Welcome NYC (2)

26 2 0
                                        

Arunikanya telah lenyap, terhempas kembali ke rumahnya dan akan berkunjung lagi esok hari. Sarah yang menyadari akan hal itu akhirnya dengan ikhlas merelakan sang arunikanya pergi diiringi dengan kepergiannya pula dari bandara. Masih dengan membawa serta tas ransel gunung yang tidak terlalu berat, ia melangkahkan kaki menuju pintu keluar bandara. Mempersiapkan diri untuk lebih dekat dengan dunia western Paman Sam.

Senyumannya tak pernah luntur sejak pertama kali ia berpijak pada aspal terminal bandara, seakan rasa lelah dan letihnya tertindih oleh senyum semangatnya itu.

Baru saja kakinya satu langkah menuju dunia luar bandara dirinya telah disuguhkan oleh puluhan taksi khas New York—taksi kuning. Sama seperti di Indonesia yang memiliki warna ciri khas taksi—biru. Driver  taksinya pun tidak semuanya berkulit putih. Ada juga yang berkulit hitam, bermata sipit dan driver  yang berwajah lokal—Indonesia.

Berbeda dengan kebanyakan driver di mancanegara, driver  taksi di sini hanya diam di dalam mobilnya membiarkan penumpang memilih taksi mana yang akan mengangkutnya.  Namun ada juga driver  yang sedang di luar mobilnya—entah sedang menghirup udara segar atau menghirup cerutu—namun sekalian menawari orang-orang yang melintas untuk menjadi penumpangnya.

"Excuse me miss, do you want to order the taxi?" tawar driver  yang sedang di luar itu.

"Sorry, thank you."

Sarah menjadi salah satu pengunjung yang mendapatkan tawaran langka di antara driver kebanyakan. Namun jelas Sarah menolak karena dirinya lebih memilih untuk berjalan kaki dari bandara menuju jalan raya.

Melalui kalimat yang singkat, jelas dan padat, Sarah lekas pergi meninggalkan sang driver dengan penuh senyuman. Sembari menaikkan tas ransel gunungnya yang sedikit turun dari punggungnya, dirinya telah siap mengarungi setiap jengkal jalanan beraspal hingga bertemu titik ramai yang elegan.

Sepanjang perjalanan Sarah melangkah menjauh dari bandara pandangannya tak pernah lepas dari sisi-sisi samping dirinya. Bersama dengan luasnya hamparan awan tak bermatahari, tapi dirinya tetap bisa merasakan sebuah tusukan-tusukan kecil udara panas yang menembus kulitnya. Ya, benar-benar sedang summer. Berjalan santai menjadi alternatifnya hanya agar tidak terlalu cepat menikmati setiap inci dari kota Big Apple tersebut. Mungkin karena masih merupakan kawasan bandara jalanan yang ia lewati tidak terlalu ramai.

Sarah still has an opportunity to slow and relaxed walk. 

Namun ketika Sarah berhasil sampai di sekitaran jalan Rockaway Blvd, semua pemandangan segar yang ia lihat seakan pudar begitu saja.

Sarah kini berjalan pada trotoar yang penuh dengan manusia-manusia bertinggi di atas rata-rata—baik wanita maupun pria. Dirinya serasa bagaikan kurcaci yang kehilangan putri saljunya. Berjalan lambat dan santai pun rasanya menjadi lelah sendiri karena harus terus melihat orang-orang di sini melebarkan kaki jenjangnya agar bisa melangkah cepat. Daksanya seperti saling bertubrukkan dengan raksasa yang berjalan sangat individual, hanya melihat lurus ke depan tanpa memikirkan orang lain—ada pula yang sambil menatap ke arah ponsel.

Jalanan di sebelah trotoar tempat Sarah berpijak pun nampaknya tidak membiarkan tersedianya celah walau sedikit. Kalau itu dirinya seperti sudah familiar dengan traffic jam New York yang sangat luar biasa. Jalanan seakan lautan baja berwarna-warni dan didominasi oleh warna kuning.

Sarah terus berjalan dengan tempo yang ia percepat mengikuti alunan langkah sang pemilik negara. Hingga netranya menangkap sebuah tempat yang didominasi warna hijau cerah tidak jauh dari tempat Sarah saat ini. Dirinya memutuskan untuk berkunjung ke sana terlebih dahulu sebelum membaringkan tubuhnya di atas dinginnya smooth spring bed hotel. Menunggu lampu hijau beralih untuk menyeberang di atas zebra cross.

Arunika KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang