Bagian 10 With you

21 0 0
                                    


Di sinilah aku. Di kamar mandi mewah milik Ardo. Kamar mandi ini walau tak luas, namun interiornya benar-benar akan membuat orang yang melihatnya menganga. Walaupun begitu, bentuk kamar mandi ini tak berhasil membuatku mengalihkan pikiranku menjadi tenang.


"Hhh.. Loe sampai kapan berdiri di situ? Gue udah mulai kedinginan."

Kutarik nafasku. "Bentar. Gue lagi liat mana sampo mana sabun. Ini botolnya namanya sama." Mengalihkan nervous mematikan INI.

"Boleh gue bilang loe bodoh?"

"Aishhh..." Seketika aku emosi, berbalik ke arahnya. Dan aku.. Menyesal.. Dia sedang duduk dibawah shower (di atas gundukan bath up yang biasanya tempat handuk dan handphone) dengan kaki kirinya di atas meja kecil berbusa. Motif meja itu sama dengan tempat tidur Ardo. Dan gak lupa dengannya yang topless hanya mengenakan boxer. Oh no.. Perutnya.. STOOOPP, Vye.

"Ehem.. Gimana loe nyiapin ini semua?" Tanyaku mengilangkan blush sialan ini. Arghh.. Kayanya merah banget deh.. Ini adalah pertama kalinya aku melihat tubuh pria secara langsung dengan kondisi di kamar mandi dan ber.. du..a.

"Mama yang nyiapin sejak 3 minggu lalu mandiin gue."

"Ooo.." Kataku mengangguk.

"Vye."

"Hm?"

"Loe pengen gue masuk angin?"

"Ah.. Sori." Perlahan aku berdiri dihadapannya. "Tante Bira mulainya gimana? Gue nggak pernah mandiin cowo kecuali bayi." Dia tertawa kecil. "Ih.. Kok ketawa." Aku memukul bahunya yang telanjang pelan.

"Anggap aja gue bayi. Gue gak tahu mama buatnya gimana. Tahu-tahu selesai aja .
Dah" ucapnya sambil tertawa kecil.

"Ya beda dong. Kan bayi di gendong trus ditidurin di atas telapak. Begini." Aku memperagakan ketika aku memandikan anak sepupuku. Dia ikut memandangi tanganku. "Lah.. Sekarang, loe.. Kan.. Gedde..gini.. Gi.. Arghh" aku bingung menjelaskannya. Aku sedih gak tahu mau ngapain.

Sepertinya dia mengerti kebingunganku. Dia memegang jempol tangan kananku. Sehingga, kebiasaanku mengorek kuku jempolku dengan telunjukku sendiri pun berhenti. "Ya udah. Kita bagi tugas aja. Kamu melakukan apa yang gak bisa aku lakuin seperti mencuci rambut, menggosok punggung, kaki, tangan kiriku dan membilas. Sisanya seperti dada, perut, p.."

"Oke.. Aku mengerti. Ayo kita mulai." Aku gak mau mendengar hal vulgar, tapi dia menahan jempolku.

Sepertinya dia menyadari kegugupanku. "Apa kamu mau bersihin dada dan perutku juga?" Tanyanya sambil tersenyum jahil.

"Boleh? Hahaha.. Loe ada-ada aja." Ucapku meladeninya. "Udah ah. Yuk?" Ucapku sambil menarik jempolku.

"Tentu saja boleh." Entah mengapa suaranya memberat. Seringaiannya making aneh. Serem.

"Tadi aja. Ngotot gak mau dimandiin." Cibirku.

"Emang siapa yang ngotot mandiin?" Balasnya.

"IAa..Guee.." Jawabku kesal sambil menarik kacamatanya, mendorong wajahnya sambil menarik jempolku dari genggamannya. Dan dia tertawa lepas. Aku kembali tersenyum.. Ya.. Begitulah acara mandi-mandi malam ini.

***

Setelah usai acara mandi-mandi, aku memberikan sepenuhnya kesempatan kepadanya untuk memakai baju. Oh no. Cukup saja aku menderita memandikannya. Dan entah bagaimana caranya sehingga setelah 15 menit kemudian, dia menemui ku di ruang depan.

"Lo kerjain apa?" Sapanya kepadaku..

"Hmm. Ngecek daily report perusahaan gue. Ini mau selesai kok. Bentar ya." Dia tidak menjawab. Tak kuhiraukan dia dan tetap bekerja. Setelah aku yakin selesai, aku menutup LTku. 

"Trus mana daily report loe?"

Dia sepertinya sedikit terkejut dengan pertanyaanku. "Hmmm.. Bentar. Gue ambilin LT gue."

"Gue aja." Ucapku cepat.

"Gue masih bisa." Nadanya sedikit kesal.

Gue mulai mengerti. Sepertinya dia merasa direndahkan. Aku tersenyum bermaksud menenangkan. "Loe istirahat. Gue tahu loe butuh tenaga banyak buat ganti baju tadi." Melihat dia yang terdiam, aku melenggang ke kamarnya.

"Okeh... Kita mulai." Aku duduk di sofa yang berada tepat disamping kursi rodanya. "Darimana gue tahu datanya?" Dia mengambil alih LTnya dan mulai menerangkan.

1 jam kemudian menunjukkan pukul 21.37 WIB. Dan dokumennya telah selesai. Ternyata memang tidak sebanyak yang aku bayangkan. Ardo membuat sistemnya terorganisir. Sehingga, aku cuma mengambil data dari sistem dan membuat dokumen berupa summary kegiatan. Kalau begini, daily report bisa selesai dalam setengah jam.

"Waaww.. Enak banget. Cuma gini doang? Kok beda banget ama gue?"

Dia memandangiku dengan keheranan. "Apanya yang enak?"

"Loe tinggal showing data di sistem. Trus periksa dan download excel. Trus loe buat dokumen summary dan selesai."

"Emang. Tapi capeknya di gue."

"Lho.. Kok gitu? Ini belum selesai?"

"Udah. Tapi input data ke database caranya gimana coba?"

"Jadi yang input bukan employee?"

"Mereka masukin dong. Kan gue gak tahu mereka ngapain. Tapi gue harus approve dulu baru bisa di-showing kayak tadi."

"Hmmm.. Gue ngerti. Maksud loe supaya yang dikerjain mereka gak melenceng dari desain, makanya di approve?"

"Yup. Dan kalau ada issue, gue juga bisa pantau."

"Waahh... Kok gue gak pernah kepikiran gitu ya?"

"Emang loe gimana?"

"Jadi, kalau kita tiap sore ada closing meeting. Nah, hasil meeting itu disebut MOM. Trus gue baca dan buat report days. Jadi, kalau ada issue, gue bisa tahu. Dan kalau ada problem, ada bukti untuk diangkat."

"Pada dasarnya sama. Dulu gue juga gitu. Tapi, berhubung gue gak memungkinkan ikut meeting, gue buat sistem ini."

"Jadi, ini loe buat sendiri? Dan dalam keadaan sakit?"

"Gue gak bisa jalan. Bukan gak bisa mikir."

"Yah sama aja. Mana ada orang habis kecelakaan tapi masih ngoding."

"Siapa yang ngoding?"

"LOOE.." Aku jadi kesal.

"Hahaha..." Dia tertawa kecil. Aku terpana gaiissss. "Kan gue VP. Tinggal suruh aja. Selesai."Aku pun ber-ooo ria dengan malunya. Dia masih aja tertawa. Entah apa yang lucu. Tapi aku senang melihatnya.

Satu hal yang aku sadari, aku bersamanya. Berdua. Di rumah yang sama. Melihatnya tertawa, duduk berdampingan dan melihatnya sepuasnya seperti ini.

Apa aku boleh menikmatinya? Apa aku juga harus menyerah dan tak lagi memberi hatiku padanya? Walaupun sejak awal, hati ini sudah lama dibawa olehnya.

Tuhan, izinkan aku menikmati kebersamaanku bersamanya sebentar saja. Setelah ini, aku tak kan berani lagi memohon hal yang sama.

Is This Endless WaitingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang