Bagian 12 - Proposed or Purpose

16 0 0
                                    

"DOOO.." Panggilku berkali-kali. Aku cari ke kamar, kamar mandi, aku tidak menemukannya sama sekali. "DOOO.." Panggilku lebih keras tanda frustasi tidak menemukannya dimanapun. Dengan tangan bergetar kucoba untuk menghubungi telepon genggamnya. Samar-samar terdengar dering yang sangat familiar ditelingaku. 

"Vyen?" Ada jawaban diseberang sana sambil terdengar bunyi bip bip dari kunci pintu. Aku terdiam sambil berjalan cepat ke arah pintu depan. Masih terdengar, "Hallo... Vy". Dia berhenti sejenak saat melihatku. "Lohh.. Kok di rumah?" Katanya sambil mematikan ponselnya dan menutup pintu.

Tanpa babibu, "Darimana?? Dari tadi gue nyariin loe. Kenapa gak bilang mau keluar? Emang kaki loe udah kuat? Ia? Kalau udah gak butuh gue, bilang. Gue bisa keluar dari sini. Biar gue gak harus pusing kayak gini." Tanyaku tanpa berpikir apa pun. Aku sudah sangat khawatir.

Dia mengkerutkan jidatnya sejenak. "Loe... Nangis?" Tanyanya tanpa ngejawab pertanyaanku satu pun.

Aku masih menahan isakanku yang menjadi.

Aku terjongkok sambil menutup mataku dan terisak. "Brengsek.." Makiku. Tepatnya aku bingung kenapa aku sehisteris ini. Aku hanya bisa mencoba menghentikan tangisanku.

"Hei... Hei.. Gueeee... cuma beli sabun dari guardian di bawah. Sabun gue ternyata abis." Jelasnya sambil jongkok depan aku.

Aku masih gak jawab. Aku masih mencoba untuk menenangkan jantung dan isakanku.

"Hei.. Kenapa sih? Loe kenapa?" Ucapkan mulai khawatir. 

Aku bangkit berdiri hendak pergi ke kamarku. Sedikit akal sehatku mulai hadir mengingat pria ini baik-baik saja.

"Tunggu.. Loe kenapa? Loe Sakit?" Dia menghentikanku yang hendak balik badan. 

"Enggak. Gue mau ke kamar." Jawabku singkat masih terisak.

Sambil menahan tangan kananku erat, dia bilang."Enggak boleh. Loe jelasin ama gue. Loe kenapa pulang-pulang nangis kayak gini."

"Gue cuma.. hhh.. cuma..." Aku bingung harus bilang apa. 

"Hmm??" Ucapnya tak sabar.

"Gue.. Gue cuma.... khawatir." Kataku dengan nada yang kecil banget masih sesenggukan.

"Loe khawatir? Khawatirin gue?" Tanyanya bingung. 

"Iaaalaah.. " Aku bicara setengah teriak membuatnya sedikit kaget. "Loe aneh banget dari kemaren. Trus tiba-tiba hilang. Gue kira loe mati dimakan kalongwewe... Hiks.. hiks.." Aku menyeka air mataku yang turun kembali.

Setelah terdiam sekian detik, Ardo tertawa, "Puftt... buahahaha.. Jadi, loe nangis kayak gini ngira gue dimakan hantu? Hahaha.." 

Karena kesal, aku meninggalkannya. Tapi tiba-tiba badanku diputar dan sepertinya aku sedang dalam pelukan seseorang. "Sorry.. udah buat loe khawatir sampe kayak gini." Ucapnya setelah lama kita berdua terdiam. 

Setelah kepalaku sadar dengan yang terjadi, aku mencoba untuk memecahkan kecanggungan ini, "Sampe kapan loe mau kesempatan dalam kesempitan kayak gini, ha??"

Dia pun melepas rengkuhannya sambil tertawa, "Makanya jangan cengeng." Katanya sambil mengusap kepalaku yang kayaknya udah berantakan karena naik gojek tadi. "Karena ketidakwarasan loe udah balik, gue mau mandi dulu." Katanya sambil berlalu. "Oh ia, jangan nangis lagi. Gue pusing liat loe nangis." Katanya sambil berlalu.

"Kampreeett... Emang gue nangis karena siapa, Nyeeett??" Teriakku saat dia udah menutup pintu kamarnya.

Tanpa membuang waktu, aku pun ke kamar mandi untuk menghapus jejak jejak memalukan di mukaku. Huftt.. Ini sangat memalukan. 

Is This Endless WaitingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang