Senja Ketiga

8.9K 942 6
                                    

Senja Ketiga

---

Keira terbaring dengan sebuah plester menempel erat dipelipis kanannya. Ia tertidur dengan wajah gelisah seolah seseorang tengah mengganggunya dalam mimpi.

Christ mengulurkan tangan mengusap dahinya dengan pelan sebelum turun pada pipi yang tirus tersebut. Laki-laki itu terlihat sangat khawatir dengan keadaan gadis itu--mengingat gadis itu mengalami banyak sekali hal buruk dalam hidupnya.

"Bro?"

Christ menoleh pada Bara yang memanggil dari pintu kamar Keira--kamarnya di rumah keluarga Bara.

"Bokap mau ngobrol,"

Christ mengangguk lalu menghela napas pelan. Ia kembali mengalihkan pandangan pada Keira yang kini masih memejamkan matanya.

Christ menunduk untuk melabuhkan sebuah kecupan lembut di dahi Keira dan membisikkan kata-kata cinta yang menenangkan. Berharap bahwa Keira mendengar dan menyadari bahwa ia selalu ada.

---

Di ruang keluarga yang hangat itu Bara sudah duduk bersama kedua orang tuanya. Menunggu Christ yang melangkah pelan menuju mereka.

"Apa kabar, Christ? Sibuk banget sampe gak pernah kesini seminggu ini?"

Christ meringis. Mengusap wajahnya ketika memutuskan duduk disamping Bara, menghadap lurus pada kepala keluarga ini. Danu.

"Enggak gitu sibuk, Om. Cuman lagi ngerjain proyek yang ada di Banda Neira. Papa pengen bikin resort gitu disana,"

Danu mengangguk. "Yang di Bangka kemarin sudah selesai?"

Christ mengangguk sembari tersenyum tipis. "Sudah, Om. Tinggal nentuin manajemen dan operasionalnya aja. Aku mau orang lokal yang megang, selain karna membantu ekonomi masyarakat setempat, mereka juga pasti lebih paham wilayah saya. Tapi Papa enggak setuju,"

Danu tersenyum hangat. Menatap Bara sebentar sebelum akhirnya kembali menatap Christopher.

"Orang tua itu banyak pertimbangan. Mereka mungkin terdengar dan terlihat terlalu menyetir hidup anak-anaknya, padahal tujuan mereka hanya anak-anak mereka tidak mengalami hal buruk yang mereka alami,"

Christ mengangguk. "Kata mama juga begitu. Mungkin aku perlu banyak belajar lagi dan mungkin perlu banyak diskusi lagi sama Papa,"

Danu mengangguk setuju. Hanya ada diam beberapa saat sebelum Ana membuka kembali pembicaraan.

"Keira hari ini menemui mamanya,"

Christ mengangkat wajah. Matanya langsung berubah khawatir. Ia lantas langsung menatap tajam kearah Bara yang juga menatapnya tak berdaya.

"Yang lo maksud kecelakaan sampe bikin dia luka itu..."

Bara mengangguk. "Kena pecahan mangkok waktu dia lagi nyuapin wanita itu,"

Christ mendesis pelan, menahan umpatan agar tidak keluar dari mulutnya. "Gimana bisa?"

Ana menyerahkan sebuah map kertas kearah Christopher. Menyuruh laki-laki itu untuk membacanya.

Setelah beberapa saat ia kembali mengangkat wajah. Menatap Ana dengan pandangan yang tidak ia mengerti.

"Keira setuju dengan terapi yang diberikan dengan syarat harus pelan-pelan. Ia sudah beberapa kali mengunjungi Ibu Kandungnya, walaupun hanya dari jauh atau dari balik kaca jendela. Kondisi Keira sudah jauh lebih baik sampai beberapa minggu yang lalu. Tapi sepertinya ada kejadian yang membuat dia terlalu memaksakan dirinya sendiri."

Christ mengernyit tidak mengerti. Terakhir ia bertemu dengan Keira, gadis itu terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang aneh padanya.

"Ak--aku sudah hampir dua minggu enggak ketemu Keira, tante. Terakhir kali waktu aku anter dia kesini pagi-pagi. Setelah itu dia hampir enggak bisa dihubungin. Aku pikir memang lagi senang dan sibuk sama tante,"

Ana tersenyum. Tangannya membuka lembar-lembar pada laporan kesehatan Keira. Menunjukkan pada Christopher.

"Terapi yang dijalani Keira harusnya dua kali dalam seminggu, tapi belakangan ini dia seperti memaksakan diri untuk terapi hampir setiap hari. Tante pikir mungkin Keira bosen enggak ngapa-ngapain, tapi hari ini dia bahkan membohongi tante dan ajak Bara untuk bertemu ibu kandungnya,"

Christ masih mencerna dalam kepalanya. Apa yang sedang dipikirkan gadis sampai harus memaksakan dirinya sendiri.

Danu berdehem beberapa saat. "Saya tidak terlalu paham dunia psikologi, tapi kamu yakin tidak ada yang terjadi diantara kalian?"

Christ menggeleng pelan. "Enggak ada. Aku sama Keira baik-baik aja, bahkan--"

Christ langsung tersedak oleh ludahnya sendiri. Matanya melebar ketika menyadari sesuatu.

"Lo apain Keira lagi, Christ?!"

Christ menatap nanar kearah Bara sebelum akhirnya menoleh pada Ana dan meringis pelan.

"Ak--aku..."

Rahang Danu langsung mengeras. Tangannya terkepal kuat. "Kamu apain anak saya, Christopher?!"

Christ lantas menjatuhkan diri dari sofa. Menatap Danu dan Ana dengan perasaan bersalah.

"Aku minta Keira, Om. Aku minta Keira menikah sama aku, Tante."

Danu dan Bara langsung saling pandang dengan tatapan sulit diartikan. Seolah paham Keira pasti trauma dengan pernikahan.

Ana tersenyum. Mengulurkan tangan kearah Christ yang masih menunduk dengan perasaan teramat bersalah.

"Kenapa?"

Christ mengangkat kepalanya. Menatap Ana dengan pertanyaannya yang aneh.

"Aku rasa aku gak akan bisa tanpa Keira disisiku. Aku mau habisin hidupku sama Keira, tante. Aku cinta sama dia, aku gak bisa kehilangan dia lagi,"

Danu diam-diam menghembuskan napas lega. Tangannya yang mengepal perlahan melemas. Hari ini ia tahu bahwa sahabat anak laki-lakinya itu benar-benar serius dengan ucapannya.

"Christ, kamu siap menghadapi Keira dengan segala mimpi buruknya seumur hidup kamu?"

Christopher mengangguk yakin. Baginya tanpa Keira disisinya lah yang akan menjadi mimpi buruk seumur hidup.

---

Hai, aku pikir aku gak akan bisa jatuh cinta secinta aku sama Akaash--anakku yang pertama. (Baca Hope dan Pelukis Langit)

Ternyata Christo juga bikin meleleh:(

Terima kasih sudah baca

Love🤍

--aku

Menghitung Petang (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang