Conor Zach Neillson, Dormillen 2060
"Trus lo ngapain disini?? Emang urusan lo?"
"Loh? Emangnya gak boleh bantuin orang? Se-sempurna apa sih, diri lu sampe lu maki-maki orang, hah?"
"Gue ya, gue. Ngapain lo ngurusin gue? Mending lo pergi dari sini sebelum nasib lo lebih parah dari dia!" Mike menyenggol bahu Conor saat melewatinya. Conor menyunggingkan senyuman kecilnya.
"Ngancem doang? Mental kok Hello Kitty?" Ujarnya memancing amarah Mike. Mike langsung berpaling dan menggenggam erat ujung hoodie yang melapisi seragam Conor, mendekatkan wajah bengisnya.
"Denger, ya, lo tuh baru 5 bulan disini. Gak usah sok-sokan sama senior lo, dan kalo lu masih di hadapan gue, gue gak bakal ragu buat hancurin hidup lo di sekolah ini. Paham?" Ancam Mike.
Conor tidak membalas tatapan Mike pada detik-detik pertama, ia menaikan alisnya pada Andrew-sasaran empuk Mike-sebagai kode menyuruhnya pergi perlahan. Conor baru menatap Mike saat ucapannya selesai. Berlawanan dengan Mike, tatapan mata Conor terkesan sangat tenang.
"Coba,"
Tanpa ragu Mike menghempas Conor ke dinding. Bentuk Kodidor yang panjang memperjelas suara bising akibat perkelahian mereka. Tak sedikit siswa yang terkejut akan kejadian itu. Tak ada yang berani melerai perkelahian antara kedua 'preman'. Wajar lah, kenakalan Conor sudah terungkap sejak hari pertama. Dengan 3 kali dropout dari sekolah sebelumnya, bukannya sudah jelas?
Semuanya berlangsung ricuh, hingga beberapa anggota organisasi siswa menghentikan mereka sampai guru datang, dan dibawa ke ruang BK.
-
"Lu tuh gak ada mikirnya, ya?! Ini sekolah ke 4 lu! Lu mau sekolah dimana lagi, hah?! Lu gak kasian sama Bapak yang mati-matian kerja demi sekolah lu?? Kalo lu di DO lagi, mau dimana??" Ujar Aurora kesal sambil membawa mobilnya melesat di jalan. Adiknya hanya diam, mencoba mengompres beberapa memar dan lukanya dengan sekantung es dari UKS sekolah.
"Gue cuma belain orang. Dan gue gak liat ada yang bantuin dia sebelumnya." Aurora menghela napas, memijat pelipisnya.
"Conny, dear, denger deh. Gua gak tau gimana nanggepin itu, tapi lu jangan samain kayak masalah-masalah dulu. Alesan lu udah basi. Tapi lu harus siap nerima konsekuensi hidup lu. Kalo lu gini terus, masa depan lu kayak gimana? Paham gak?" Aurora mulai memperlembut suaranya.
Conor kembali terdiam, menyamai suasana hingga tiba di rumah. Walau terlihat berandalan, Conor merupakan sosok lembut. Ia juga sosok yang sangat ambisius terlebih mengenai obsesinya menjadi tentara seperti kakeknya, yang Ibunya selalu ceritakan. Bukan sosok yang familiar memang, tapi perjuangannya selalu menggetarkan hati Conor.
Mereka tak lama sampai di depan salah satu rumah, dengan wanita paruh baya sedang menyiram tanamannya. Aurora keluar pertama dan dicegat oleh ibunya. Percakapan mereka terlihat sangat serius. Conor yang memperhatikan mereka sambil memasukan barang-barangnya ke dalam tas memustuskan untuk keluar juga. Sementara Aurora masuk kedalam rumah, Ibunya berpaling melihat wajah babak belur Conor. Dia tersenyum, lalu memeluk Conor.
Conor sama sekali tidak mengiranya. Biasanya Marie akan terus bertanya akan motif dibalik lukanya. Tapi kali ini, Marie mendaratkan pelukan erat dan menahan tangisnya.
"Ma? Kenapa?" Tanyanya heran.
"Masuk dulu, yuk," dengan itu Marie menarik tangan Conor pelan. Ayahnya, Erick menunggunya. Raut wajah heran Conor terlihat jelas saat mereka ikut duduk.
"Kenapa..?" Tanya Conor pelan. Ayahnya menarik napas, memulai topik,
"Tadi Bapak dapet kabar, Rekrutmen troops Hetharegenium dilaksanakan besok di Dormillen. Dan setiap keluarga wajib ngirim 1 orang buat direkrut." Napas Conor tercekat. Ia tahu apa yang akan Ayahnya katakan.
"Terus, Bapak nganjurin Conor ikut?" Erick mengangguk berat. Marie tak kuasa menahan tangisnya. Ia meremas tangan putra bungsunya. Tapi Conor tidak keberatan dengan keputusannya. Ia memang terkejut, tapi dengan artian bahagia.
Conor sudah lama memimpikan ini. Ia merasa bakatnya ada di medan tanding, bukan di hal akademik maupun hal yang menyangkut sosial. Tak pernah ia menemukan kondisi yang mendukung. Hingga detik ini, Conor Zach Neillson akan mewujudkan mimpinya. Tapi melihat raut sedih orang tuanya, ia tak berani mengungkapkan bahagianya.
"Mmm... iya, oke... emm... dateng jam berapa?" Tanyanya berusaha tidak merusak suasana,
"Kira-kira jam 9 pagi," Jawab Erick. Conor pun berdiri,
"Conor mau bersihin luka dulu, sekalian mandi." dengan alasan itu ia pergi dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia tertawa puas tanpa suara, Ia memasuki kamar mandi, lalu membuka seragamnya. Ia menatap bayangannya di kaca. Senyumannya bersinar bangga.
"Nanti, luka-luka ini gak bakal jadi luka aib, tapi jadi luka kehormatan."
.
.
.
.
.717 words
-
TBC
Prolog, end.A/N
Holaa!! ><
Aku abis ini ijin yaaa
Ijin balik ke kandang ehehe
See you next time!!
-tehalpuket
KAMU SEDANG MEMBACA
The Jackals [HIATUS]
FantascienzaTahun 2060, dimana virus sejenis Zombie merebak secara kolosal dibanding 5 tahun sebelumnya dimana Zombie pertama ditemukan. Ini adalah kisah lima tentara yang terus berusaha mengungkap kebenaran dibalik wabah tiga jenis Zombie yang mewabah di Petra...