Fahri dan Amara 7

2.2K 161 6
                                    

Sepulang dari shalat zuhur di masjid, Fahri menelepon Pak Aryo, papa mertuanya. Fahri menceritakan jika papanya sedang sakit dan ia harus pulang menemui kedua orang tuanya. Fahri mengatakan jika ia belum bisa membawa Amara ikut bersamanya.

Selain karena Amara kuliah, Fahri juga akan menyelesaikan banyak hal di kotanya. Dan yang paling utama, tentu saja karena Fahri belum bercerita jika ia telah menikah. Fahri merasa perlu waktu untuk menjelaskan tentang Amara kepada kedua orang tuanya.

Pak Aryo mengizinkan Fahri untuk pulang. Pak Aryo mengatakan akan segera menelepon Bi Ana dan meminta wanita paruh baya itu untuk segera kembali ke rumah menemani Amara. Fahri merasa tenang meninggalkan Amara jika ada yang menemani.

Jauh di dasar hatinya, Fahri sebenarnya tidak ingin pulang menemui kedua orang tuanya. Setelah apa yang terjadi dua tahun lalu, Fahri bertekad untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Tetapi, Fahri tidak ingin menjadi anak durhaka. Ketika disuruh pergi, ia pergi. Dan ketika disuruh pulang, ia juga akan pulang.

Ketika makan siang, Fahri menceritakan kepada Amara jika ia harus pulang untuk beberapa waktu ke rumah orang tuanya. Amara hanya mengangguk dengan ekspresi wajah yang tidak terbaca oleh Fahri.

Tiga minggu menikah, hubungan mereka masih tidak ada kemajuan. Fahri telah berusaha untuk memangkas jarak di antara mereka. Tetapi, Amara seperti tidak terjangkau. Perempuan itu masih asyik dengan dunianya sendiri. Kehadiran Fahri seakan tidak berarti apa-apa untuknya. Dia hanya datang ketika membutuhkan pertolongan dan bantuan dari Fahri. Namun, Fahri akan selalu bersabar. Ia telah menjatuhkan pilihan, maka ia akan menjaga dan memperjuangkan pilihannya itu.

Esok hari, Bi Ana datang dengan sekardus oleh-oleh. Ada pisang, kerupuk, wingko, sampai bandeng. Fahri menyambut Bi Ana dan meminta maaf karena perempuan yang telah mengasuh Amara dari kecil itu harus pulang lebih awal dari yang disepakati dengan Pak Aryo dan Bu Ayunda.

Tetapi, Bi Ana mengatakan, jika ia memang sudah rindu untuk kembali ke rumah  ini. Berada di kampung membuat wanita sederhana itu merasa suntuk, karena ketiga anak-anaknya telah berkeluarga semua dan tinggal di kampung terpisah.

Malam hari, setelah Fahri membereskan beberapa pakaiannya, Fahri masuk ke kamar Amara. Amara terlihat telah tidur dengan lelap. Fahri menghela napas berat. Sebenarnya, Fahri sangat berharap, sebelum mereka berpisah, ia dan Amara bisa menciptakan sebuah kenangan indah yang akan menjadi pengikat hati dan raga mereka.

Fahri berbaring di samping Amara. Diusapnya rambut Amara dengan lembut. Pelan ditepuk-tepuknya pipi istrinya itu. Amara menggumam tidak jelas.

“Amara.”

Amara yang merasa diganggu membuka matanya perlahan.

“Kamu ngantuk, ya?”

“Hhmm.” Amara memutar tubuhnya membelakangi Fahri. Lagi-lagi Fahri menarik napas dalam.

“Amara, besok aku sudah harus pergi. Aku nggak tahu berapa lama aku bisa kembali. Tidak kah kamu ingin kita saling menunaikan kewajiban sebagai suami istri?” Fahri berucap dengan hati-hati.

Amara meremas selimutnya dengan kuat. Ucapan Fahri membuat dadanya berdetak kencang. Mengapa tiba-tiba ia menjadi begitu gugup? ‘Apakah mereka akan melakukannya malam ini? Bagaimana jika Fahri pergi dan tidak pernah kembali lagi? Bagaimana jika ini adalah pertemuan terakhir mereka?’

Amara tidak mengenal orang tua Fahri. Tidak mengenal sanak saudaranya. Tidak tahu di mana rumahnya. Kalau hubungan satu malam ini tiba-tiba membuat ia hamil, apa yang akan dilakukannya nanti? Berbagai pikiran negatif memenuhi rongga dada Amara. Membuat dada Amara terasa sesak.

“Kita shalat sunnah dulu, yuk.”
Fahri kembali mengusap kepala Amara dengan lembut. Tanpa sadar, Amara menarik tubuhnya menjauh. Tangan Fahri menggantung di udara. Sikap Amara telah menunjukkan penolakan perempuan itu kepadanya. Fahri merasakan dadanya bergemuruh. Rasa kecewa, malu, dan amarah menyatu jadi satu.

Hampir tiga minggu ia menunggu Amara siap menerimanya. Tidak kah waktu selama itu cukup bagi seorang perempuan untuk mempersiapkan diri? Amara bukan anak kecil lagi. Usianya sudah cukup dewasa untuk mengerti apa kewajiban seorang istri terhadap suami.

Fahri akhirnya bangun dan turun dari tempat tidur. Ia tidak ingin rasa marah menguasai hatinya sampai pagi. Walau bagaimanapun, ia telah memilih Amara sebagai pendamping hidupnya. Itu artinya, ia harus bisa menerima segala kelebihan dan kekurangan istrinya itu.

Fahri ke luar dari kamar dan berjalan ke dapur. Tiba-tiba ia ingin minum kopi untuk menenangkan pikiran dan hatinya.

Sementara itu, Amara menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya hingga kepala. Entah mengapa, ia spontan menarik tubuhnya begitu Fahri mengungkapkan tentang kewajiban suami dan istri. Amara tidak tahu, bagaimana cara menerima ajakan itu tanpa diliputi oleh rasa malu.

Hingga subuh menjelang, Fahri tidak kembali lagi ke kamar Amara. Entah mengapa ada sedikit rasa kecewa di hati Amara. Fahri tidak berusaha membujuk dan merayunya.

Pulang dari masjid, sarapan pagi telah terhidang di meja makan. Bi Ana telah menyiapkan semua kebutuhan Fahri dan Amara.

Mereka duduk berdua menikmati sarapan. Fahri menyendok nasi gorengnya dalam diam. Amara pun sama. Sampai keduanya menyelesaikan sarapan, tidak ada seorang pun yang bicara. 

Pukul 07.00, Amara telah bersiap untuk berangkat kuliah. Fahri juga sama. Laki-laki itu telah siap dengan travel bag-nya.

“Aku pamit. Baik-baik di sini. Kalau ada apa-apa, hubungi aku.” Fahri mengusap kepala Amara yang tertutup hijab sekilas.

“Iya, hati-hati.”

“Pegang ini buat belanja sehari-hari dan juga jajan ke kampus.” Fahri mengambil tangan Amara dan meletakkan sebuah kartu di telapak tangan perempuan itu. Amara menatap Fahri dengan tatapan bingung.

“Tidak usah. Papa sudah meninggalkan uang jajan untuk aku. Lagian seminggu lagi papa dan mama sudah pulang.” Amara mencoba menolak, tetapi Fahri sudah melepaskan tangannya dari Amara. Sehingga kartu itupun tertinggal di telapak tangan perempuan itu.

“Kamu tahu, kewajiban suami itu memberikan nafkah lahir dan batin pada istrinya. Mungkin aku belum bisa memberikan nafkah batin karena kamu menolaknya. Tetapi, setidaknya izinkan aku memberikan nafkah lahir untumu.”

Amara membeku. Ucapan Fahri menusuk sampai ke relung hatinya.

“Maaf …” Amara sungguh menyesal.

“Tidak apa.” Fahri mencoba tersenyum. Sudut-sudut mata Amara terasa panas.

Bunyi klakson mobil di luar pagar menyadarkan mereka. Fahri beranjak ke dalam dan pamit pada Bi Ana.

Fahri menyeret travel bag-nya menuju teras. Amara mengikuti dari belakang. Sebelum masuk ke dalam mobil, Fahri menoleh ke belakang. Amara yang juga sedang menatap punggungnya, tatapan mata mereka bertemu untuk beberapa saat. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Fahri masuk ke mobil. Supir taksi membantu Fahri memasukkan travel bag-nya ke dalam bagasi.

Mobil bergerak perlahan meninggalkan Amara yang masih berdiri mematung di halaman rumah. Setetes air mata jatuh membasahi pipi mulusnya. Mengapa ada yang terasa ungkai dari hatinya? ‘Akan kah laki-laki itu kembali?’

Mari Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang