Fahri dan Amara 2

2.3K 174 18
                                    

“Sudah sampai.” Fahri menghentikan mobil di parkiran sebuah kafe. Mobil dan motor terlihat memenuhi area parkiran.

“Aku tunggu di sini.”

“Nggak usah, aku pulang dengan teman nanti.”

Tetapi, sepertinya Fahri tidak menerima penolakan Amara. Dimundurkannya kursi yang didudukinya ke belakang dan diturunkannya sandaran kursi. Tanpa mengatakan apa-apa lagi laki-laki itu membaringkan tubuhnya dengan santai.

Amara memandang semua itu dengan perasaan kesal setengah mati. Baru dua hari mereka menikah, dan bukan ia yang berhasil membuat laki-laki itu makan hati atau sesak napas. Tetapi, laki-laki itulah yang telah mampu membuat ia menjadi sulit bernapas.

Amara melangkah meninggalkan mobil menuju kafe. Acara sore ini adalah acara ultahnya Angga. Laki-laki tajir itu mengundang mereka satu kelas untuk makan di sini. Laki-laki yang juga telah sekian lama mengejar cinta Amara. Meski Amara tidak pernah menerima cintanya, tetapi, laki-laki itu tidak pernah menyerah.

Di dalam kafe sudah berkumpul semua teman sekelasnya. Amara langsung disambut dengan pelukan hangat teman-temannya.

Ternyata masing-masing telah memesan makanan dan minuman, meski Angga belum datang. Amara pun mengikuti teman-temannya, memesan makanan dan minuman yang disukainya.

Hampir satu jam mereka menunggu sambil makan, minum, yang diwarnai dengan gelak tawa, namun, Angga yang ditunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Beberapa orang telah mencoba menghubungi ponselnya, tetapi, ponselnya mati dan tidak bisa dihubungi. Semua yang hadir sudah mulai resah. Tidak biasanya Angga seperti ini.

Dan apesnya, para cowok yang biasanya selalu rebutan buat mentraktir, tidak satupun yang hadir. Seperti semua telah kompak untuk berhalangan. Sementara jumlah mereka tidak sedikit. Ada 28 orang yang telah makan dan minum dengan sesuka hati mereka. Karena biasanya memang begitu. Angga akan mempersilakan semua teman-temannya untuk makan dan minum apapun yang mereka inginkan.

“Amara!”
Semua menoleh pada sumber suara. Wajah Amara terlihat pucat. Perempuan itu bangkit dengan tergesa.

“Ada apa?” Amara berbisik dengan wajah kesal.

“Ayo, pulang. Bentar lagi magrib, kita harus cari masjid untuk sholat.”

“Kami belum selesai.”

“Belum selesai apanya? Semua piring dan gelas sudah licin begitu?” Fahri menunjuk meja di depannya dengan dagu. Semua mata memandang mereka berdua dengan penasaran.

“Iya, tetapi yang janji mau bayar belum datang.” Amara berkata dengan perasaan tidak enak. Fahri terlihat sedikit kaget.

“Mbak!” Fahri melambaikan tangan pada seorang pelayan yang berjalan ke arah kasir. Perempuan yang memakai seragam hitam dengan kombinasi merah itu bergegas mendekat. Amara menatap Fahri dengan bingung.

“Ya, Pak?”

“Tolong hitung semua makanan dan minuman di dua meja ini.”

“Sudah ada di kasir, Pak. Silakan.”

“Oke.” Fahri mengikuti langkah si pelayan menuju kasir. Mulut Amara menganga melihat semua itu. ‘Apa yang akan dilakukan oleh laki-laki itu? Apa laki-laki itu tidak tahu berapa total makanan yang harus ia bayar?’

Amara pun tergesa mengikuti langkah Fahri menuju kasir. Jangan sampai laki-laki itu membuatnya malu di hadapan teman-temannya. Berlagak mau membayarkan, tetapi tidak punya uang.

Sementara teman-teman Amara saling pandang dengan mulut yang juga melongo.

Fahri menerima totalan dari kasir dan dengan santai mengeluarkan dompetnya. Amara juga sudah sampai di kasir dan memperhatikan semuanya tanpa berkedip. Laki-laki itu mengambil sebuah kartu dan mengangsurkannya pada kasir.

Detik-detik berlalu begitu mendebarkan buat Amara. Badannya terasa panas dingin. Bagaimana kalau isi kartu yang disodorkan laki-laki itu tidak cukup untuk membayar seluruh makanan ia dan teman-temannya. Betapa ia akan menanggung rasa malu yang mungkin tidak akan bisa dilupakannya untuk seumur hidup.

“Sudah, Pak. Terima kasih.” Kasir mengembalikan kartu debit beserta bill makanan dan minuman itu kembali pada Fahri.

“Ya, terima kasih.” Fahri menerimanya dan berbalik.

“Sudah selesai. Ayo kita pulang.” Laki-laki itu berjalan menuju pintu kafe dengan santai. Meski merasa tidak percaya dan merasa heran, Amara tak ayal menarik napas lega juga. Ia kembali menuju meja di mana teman-temannya masih duduk menunggu dengan gelisah.

“Semuanya sudah dibayar.  Ayo, kita pulang.”

Semuanya bangkit dengan tergesa.

“Siapa dia, Amara?” Lidya langsung menodong Amara dengan pertanyaan.

“Ya, ampun, gayanya sederhana tetapi dompetnya tebal. Terus nggak pelit juga. Lelaki idaman banget.” Rasti berkata seraya memejamkan mata membayangkan wajah laki-laki sederhana yang telah menyelamatkan mereka semua.

Amara menarik napas dalam. Sementara semua mata menatap padanya, menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir merah jambunya.

“Dia kakak sepupu aku.” Akhirnya Amara menjawab dengan seulas senyum di bibirnya. Suasana langsung riuh.

“Ya, Tuhan. Kenapa kamu nggak bilang-bilang punya sepupu tampan begitu? Wajahnya itu, duh, bersih dan bercahaya.” Airin berucap dengan pipi merona merah.

“Huuuuu!” Teman-teman Amara kompak bersorak. Sementara Amara serasa ingin tersedak.

“Sudah, ah. Aku sudah ditungguin.” Amara berbalik dan berjalan tergesa meninggalkan teman-temannya.

Semua ikut melangkah tergesa di belakang Amara.

“Kami mau bilang makasih sama kakak sepupu kamu, Amara.” Rasti, Vega, Lidya dan Airin telah berada di samping Amara. Amara menoleh dengan kaget. Tidak menyangka teman-temannya akan seagresif ini.

Sementara teman-temannya yang lain telah menuju kendaraan masing-masing. Umumnya mereka mengendarai sepeda motor.

Amara membuka pintu depan. Keempat temannya telah langsung mengambil tempat di samping pintu yang terbuka.

“Mas, makasih, ya, traktirannya.” Vega mengedipkan mata dengan genit. Fahri menoleh dan tersenyum.

“Oh, iya. Sama-sama.” Laki-laki itu mencoba untuk bersikap ramah.

“Kami boleh ikut di sini nggak, Mas? Kami nggak bawa kendaraan.” Kali ini Airin yang bicara dengan suara memelas. Fahri menoleh pada Amara, tetapi perempuan itu terlihat tak acuh.

“Boleh, tapi saya dan Amara mau mampir sholat magrib dulu, nggak apa-apa?”

“Oh, nggak apa-apa, Mas. Kami juga niatnya tadi mau shalat magrib dulu baru pulang.” Lidya tersenyum dengan manis. Mata Amara membulat sempurna. Sejak kapan gadis yang suka memakai jins belel ini rajin shalat dan mau ke masjid?

“Baik. Silakan naik.”

“Makasih, ya, Mas.” Keempatnya kompak mengucapkan terima kasih. Amara hanya mengangkat bahu melihat sikap norak teman-temannya.

Sementara Fahri tersenyum tipis. Pastilah perempuan yang telah sah menjadi istrinya itu mengatakan jika Fahri adalah sepupunya seperti yang diutarakannya kemarin.

Mari Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang