Pukul 06.30, Amara dan teman-temannya telah rapi dengan pakaian kerja. Mereka berlima sarapan mie instan. Di lemari dapur dan kulkas tersedia kebutuhan untuk memasak. Tetapi, mereka masih merasa lelah jika harus masak yang berat-berat. Akhirnya mereka memilih memasak yang praktis saja.
Begitu selesai sarapan, terdengar ketukan di pintu. Mereka berlima saling pandang. ‘Siapa yang datang pagi-pagi begini?’ Raisa bangkit dengan tergesa. Begitu pintu dibuka, sosok Sapto telah berdiri di hadapan Raisa.
“Sudah siap semua, Mbak? Saya ditugaskan untuk menjemput, karena Mbak-Mbak pasti belum tahu alamat kantor.” Sapto berkata dengan sopan. Raisa menoleh pada teman-temannya.
“Ini fasilitas kantor lagi, Mas? Apa semua pegawai juga dijemput?” Amara telah berdiri di samping Raisa.“Eh, lihat-lihat situasi dan kondisi aja, Mbak.” Sapto tergagap.
“Baik, Mas. Kami sudah selesai.” Akhirnya Amara mengangguk dengan seribu tanya di dada.
“Saya tunggu di bawah, ya, Mbak.”
“Ya, Mas. Kami segera turun.”
Amara mengambil tas selempangnya. Begitu juga dengan keempat temannya. Setelah mengunci pintu, mereka bergegas menuju lift.
“Jadi nggak sabar ketemu sama bos ’Andromeda Grup’, ya.” Lidya berucap begitu pintu lift terbuka.
“Iya, seperti apa kira-kira orang yang telah begitu baik pada kita.” Airin menimpali.
“Biasanya, yang namanya bos itu, umur di atas 40 tahun, badannya gendut, penampilannya parlente.” Vega mencoba membayangkan.
“Bagaimana kalau bosnya masih muda, tampan, dan gaul?” Raisa membayangkan sosok yang lebih menarik.
“Kalau seperti itu, kita berlima akan saingan untuk mendapatkan hatinya.” Airin terbahak. Amara hanya diam menyimak semua pembicaraan teman-temannya. Pikirannya kembali tertuju pada Fahri. Laki-laki itu masih tidak menghubunginya atau menemuinya. Padahal mereka sudah berada di kota yang sama.
Hingga mereka masuk ke dalam mobil yang disupiri oleh Sapto, Amara masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Celoteh riang teman-temannya yang takjub melihat gedung-gedung pencakar langit, tidak mampu membuat Amara mengalihkan Amara. Hingga satu jam kemudian mereka sampai di sebuah gedung bertingkat, tempat ‘Andromeda Grup’ berada. Untuk tiga bulan ke depan, mereka akan mengaplikasikan ilmu yang telah mereka peroleh di universitas, di perusahaan besar ini.
“Makasih, Mas Sapto.” Serentak kelimanya mengucapkan terima kasih.
“Dengan senang hati, Mbak.” Sapto menjawab dengan sopan. Teman-teman Amara telah berjalan menuju pintu utama gedung Andromeda Grup. Amara berbalik dan memanggil Sapto kembali.“Mas, maaf, mau nanya.”
“Iya, Mbak. Silakan.”
“Masjid Baiturrahman jauh nggak dari sini?”
“Nggak terlalu jauh, Mbak. Kira-kira setengah jam perjalanan kalau nggak macet.”
“Oke, Mas. Makasih, ya.”“Mbak ada perlu ke sana?”
“Belum tahu, Mas. Lihat nanti.” Amara tersenyum lalu berbalik dan menyusul keempat temannya. Jika sampai besok, Fahri masih belum juga menemuinya, maka Amara akan mencari laki-laki itu ke masjid yang disebutkannya kemarin. Tetapi, kira-kira ada berapa masjid dengan nama yang sama di Jakarta ini, ya?
Mereka disambut oleh resepsionis. Lalu diantarkan ke ruang tunggu. Menurut resepsionis yang memperkenalkan diri sebagai Nafa itu, mereka berlima harus menemui bagian HRD. Tetapi, orangnya belum datang. Jadi mereka berlima disuruh menunggu di ruangan berukuran 4 x 5 meter itu.
“Kamu kenapa, Amara? Sedari tadi cuma diam, bengong, manyun.” Lidya menyenggol lengan Amara. Ketiga teman lainnya langsung memandang ke arah Amara dengan tatapan bertanya-tanya.
“Iya, nggak biasanya Amara kalem. Ayo, ada apa?” Raisa ikut menimpali.
“Nggak ada, cuma masih kangen aja sama papa dan mama. Baru juga ketemu, sudah harus pisah lagi.”
“Ye, yang anak mama.” Koor keempat temannya serentak. Amara menarik napas lega, teman-temannya percaya dengan alasanya.
Hampir setengah jam menunggu, akhirnya mereka dipanggil Nafa untuk menghadap ke bagian HRD. Sampai di ruangan HRD, terlihat suasana sudah cukup ramai. Mereka menyerahkan surat pengantar dari universitas.
Pak Diki langsung membagi mereka berlima ke beberapa divisi. Amara dan Lidya di bagian keuangan, Raisa dan Vega di bagian promosi dan Airin di bagian HRD. Lelaki berusia sekitar 40 tahun itu menerangkan apa-apa saja yang harus mereka lakukan di perusahaan ini selama tiga bulan ke depan.
Setelah semuanya paham, laki-laki itu memanggil salah seorang stafnya, Diana, untuk mengantar Amara dan teman-temannya ke divisi masing-masing. Tinggallah Airin seorang diri yang kebetulan dapat job di bagian HRD.
Amara dan teman-temannya memperkenalkan diri di ruangan mereka akan magang. Para pegawai menerima mereka dengan baik dan ramah. Satu hal yang cukup mengherankan bagi Amara dan teman-temannya, semua pegawai perempuan pada umumnya memakai jilbab. Rasanya, jarang-jarang juga perusahaan besar seperti ini, para pegawainya berpenampilan Islami seperti yang mereka lihat ini.
Ternyata perusahaan Andromeda Grup ini memiliki beberapa usaha berskala nasional dan internasional. Beberapa di antaranya adalah ekspor impor, ekspedisi, outsourcing dan beberapa usaha lainnya. Gedung tempat mereka magang ini kebetulan mengurus bagian ekspor dan impor.
Ketika azan zuhur berkumandang, semua aktivitas kantor dihentikan. Seluruh staf dan karyawan dihimbau untuk melaksanakan shalat zuhur berjamaah di mushalla kantor. Amara dan teman-temannya mendapatkan informasi tersebut dari karyawan yang ada di ruangan mereka. Dan masih menurut karyawan yang bernama Wulan itu, setiap jumat, di pekan pertama ada pengajian untuk seluruh karyawan.
Mereka berlima semakin penasaran, ingin melihat rupa si bos yang katanya masih sangat muda itu. Ketika makan siang di kantin, mereka masih menceritakan hal-hal menarik yang telah mereka dengar tentang perusahaan Andromeda Grup ini. Hal-hal menarik yang rasanya akan sulit ditemukan pada perusahaan lain.
Sore hari, setelah shalat asyar, karyawan yang pekerjaannya telah selesai boleh meninggalkan kantor. Amara dan teman-temannya bergegas memesan taksi online. Mereka merasa tidak enak jika harus dijemput lagi oleh supir perusahaan.
Benar saja, begitu taksi pesanan mereka datang, Sapto juga sampai di lobi kantor dan memanggil Amara. Amara mengatakan jika mereka telah memesan taksi online. Sapto terlihat bingung. Tetapi, Amara meyakinkan bahwa mereka akan baik-baik saja. Amara juga berpesan agar tidak usah lagi mengantar jemput mereka. Tetapi, Sapto tidak menjawab apa-apa. Laki-laki itu hanya berdiri di pintu utama melepas kepergian Amara dan teman-temannya.
Malam hari, ketika teman-temannya telah tertidur pulas, Amara berjalan ke luar kamar. Ia duduk di kursi yang ada di balkon. Dipandanginya ponselnya dengan resah. Fahri masih tidak menghubunginya. Apakah ia memang tidak berarti apa-apa bagi laki-laki itu?
Entah mengapa, ada yang terasa sakit di dada Amara. Sudah dua hari ia berada di Jakarta, tetapi, laki-laki itu masih tidak berusaha menemuinya. Apakah menjadi seorang garin demikian sibuknya?
Amara juga tidak mengerti, mengapa tiba-tiba ia mengharapkan pertemuan dengan Fahri. Tidak mengapa jika laki-laki itu masih menjadi garin. Amara akan menerimanya. Amara juga sudah berniat untuk menceritakan tentang hubungan mereka kepada teman-temannya. Amara akan mengakui dengan jujur, jika ia telah menikah. Menikah dengan seorang garin.
Amara tersenyum, meski cairan hangat tiba-tiba mengalir dari sudut-sudut matanya. Sungguh, ia rindu. Ia rindu ingin bertemu dengan laki-laki sederhana itu.
Besok, sepulang kerja, Amara akan mendatangi Masjid Baiturrahman. Amara akan menemui Fahri dan menanyakan mengapa laki-laki itu tidak mencarinya.
Amara juga ingin mengucapkan terima kasih karena telah dicarikan tempat magang yang nyaman.Sampai pukul 23.00, layar ponsel di tangan Amara masih juga kosong. Tidak ada panggilan ataupun pesan dari Fahri. Amara bangkit dengan perasaan kecewa. ‘Apa mungkin sikapnya yang dulu sering merendahkan, yang selalu mengabaikan, bahkan yang pernah menolak nafkah batin dari laki-laki itu, telah membuat laki-laki itu membencinya?’
Amara membaringkan tubuhnya di samping Airin. Akhirnya entah pukul berapa, perempuan itu bisa juga tertidur meski dengan perasaan sedih yang masih mengelayuti hatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Jatuh Cinta
RomanceSeperti mimpi ketika Amara harus menikah dengan seorang garin (penjaga masjid/mushalla). Ia seorang mahasiswa cantik, berprestasi, digilai oleh banyak kaum adam. Namun, takdir membuatnya harus menerima pernikahan yang dipaksakan oleh kedua orang tu...