"Kau mau ke mana?! Kita belum selesai bicara!"
"Aku selesai bicara denganmu dan aku akan pergi!"
Pertengkaran dan teriakan adalah hal biasa di rumah Mingi dan Wooyoung. Teriakan keras mereka bisa terdengar dari jarak puluhan kilometer jauhnya. Deep voice Mingi menggelegar keras dari rumah kecil satu lantai itu. Suara dalamnya bersama dengan kerasnya teriakan Wooyoung, memenuhi lingkungan tenang tempat mereka tinggal.
Suasana sunyi yang sudah biasa diinterupsi oleh teriakan, teriakan dan teriakan tanpa henti. Mingi dan Wooyoung sering bertengkar. Hal yang normal sekarang. Berjam-jam dihabiskan untuk saling berteriak.
Saling tatap adalah cara untuk mengakhiri perdebatan mereka. Cara lain adalah salah satu dari mereka memutuskan untuk menjauhi yang lainnya, memberi waktu pada dirinya sendiri untuk kembali sadar dan menenangkan diri, tidak ingin berada di ruangan yang sama. Mingi melakukannya.
Argumen Mingi dan Wooyoung kali ini bukan tentang siapa yang mencuci piring, atau siapa yang lupa mencuci, atau menginginkan remote untuk mengganti saluran. Oh, tentu tidak lagi.
Perdebatan ini berpusat pada makhluk yang bertumbuh di perut Wooyoung. Anak mereka. Mingi mengatakan kelahiran anaknya harus di rumah. Wooyoung tidak setuju. Kelahiran bayinya sebaiknya di rumah sakit. Berputar-putar meributkan dan menjelaskan kenapa pilihan diri mereka masing-masing itu pilihan terbaik. Mereka menginginkan lingkungan terbaik saat Wooyoung melahirkan.
Mingi mengerang, mencengkeram rambutnya. "Dengarkan aku Wooyoung sialan! Aku ingin dia lahir di sini, di rumah! Tempat yang aman dan familier untukmu."
"Tidak mau! Rumah sakit adalah tempat yang ideal untuk melahirkan! Ada dokter, perawat yang akan membantuku jika ada komplikasi selama persalinan."
Pertengkaran ini sepuluh kali lebih buruk dari pertengkaran lain yang mereka lakukan. Mingi sudah muak berdebat dengan Wooyoung. Dengan kesal, dia bergegas keluar dari kamar tidur mereka dan pergi ke kamar lain.
Wooyoung akan tidur sendirian. Dia juga kesal hingga uap keluar dari telinganya. Lalu ia merasakan sakit. Ia mengusapi baby bumpnya.
Sakitnya muncul sekali lagi. Rasa sakit mulai menyebar melalui perutnya, menjalar ke bagian lain, menyebar hingga ke punggungnya. Punggungnya terasa mau patah.
"Mingi," gumam Wooyoung, berjalan terseok di kamar tempat Mingi berada.
"Jangan bicara padaku Wooyoung," tanggap Mingi, melipat tangan di dada, memunggungi Wooyoung. Jelas masih sangat kesal dengan pertengkaran mereka.
"A-aku mau melahirkan."
"Aku tidak akan luluh."
"A-apa? L-luluh bagaimana?"
"Kamu pernah bilang bahwa kamu akan melahirkan dan ternyata hanya berpura-pura—"
Wooyoung menjerit keras, membungkuk. Mingi berbalik mendengar tangisan pedih dari Wooyoung.
"Sial. Kamu mengatakan yang sebenarnya?"
"Iya lah! Aku berkata jujur!" teriak Wooyoung. "P-pertengkaran itu mungkin yang telah membuatku harus melahirkan lebih cepat." Ia menangis.
"Baiklah, ayo sayang," ujar Mingi melembut. Wooyoung merasa lebih tenang dan meleleh mendengar Mingi memanggilnya sayang setelah pertengkaran dan teriakan yang mereka lakukan.
"A-aku sepertinya harus melahirkan bayinya di sini. Sakitnya, terlalu sakit." Rasa sakit yang menimpa bagian perut dan punggungnya semakin kuat saat bayi itu bergerak-gerak, menendangnya kasar.
"Oke sayang. Ayo kita ke kamar kita. Tempat tidur akan nyaman untukmu." Mingi mengajak Wooyoung keluar dari ruangan ini perlahan-lahan dan kembali ke kamar tidur mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]
Fanfictionbottom!Wooyoung Buku terjemahan ©2018, -halahala_