• the Heart •

23 2 1
                                    

Lucy Willowsen, Archois 2060

"Wah... lagi gambar apa, nih?? Keren!" Seru Lucy pada adiknya, Matthew yang hanya menyengir.

"Pahlawan!"

"Pahlawan yang mana tuh?? Kan ada banyak..."

"Ini!" Matthew menunjukkan gambaran krayonnya yang berhasil membuat Lucy tersenyum. Ia mengelus kepala si brunette kecil.

"Makanya belajar yang rajin ya? Biar nanti sukses! Biar kayak Sir Anderson!" Senyum Matthew mengembang lebih lebar, bersama dengan kakaknya. Lucy kemudian berdiri dan berjalan menuju lantai atas, kamarnya.

Ia menghela napas berat setelah merebahkan tubuhnya. Sejenak ia hendak menutup matanya, tapi ia teringat tugas yang diberikan gurunya untuk besok. Lucy segera menyalakan komputer hologramnya dan membuka internet, mencari artikel yang tepat untuk referensi.

HETHAREGENIUM MELAKSANAKAN REKRUT TENTARA MASSAL DI SELURUH PETRALIUM PADA BULAN INI MENGINGAT VIRUS YANG SEMAKIN MENGGILA

Lucy mengerutkan alisnya membaca judul sebuah iklan artikel yang melintas. Dengan penasaran ia menyentuh layar hologramnya, membuka halaman baru.
Iris kuning keemasannya membaca setiap kalimat dengan cermat. Tapi Lucy terhenti pada sebuah kalimat.

...Kebanyakan peserta rekrut berusia jenjang sekolah menengah, hingga Gurenschmit membangun sekolah sederajat gratis demi menamatkan pendidikan peserta rekrut. Peserta rekrut harus memiliki reputasi dalam keluarganya sebagai laki-laki tertua di keluarganya, atau anak pertama yang dapat diandalkan...

Matanya tak bisa mengedip, ia tak percaya bahwa anak seusianya sudah sibuk berperang dengan monster, sementara ia hanya menyibukkan dirinya dengan beberapa PR dan tugas-tugas yang tak sebanding. Tak lama kemudian ia bangun dari pikirannya sendiri dan melanjutkan tugas yang besok akan dinilai.

-

"Hah? Lucy? Kamu mau punya anak usia sekolahan yang udah mainin pistol??" Lelaki paruh baya itu terkejut mendengar ucapan istrinya.

"Saya juga gak mau, tapi harus gimana lagi? Dia anak pertama kita, Matthew juga masih kecil, ya jadinya Lucy!"

"Tapi saya lebih pantes daripada dia! Saya yang ikut!"

"Hah?? Tapi Ayah gak akan kuat! Lagian nanti siapa yang mau nafkahin keluarga?" Harrith menghela napas panjang, lalu mengelus kedua pundak istrinya, Annie.

"Annie, dengerin dulu. Lucy itu masih harus ngerasain kuliah, menikah, punya anak, kerja, dia masih punya masa depan yg panjang, gak kayak saya yang tinggal nunggu mati. Dan setiap keluarga tentara itu juga waktu ditinggal mati keluarganya bakal dikasih uang tiap bulannya." Tangisan Annie semakin menjadi setelah mendengar ucapan suaminya. Harrith memeluk erat Istrinya, meyakinkannya bahwa ia pasti akan selamat.

Lucy yang mendengar semuanya di depan tangga ikut menangis. Dia tak percaya ayahnya yang berusia diatas setengah abad itu akan pergi ke medan perang, meninggalkan mereka.

'Gak, resikonya terlalu tinggi buat Ayah, Ayah gak bakal kuat... Ayah harus tetep disini, biar aku yang ikut berjuang. Lagian banyak anak sekolahan, kan?' Batin Lucy dalam hatinya. Ia bergegas menaiki anak tangga kembali, menuju kamarnya.

-

Keesokan harinya, Harrith sudah menuju rombongan petugas rekrut, ia hendak menghampiri seorang petugas dengan tablet hologramnya.

"Pak, permisi, kalo mau daftar dimana, ya??"

"Sama saya bisa, pak. Boleh tau marga bapak?"

"Willowsen,"

Petugas itu mengetik di tabletnya dan membuat Harrith menunggu cukup lama,

"Keluarga Anda sudah ada perwakilan, Bapak gak bisa daftar." Jelasnya. Harrith mengerutkan alisnya bingung saat petugas itu pergi menghampiri rekannya.

"Ayah?"

Harrith menengok ke sumber suara lembut itu. Lucy sudah mendapat gelang besi tanda anggota rekrut yang seharusnya dipakai oleh ayahnya. Mata Harrith melebar, ia segera menghampiri putrinya panik dan memegang kedua lengannya.

"Kamu ngapain disini?! Kamu daftar?? Buat apa?? Kamu lebih baik sekolah aja sana! Gak perlu-"

"Aku gak bisa biarin Ayah mati gitu aja disana! Kalo Ayah dirumah, Ayah masih bisa-"

"LUCY! Dengerin Ayah!" Harrith terhenti dan menghela napas panjang, mengubah suaranya menjadi lebih lembut. "Sekarang kamu pulang, ya? Kasih gelangnya ke Ayah. Ayah janji Ayah bakal pulang selamat."

Ia meraih gelang besar itu, yang lebih mirip dengan borgol. Tangan kuatnya mencoba membukanya dari tangan Lucy. Perlahan tangan Lucy mendarat diatas tangan Ayahnya, menghentikan percobaannya.

"Ayah masih inget waktu aku belajar naik sepeda waktu kecil? Ayah bilang 'Seorang pejuang gak pantas bilang 'gak mungkin' yang selalu jadi kata-kata pecundang. Dan sebanyak apapun dia jatuh, dia tetap berhak untuk berdiri lagi walau sendiri'. Dan aku mau jadi pejuang itu. Cukup aku bikin kecewa Ayah sama Ibu waktu SMP, aku mau buktiin aku bisa jadi kebanggaan kalian." Air mata Lucy menetes saat tatapan mereka bertemu, Ayahnya turut menangis, tapi lebih kencang. Tangan besarnya memeluk erat putri sulungnya.

"Janji ke Ayah kamu bakal pulang dengan hidup, selamat, dan aman! Kamu masih punya perjalanan panjang! Jaga kehormatan diri kamu, jangan sampe kamu celaka!" Ucapnya disela tangis, Lucy hanya tersenyum dan mengangguk. Harrith melepas pelukannya dan memandang putrinya, seakan untuk terakhir kalinya.

PERHATIAN KEPADA SELURUH PESERTA CALON TROOPS UNTUK SEGERA MEMASUKI BIS, DIKARENAKAN KAMI AKAN BERANGKAT DALAM 1 MENIT LAGI, SEKALI LAGI...

Keduanya menenengok pada sumber suara, Lucy menatap hangat Ayahnya, lalu rumahnya.

"Salam buat Ibu sama Matthew, ya? Pamit dulu." Ujarnya. Ayahnya mengelus lembut kepala Lucy.

"Baik-baik disana, jangan bermasalah."

"Doain aja, Yah." Dengan itu Lucy masuk dan melambai. Tak terasa 1 menit itu berlalu dan beberapa bis itu pergi dari pandangan mata Harrith.

.
.
.
.
.

811 words
-
TBC.
Next, the Wings.

The Jackals [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang