung mengerjap disertai dengan bangkitnya ia dari pembaringan ternyamannya.

"Yes, can i help you?" tanya Sarah seraya masih menggesekkan telunjuknya pada mata yang masih berat untuk bekerja.

Saat pandangannya telah menyala dengan sempurna, dirinya nampak terkejut bahwa yang menghampirinya ialah seorang pemuda—entah turis dari Eropa atau warga asli sini. Rambutnya ikal bergelombang tebal dengan warna old brown menghiasi kepalanya. Wajahnya bulat serta terdapat belahan kecil pada dagunya.

Dia artis? Selebgram?

Mungkin saja bukan.

Hanya seorang warga biasa yang mendapat karunia akan ketampanan wajahnya.

"Could you please hold my bag?" pintanya sembari langsung menyodorkan tasnya seakan telah mendapat persetujuan dari Sarah.

Tentu Sarah tertegun akan ucapan pemuda itu. Ia menghampiri Sarah hanya untuk memegangi tasnya tanpa memunculkan basa-basi atau apa pun yang menjadi kalimat pembuka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 04, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Arunika KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang