Kurang sepuluh menit dari pukul 08.00, mereka sampai di kampus. Amara sudah bersiap untuk turun, tetapi suara Fahri menahan gerakannya.
“Pulang pukul berapa?”
“Belum tahu.” Amara menjawab tak acuh.
“Nanti pulangnya bareng aku. Aku ke kampus bentar mengurus wisuda.”
“Lihat aja nanti.”
“Jangan lupa telepon kalau sudah selesai.”
“Iya, cerewet amat, ngalahin nenek-nenek.” Amara turun dari mobil dengan bersungut-sungut. Fahri menarik napas dalam. Benar-benar butuh kesabaran ekstra menghadapi istrinya ini.
“Makasih, ya, Mas.” Airin dan Lidya yang sudah berada di samping pintu mobil berucap serentak sebelum Amara menutup pintu mobil. Fahri hanya membalas dengan anggukan dan sedikit senyuman.
Fahri menjalankan mobil keluar dari halaman kampus. Kampusnya tidak terlalu jauh dari kampus Amara. Tetapi, hari ini banyak yang harus diurusnya. Laki-laki itu berharap sebelum Amara pulang ia telah berada kembali di kampus istrinya itu.
***NayaR***
Setelah shalat zuhur, Fahri kembali ke kampus Amara. Ia sudah mengirim pesan kepada Amara dari setengah jam lalu, jika ia sudah menuju kampus istrinya itu. Tetapi, belum juga ada balasan.
Fahri menurunkan sandaran kursi dan membaringkan tubuhnya. Perutnya sebenarnya sudah sangat lapar. Tetapi, ia ingin makan siang bersama Amara. Ia dan Amara harus berusaha mendekatkan diri satu sama lain.
Fahri mencoba memejamkan mata. Mungkin dengan tidur beberapa saat, rasa laparnya akan hilang.
Entah sudah beberapa lama Fahri memejamkan mata. Ia juga tidak tahu apakah ia tertidur atau tidak. Fahri melirik ponselnya. Sudah hampir pukul 14.30. Fahri menegakkan sandaran kursi. Sepertinya ia harus segera mencari tempat makan. Perutnya benar-benar sudah tidak bisa diajak kompromi.
Fahri menjalankan mobil ke luar dari halaman kampus dan memperhatikan kiri dan kanan jalan. Selang lima belas menit, akhirnya ia melihat tempat makan yang masih lumayan ramai.
Mobil memasuki halaman parkir. Fahri sudah bersiap untuk turun, ketika ponselnya bergetar. Terlihat nama Amara di layar ponsel. Fahri mengangkatnya dengan tergesa. Terdengar suara tangisan istrinya di seberang sana. Lalu terdengarlah suara patah-patahnya yang diucapkan dengan suara parau. Fahri mencoba mencerna apa yang diucapkan oleh istrinya itu.
“Kamu tenang dulu, ya. Aku segera kesana. Serlok aja lokasinya.” Fahri berusaha menenangkan Amara.
Setelah menutup telepon, Fahri kembali keluar dari parkiran restoran. Mendadak rasa laparnya lenyap begitu mendengar suara tangisan Amara.Sepanjang jalan, laki-laki itu tidak henti merapalkan doa agar Allah melindungi Amara.
Fahri sampai di lokasi kejadian tepat ketika azan asyar berkumandang. Laki-laki itu meminta izin untuk shalat terlebih dahulu sebelum menyelesaikan urusan Amara dan teman-temannya. Awalnya laki-laki paruh baya itu keberatan, tetapi, setelah Fahri mengatakan akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi, laki-laki itu baru memberikan izin.Fahri menarik tangan Amira dan membawanya ke masjid yang Alhamdulillah berada tidak jauh dari tempat kejadian. Amara yang sudah terlihat pucat dan lemas, hanya pasrah mengikuti langkah suaminya itu. Sementara Lidya, Airin, Rasti dan Vega mengikuti dari belakang.
Selesai menunaikan shalat asyar, mereka kembali ke lokasi kejadian. Orang-orang yang tadi cukup ramai di sana, sekarang sudah terlihat sepi. Fahri memperhatikan kedua mobil yang bertabrakan itu dengan seksama. Sepertinya tidak terlalu parah. Mobil si bapak itu hanya bemper belakangnya yang kena. Sedikit bonyok, tetapi, karena mobil bapak itu masih sangat baru jadi wajar jika si bapak marah-marah dan nggak terima mobilnya ditabrak dari belakang.
Sementara mobil yang dikendarai oleh Amara yang katanya milik orang tua Vega, kondisinya juga tidak terlalu parah. Bemper depannya bonyok. Tinggal ganti bamper saja maka mobil akan kembali terlihat seperti semula.
Fahri mengajak si bapak berunding. Amara dan keempat temannya hanya memperhatikan dari jauh. Sepertinya pembicaraan keduanya cukup alot. Hampir lima belas menit, akhirnya Fahri terlihat mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu di ponselnya. Setelah memperlihatkan kepada si bapak, bapak itu mengangguk. Lalu keduanya terlihat bersalaman.
Bapak berseragam baju pemda itu naik ke mobilnya dan segera pergi. Amara dan keempat temannya menatap semua itu dengan mulut menganga. ‘Apa yang telah dilakukan Fahri sehingga si bapak bisa pergi begitu saja.’ Padahal melihat kemarahannya tadi, mereka tidak yakin akan semudah itu menyelesaikan masalah yang ada.
“Bagaimana, Mas?” Amara langsung bertanya dengan dada berdebar-debar.
“Sudah selesai.” Seperti biasa Fahri menjawab dengan santai.
“Alhamdulillah.” Amara tanpa sadar langsung memeluk Fahri. Amara sangat takut, bapak yang ditabraknya itu sampai mengancam akan melaporkan mereka ke polisi jika tidak mau bertanggung jawab atas kerusakan mobilnya. Sementara Amara punya duit dari mana untuk mengganti semua itu?
Fahri membeku. Untuk beberapa saat laki-laki itu manahan napas. Pertama kali dalam hidupnya, ia dipeluk oleh seorang perempuan selain ibu dan kakaknya. Dan rasanya ternyata luar biasa, menghadirkan debar dan gemuruh di dada.
“Eh, bukan mahrom.” Tiba-tiba Airin berusaha melepaskan pelukan Amara. Amara langsung tersadar dan melepaskan tangannya dari tubuh Fahri. Fahri menahan senyum melihat wajah merona Amara, akhirnya kebohongan Amara menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
“Tapi, mobil Vega gimana, Mas?” Wajah Amara yang tadi sudah terlihat berseri kembali terlihat pucat. Sebenarnya Fahri merasa kesal pada istrinya itu, karena ia telah pergi tanpa izin, lalu mengendarai mobil orang tanpa memiliki SIM, tetapi, entah mengapa melihat wajah penuh kecemasan di depannya itu, Fahri tidak tega juga. Namun, nanti di rumah, Fahri tetap akan membuat perhitungan dengan istrinya itu.
“Kita akan sama-sama ke rumah Vega. Nanti Mas yang akan bicara sama papa Vega.”
Amara menarik napas lega. Semua hal sulit tiba-tiba terlihat begitu mudah di mata suaminya itu. Diam-diam Amara bersyukur mendapatkan suami seperti Fahri. Setidaknya untuk hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Jatuh Cinta
RomanceSeperti mimpi ketika Amara harus menikah dengan seorang garin (penjaga masjid/mushalla). Ia seorang mahasiswa cantik, berprestasi, digilai oleh banyak kaum adam. Namun, takdir membuatnya harus menerima pernikahan yang dipaksakan oleh kedua orang tu...