Bagian 8 Small and Big Surprise

15 0 0
                                    

"Kak Vye... Bangun Ihh.. Udah jam 7. Makan malam dulu." Kurasakan badanku bergoyang kasar namun tak kuhiraukan. "Kakak Ih.. Nanti klo sakit aja, marah-marah. Bangun dong kak.." Oh ternyata Nia, adik bungsuku. Lanjutnya sambil memukul tanganku yang terbungkus selimut tebal.

"Hm.. Makan yang banyak." Jawabku gak jelas."KAAAKKK..." Teriaknya keras banget membuat Ku terperanjat.
"Kenapa sih dek? Kakak baru tidur 4 jam ini." Jawabku sambil mengambil posisi tidur.

"Nia laper, Kak. Ayok makan. Gak enak makan sendiri. Kalau gak makan, kakak nanti sakit lagi" ujarnya sambil memasang muka kesal.

"Ya udah. Ayok makan" jawabku tak tega mengingat dia tak pernah suka makan sendiri.Disinilah kami. Makan makanan sederhana tapi enak khas buatan adikku ini.

"Kak, gimana kerjaan kakak di Singapure? Kok baru pulang hari ini? Ada masalah ya?" 

"Gak ada sih dek. Cuma, mereka ada requirement baru. Jadi, selama 3 hari ini benar-benar requirement gathering sama desain. Jadi, besok udah bisa implementasi." Penjelasanku dibalas magut-magut olehnya. Nia adalah seorang middle programmer di sebuah software house di Jakarta. Jadi, dia sangat mengerti bidang pekerjaanku.

"Oo.. Berarti besok kakak udah masuk dong?""Ia, dek. Hanya mau technical meeting doang, sih. Trus pulang. Istirahat dulu seharian besok"

"Yeayy.. Berarti besok aku pulang udah ada yang masakin dong?"

"Ia. Ia. Besok kakak masak deh." Sudah hampir seminggu aku di Singapore Dan adikku harus masak dan makan sendiri. Bahkan terkadang, aku pulang malem atau tidur di kantor karena lembur.

 Itulah alasan mengapa dia senang banget dimasakin dan punya teman makan.

Hingga diumurku yang ke-27 tahun, yang ada dipikiranku hanya belajar dan bekerja demi membatu mama menguliahkan kedua adikku.

 "Vye, mau pulang, ya?" Sapa Rizal teman sekantorku.

"Ia, Mas. Capek banget soalnya. Mau istirahat. Kenapa?"

"Enggak. Baru mau nyaranin biar kamu istirahat aja. Soalnya wajah kamu tuh udah capek banget. Ya udah. Hati-hati, yo?" Ucapnya sambil mengusap kepalaku sekilas.

"Thank you, Mas. Bye.."

Sebelum pulang ke apartemen, aku mampir ke hypermart untuk belanja bahan masak yang kebetulan habis. Aku melihat ke arah bungkusan terasi yang jauh di atas sana dan menghela nafas. Karena tak ada orang yang bisa dimintai tolong, aku berusaha dengan tubuhku yang semeter tak sampai untuk mengambilnya. Kemudian, aku melihat ada tangan dari belakang badanku.

"Kalau udah tahu nggak sampai, minta tolong. Yang ada raknya rusak atau jatuh dipanjat kayak gitu."

 Suara itu. Aku seperti mengenalnya. Perlahan kubalik badanku sambil berdoa dia bukan orang yang aku kenal. Dan ternyata Tuhan agak sibuk sekarang sehingga tak mendengar doaku.

"Kenapa diam? Ada yang aneh dimuka gue?" Ucapnya dengan datar. 

"Vye?" Ucapnya lagi sambil memiringkan kepalanya sedikit tepat di depan wajahku. Tunggu. Astaga.Wajah kami dekat banget. Bahkan tangannya melingkar dipinggangku. Kok bisa? Oh maigat. Ini benar-benar gak baik untuk jantungku. 

"Oh. Maaf." Kudorong pelan dadanya yang euhmm.. Keras banget. Sandarable banget. Stop think a stupid thing, Vye. He is not yours. Pikiranku yang logis membuka kesadaranku. "And thank you... Do." ucapku dengan nada yang sedikit sedih yang mungkin tak disadarinya. Karena tak ada pembicaraan lagi, aku pun pergi. 

"Kalau begitu, gue duluan yah. Sekali lagi, terima kasih."

"Ya. Sama-sama." Dan aku pun pergi. Sepanjang perjalanan menggunakan busway, aku merutuki otakku yang tak kunjung bisa melupakannya. 

Is This Endless WaitingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang