Bagian 15 - We

25 0 0
                                    

"Bisa tolong berhenti menikam jantung gue?"

Dia memejamkan matanya. Demikian juga aku, jantungku berdebar kencang sekali. Aku baru menyadari dia tidak memakai kacamatanya saat ini. Dimana kacamata itu?

"Gue gak ada jawaban tentang pertanyaan loe itu, Vye. Sumpah. Gue udah mikirin itu semalaman. Dan gue gak nemu jawabannya. Apa yang harus gue lakuin?"

Aku masih terdiam. Jantungku yang berdebar kencang ini menutup semua akalku.

"Memikirkan loe kecelakaan dan gak bisa jalan aja, rasanya jantung gue udah gak enak. Memikirkan ternyata loe pengen punya anak. Kemungkinan orang tua gue marah karena loe gak bisa kasih keturunan buat gue dan loe menjadi sasarannya. Itu gak ada dalam pikiran gue. Yang gue pikirkan, gue, elo bahagia. Itu aja. Bisa gak, loe mikir hal yang sama, Vyen Sera?" Tanyanya lirih.

"Gue.. gue.." Aku gak tahu harus jawab apa pun.

Tanpa babibu dia kembali menciumiku dengan membabi buta. Aku merasakan pelukannya yang sangat erat. Aku gak tahu kenapa bisa membiarkannya melakukan apapun padaku. Aku hanya bisa menutup mataku dan entah kenapa air mataku kembali menetes.

"Apa yang kalian lakukan?" Sebuah suara menghentikan kami berdua. Spontan Ardo menarik kepalaku dan memeluk ke dadanya. Aku pun memegang erat bajunya yang tanpa kusadari sudah aku genggam. Sehingga, aku gak bisa liat siapa itu.

"Mama?" Aku menegang seketika. Sepertinya Ardo mengetahui perasaanku, sehingga dia mengusap punggungku.

"Haduhh Ardo.. Kita harus bicara. Ini gak bisa dibiarin. Mama tunggu di ruang tengah."  

Selepas kepergian Mama Ardo, Ardo mengangkat kepalaku dan menghapus air mataku dan merapikan rambutku yang sepertinya berantakan karena ulahnya. Memandangku lekat sambil berkata, "Tenang, ada gue. Kita hadapin bareng-bareng." Dia meraih jemariku dan membawaku ke ruang tengah.

Sumpah demi apa pun ini jantungku udah gak tahu ada dimana. Rasanya aku mau tenggelam aja ke bak mandi sekarang. Malu, takut, degdegan, semua campur aduk. Ini masalahku dengan Ardo aja belum selesai. Ada masalah baru. Haduh....

Sesampainya di ruang tengah, betapa terkejutnya aku. Ternyata bukan cuma Mama Ardo. Ternyata ada Papa Ardo, Mamaku dan Adikku. Oh Tuhaaannnn, penggal aja kuku jariku inihhhh...

"Mama", panggilku lirih. Pantesan aja Ardo segitunya tadi bilang hadapin bareng-bareng. Haduhhh...

"Duduk", seru Mama Ardo. Kami pun duduk bersisian dengan tangan Ardo yang menggenggam tanganku erat banget. "Jadi, sejauh apa udah yang kalian lakukan?" Tanya Mama Ardo yang membuatku semakin menundukkan kepalaku. Bahkan memandang wajah Mama pun aku gak sanggup.

"Mama, kita gak pernah aneh-aneh. Sumpah." Jawab Ardo tegas.

"Gak usah bersumpah. Yang tadi kamu bilang itu bukan aneh-aneh, Ardo?"

Aku dan Ardo masih terdiam. "Pokoknya kamu dan Vyen akan menikah secepatnya. Gak ada bantahan. Mama gak mau tahu yah Ardo."

"Ardo udah lamar Vyen, kok." Aku hanya bisa memandang Ardo  dengan jawabannya yang nyablak itu. Ingin rasanya kucabik-cabik kepalanya saat ini.

"Bagus kalau gitu. Gimana, Bu? Ibu gak masalah kan, yah?"

"Saya rasa itu adalah solusi terbaik, Bu." Jawab Mamaku menyetujui. Selesai sudah. Selesai.. Haduhh... Kok gini. Aku cuma bisa memandangi tanganku yang di genggam Ardo tetap sama kuatnya.

"Baik, Bu. Saya rasa semakin cepat, lebih baik. Kalau ada apa-apa supaya gak semakin parah. Ya, Bu?"

"Saya setuju aja, Bu." jawab Mamaku dengan nada yang sendu. Aku tahu Mama kecewa. Aku meneteskan air mataku.

"Saya minta maaf atas kelakuan anak saya ya, Bu?" Papa Ardo kini bersuara.

"Anak saya juga terlibat, Pak. Saya juga minta maaf kalau ini terjadi, Pak."

Setelah semuanya, kami kembali tinggal berdua, dengan alasan Ardo yang mau membicarakan sesuatu dan besok akan mengantarkanku ke apartement. Dan tinggallah kami di sini duduk berdua. Aku menarik tanganku dari tangannya. Ardo membiarkannya.

"Gue gak tahu harus ngomong apa." Kataku memulai pembicaraan.

"Gue gak tahu apakah gue mencintai loe. Gue juga gak bisa janji kasih itu buat loe. Tapi, satu yang gue tahu adalah gue gak main-main waktu minta loe untuk nikah sama loe. Kalau menurut loe gue gak serius, seiring berjalannya pernikahan kita, loe akan lihat kalau gue gak main-main sama loe."

"Masalah anak, gue serius waktu bilang kayaknya gue gak bisa kasih loe keturunan." Kali ini aku melihatnya lekat.

"Dan gue juga serius bilang kalau pernikahan kita ini bukan tentang anak, Vye. Gue gak tahu gimana jelasinnya sama loe. Tapi gue nikahin loe memang bukan karena anak. Gue menikahi loe karena gue butuh loe. Masalah anak kita bisa adopsi atau apalah. Tapi, kita hadapin bareng-bareng." Entah kenapa suaranya kali ini terdengar gusar.

"Dan gue gak akan biarin loe kecelakaan. Gue jamin itu. Gue pertaruhkan diri gue untuk itu." tambahnya. 

Aku gak tahu itu dia bilang agar aku mau menikahinya atau memang serius. Tapi sangat sulit mempercayainya mengingat aku tidak mengenal isi hati dan wataknya.

"Ya udah. Mau gimana juga ini orang tua kita juga udah menetapkan pernikahan kita." Jawabku pasrah.

Dia tersenyum tipis banget tapi masih terlihat. "Thank you." katanya terdengar tulus. "Gih, tidur sana. Besok gue antar ke apartement loe."

"Iya." Jawabku sambil berjalan ke arah kamarku.

Dan entah kenapa sebelum masuk, Ardo kembali memelukku lagi dari belakang dan menaruh keningnya di kepala belakangku. "Apa gue udah bilang thank you  sama loe?"

"Udah tadi."jawabku.

"Ya udah. Gue mau bilang lagi. Thank you, Vye. Mau nikah sama gue."

Entah kenapa mendengar itu, aku tersenyum lebar sekali.

"Can i kiss you again?"

"No." Jawabku singkat.

"Hhaha.." Dia ketawa halus di kepalaku. "It's okay. Sleep thigh my bride." Ucapkan sambil mencium pelipisku. 

Entah kenapa aku merasa, dia mencintaiku dengan bersikap demikian. Aku memandang punggungnya yang berjalan menjauhiku. Punggung yang sama yang aku pandang di hari wisuda kami dulu. Bedanya saat ini, punggung itu terlihat lebih lebar dan terlihat lebih kokoh.

You are the one and only i want. Then. And Now. Ardonan Ferlos.

Is This Endless WaitingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang