Part 21- Getting Colder

5 0 0
                                    

Sepanjang perjalanan pulang terasa sangat sepi. Entah mengapa aku merasa sangat sendu saat ini. Aku duduk bersamanya tapi entah mengapa kumerasa sangat jauh. Kututup mataku seolah tidur di kursi penumpang sembari berpikir apa yang harus kulakukan untuk menyembuhkan hatiku yang terluka ini.

Jujur aku tahu Ardo tidak mencintaiku dan pernikahan ini bukan tentang cinta. Demi apapun ini masih hari kedua setelah pernikahan kami, tapi aku tidak berani menerima bahwa Ardo mencintai wanita lain. Wanita itu bahkan menjadi motivasi Ardo dalam bidang sosial dan memanggilnya di alam bawah sadarnya seperti tadi pagi. Aku harus bagaimana?  Didalam kegelapan malam ini, air mataku menetes.

"Vye, udah nyampe."

"Oh ia?" Kataku agak lembut seolah baru bangun sambil membereskan barang barangku dan turun dari mobil.

Lagi-lagi Ardo meraih jemariku. Tentu saja aku masih belum terbiasa. Entah bagaimana aku bisa merasa nyaman dengan genggamannya. Dan aku takut ini hanya mimpi belaka. Aku memandangi jemari kami dan punggungnya yang mendahuluiku beberapa centi secara bergantian. "Akan sangat membahagiakan jika dia benar mencintaiku." Kataku dalam hati. 

Seketika kumenyadari, aku tidak boleh terlena. Karena ketika dia memutuskan untuk meninggalkanku suatu saat nanti, aku tidak akan semenderita itu. Aku gak bisa menikmati ini semua.

Seolah hendak mengambil hapeku dari tas, aku melepaskan tanganku darinya. Aku sungguh tak sanggup jika merasa terbiasa dengan genggamannya. "Bentar, sepertinya hape gue getar." Kataku sambil sibuk. Aku tahu dia memandangiku kesal sebentar lalu berlalu duluan ke arah lift.

Di dalam lift aku masih saja bermain dengan hapeku. Membuka email yang sebenarnya tidak terlalu perlu. Dan masih belum ada yang berbicara diantara kami. Sampai di lantai tujuan, Ardo mendahuluiku.

"Gue mandi duluan ya." Kataku hendak masuk ke kamar.

"Gue minta maaf." Katanya.

"Ha?" Aku bingung dan berbalik memandang ke arahnya.

"Sorry kalau gue nyium loe kemaren malam. Sorry juga kalau gue mau dan sedikit memaksa melakukan itu bareng loe tadi malam." Aku masih belum paham kenapa Ardo meminta maaf tentang kejadian tadi malam.

"Gue tahu loe diemin gue seharian ini karena loe gak suka kalau gue terlalu terburu-buru dihubungan kita, Vye. Gue janji, gue gak akan nyentuh loe. Jadi, please jangan diemin gue lagi."

"Maksudnya loe gak nyentuh gue?" Tanyaku memastikan.

"Mulai sekarang gue akan berhati-hati. Gue ga akan nyentuh loe kalau loe gak izinin gue. Kalau loe emang ga mau tidur bareng gue, loe bisa tidur di kamar loe yang dulu. Kamar loe akan gue balikin kayak dulu lagi."

Aku gak paham kenapa Ardo seperti ini. Dia terlihat sedikit berbeda. Tapi, sepertinya ini keputusan yang bijak. Aku juga gak mau bermain dengan hatiku lagi. Aku gak mau perpisahan kami suatu saat nanti akan membuatku sakit berkali lipat.

Aku berpikir sejenak dan mulai bicara. "Gue rasa itu keputusan yang cukup baik. Mengingat gue ga terbiasa bersentuhan dengan laki-laki." Aku mendekatinya dan mulai tersenyum ternyata dia cukup peka dengan sikap aku. "Terima kasih sudah mencoba untuk memahami gue, Do."

Aku memberikan senyuman terbaikku untuk membuatnya merasa lebih baik dan menunjukkan bahwa aku sudah tidak lagi menghindarinya. 

"Oke untuk kamar loe yang dulu gue akan kembaliin lagi."

Aku terdiam. Aku sedikit merasa tidak rela kalau ruangan itu diubah lagi.  2 bulan lalu Ardo sudah merenovasi ruangan itu menjadi tempat kerja kita dan ada perpustakaan mini juga. Aku juga sangat kagum saat pertama kali melihatnya kemaren. Itu adalah tempat idamanku. Tempatnya ada di lantai paling atas apartemennya tepat di depannya balkon dan sudah ditanami tumbuhan dan pepohonan. Dinding dan sebagian atapnya dibuat kaca sehingga bagian luar bisa terlihat. Sangat indah dan aku sungguh ga rela jika itu akan dibongkar lagi.

Is This Endless WaitingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang