Jakarta

2.2K 157 14
                                    

Hari ini Amara dan keempat orang temannya akan berangkat ke Jakarta. Permohonan magang mereka telah disetujui pihak perusahaan. Kampus juga telah memberikan surat pengantar.

Sebenarnya, Amara merasa sedih harus kembali berpisah dengan kedua orang tuanya. Baru juga mereka berkumpul seminggu, kini ia sudah harus meninggalkan keduanya lagi.

Tetapi, papa dan mamanya berjanji akan sering-sering mengunjungi Amara nanti ke Jakarta.

Pukul 11.00, mereka sampai di stasiun Gambir.
[Maaf, aku tidak bisa menjemput. Lagi ada acara di Masjid Baiturrahman. Tetapi, ada supir perusahaan tempat kalian magang yang akan menjemput. Perhatikan saja laki-laki yang membawa kertas dengan bertuliskan namamu.]

Amara membaca pesan dari Fahri dengan perasaan kecewa. ‘Berarti di Jakarta laki-laki itu masih bekerja sebagai garin?’ Bagaimana nanti jika teman-temannya mencium hubungan mereka yang sebenarnya? Bahwa mereka adalah suami istri? Lalu teman-temannya akhirnya juga mengetahui profesi Fahri yang sebenarnya? Mau ditaruh di mana muka Amara jika hal itu terjadi?

“Eh, dipanggilin dari tadi malah bengong.” Vega menyenggol lengan Amara.

“Oh, ya, apa?” Amara tersadar dari pikiran-pikiran galaunya.

“Itu ada yang megang kertas bertuliskan nama kamu. Kita nggak jadi dijemput ama sepupu kamu?” Airin memberikan informasi.

“Iya, nggak jadi. Sepupu aku lagi ada acara.”

“Berarti mas-mas itu jemput kita?” Vega menunjuk laki-laki di pintu masuk dengan dagunya. Amara mengikuti arah mata Vega.

“Bener, itu yang jemput kita kayaknya. Ayo kita samperin.”

Dengan mebawa koper masing-masing, mereka berjalan mendekati laki-laki yang memegang kertas bertuliskan nama Amara. Melihat lima orang cewek cantik berjalan ke arahnya, laki-laki berbaju seragam kantor itu tersenyum.

“Mbak Amara?” Ia menatap satu demi satu gadis di depannya.

“Iya, Mas. Saya Amara.” Amara mengangguk dan tersenyum.

“Alhamdulillah. Ayo kita langsung ke mobil.” Laki-laki itu langsung mengambil koper di tangan Amara. Sebenarnya Amara merasa tidak enak, karena teman-temannya yang lain membawa kopernya sendiri. Tetapi, akhirnya Amara hanya mengikuti langkah kaki supir perusahaan itu menuju parkiran stasiun yang ramai.

“Silakan, Mbak.” Laki-laki yang di dadanya bertuliskan nama Sapto itu membukakan pintu mobil dan mengangguk sopan pada Amara. Amara merasa sedikit sungkan diperlakukan seperti itu di dekat teman-temannya.

“Makasih, Mas.”

Mereka mengambil tempat masing-masing. Lidya di depan, Vega dan Raisa di bangku belakang, Amara dan Airin di bangku tengah. Setelah semuanya masuk, mobil pun perlahan meninggalkan parkiran stasiun.

“Kata Bapak, Mbak dan teman-teman langsung diantar ke rumah kontrakan. Besok pagi, baru Mbak dan teman-teman datang ke perusahaan.”

“Baik, Mas.” Amara mengangguk paham. Lalu perjalanan mulai diwarnai dengan gelak canda mereka berlima. Hingga hampir 1.5 jam melewati kemacetan kota Jakarta, tanpa mereka sadari mereka telah sampai di sebuah gedung bertingkat.

“Mas, kenapa ke sini? Katanya kita mau langsung ke rumah kontrakan?” Amara memandang Sapto dengan perasaan bingung.

“Iya, Mbak. Rumah kontrakannya memang di gedung ini.” Sapto menjawab dengan lugu. Amara dan keempat temannya saling pandang.

“Ayo, Mbak. Saya antar atas.” Sapto telah mendorong koper Amira. Amira dan teman-temannya mengikuti langkah Sapto meski dalam hati mereka masih ragu, ke mana laki-laki itu akan membawa mereka sebenarnya.

Mari Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang