Bagian 14 - This called as waiting

21 0 0
                                    

"Apapun. Gak ada yang gue mau dari loe."

Dia mengerutkan keningnya tanda tidak terima. "Bohong. Gue tahu sejak lama loe udah suka sama gue. Sejak kita masih mahasiswa. Gue tahu semuanya."

Mulutku agak terbuka sedikit gak percaya dengan yang dia bilang. "Apa loe bilang?"

"Gue tahu loe udah tertarik sama gue sejak lama. Cara loe liat gue sama dengan semua mantan gue ngeliat gue."

Aku menyandarkan punggungku ke sandaran kursi yang gak lagi terasa empuk itu. Kucoba untuk tenangkan pikiranku dan aku mengeluarkan smirk. "Gue gak tahu loe senarsis itu." Dia mengerutkan darinya lagi. "Oke. Gue akui. Dulu gue sedikit tertarik sama loe karena di antara teman sekelas kita yang menyebalkan itu, loe satu-satunya orang yang kasih gue bantuan dan mau duduk di samping gue di kelas. Udah sampai di situ aja." Jawabku jujur.

"Gue bisa liat cara pandang yang sama sampai saat ini Vye."

Aku kembali mengeluarkan smirk memberi benteng antara aku dan dia. "Untuk yang satu itu loe salah. Loe bukan lagi orang yang sama dengan yang dulu gue liat dulu. Ada orang yang lebih dari loe di sekitar gue. Yang menerima gue dan memberi pertolongan lebih dari yang bisa loe kasih dulu untuk gue."

Aku menunggu reaksinya dan dia masih terdiam.

"Balik lagi ke alasan loe tadi. Gue mau nanya pertanyaan terakhir sama loe." Aku mengambil jeda. "Yang loe cari teman hidup yang bisa saling mendukung satu sama lain, kan? Kalau kita menikah, suatu hari nanti gue jatuh di kamar mandi atau gue ada kecelakaan mobil, kaki gue patah dan gue gak bisa dukung loe lagi sebagaimana yang gue lakuin selama ini, apa yang loe lakuin?"

Raut wajahnya berubah. Kerut dikeningnya hilang. Sepertinya dia kaget dengan pertanyaanku.

"Itu yang gua bilang, Do. Pernikahan bukan tentang saling mendukung aja. Tapi harus ada cinta. Loe gak cinta sama gue. Yang terjadi saat itu, yang gue yakini adalah loe mulai berpikir bagaimana caranya agar loe bisa lepas dari jerat pernikahan dengan gue."

Dia tetap tidak memberi respon.

"Dan masalah gue gak bisa kasih keturunan buat loe. Gue gak yakin orang tua loe akan terima akan itu. Loe gak secinta itu untuk mempertahankan pernikahan ini berdua dengan gue. Yang gue yakini adalah loe akan kembali mencari cara untuk menuruti kata orang tua loe. Seperti yang loe lakuin ke gue sekarang. Loe sedang memenuhi permintaan orang tua loe."

Dia tetap memandang aku. Tapi, kali ini kerutan itu kembali di dahinya. Dan kemudian makanan kami pun terhidang.

"Silakan dinikmati Mba Vyen."

"Thank you Mba Nia." Aku tetap memang memasang senyumku.

"Makan dulu." kataku pada Ardo yang masih memandangiku. "Oh ia, Do. Melihat kondisi loe yang memang udah baik banget gini, kayaknya besok gue akan pulang ke apartment gue. Gue rasa ini waktu yang tepat. Karena sepertinya loe memang sudah menghitung, ini waktu yang tepat bagi gue untuk keluar dari tempat loe."

Aku mulai menyantap makananku.

"Apa gue emang sepicik itu di mata loe?"

"Maksudnya?"

"Apa menurut loe yang gue lakukan setelah kita menikah, itu semua tentang gue?"

"As you said before. Gue cuma mengkonklusikan kata-kata loe."

"Gue gak akan ajak loe nikah sama gue kalau gue gak punya rancangan apa pun untuk loe dan gue di pernikahan ini."

"Dan rancangan seperti apa yang loe maksud?" Aku menantangnya.

Dia kembali terdiam.

Aku tersenyum kembali mencoba tegar dengan apa yang kusimak. "Udah makan aja. Loe harus makan. Kita harus pulang. Gue ada kerjaan penting."

Aku gak menghiraukan dia lagi dan mencoba fokus dengan makanan, pemandangan dan ponselku sesekali.

----

Disinilah aku. Di kamarku di rumahnya Ardo. Ardo gak memakan makanannya sama sekali tadi. Tapi aku mencoba untuk gak peduli. Aku takut dia mengetahui perasaanku yang sebenarnya. Aku hanya terduduk dan melihat setiap sudut kamar pasti akan aku rindukan ini.

Perlahan aku mengambil koperku dan kembali mengisi barangku ke dalam koperku. 

Setelah jam 5 aku kembali mempersiapkan makan malam untukku dan Ardo.

"Do.. Makan." Aku kembali memanggil Ardo seolah gak terjadi apa pun.

Aku melihatnya mendatangiku di meja makan. Dia memimpin doa dan kami makan dalam hening. Merasa tidak enak dengan situasi ini aku mencoba membuat pembicaraan. 

"Gimana kaki loe? Ada masalah ga?"

"Gak ada." Dia menjawab singkat.

"Oke deh. Ini jangan lupa ya loe nyuci piring."

"Hmm.." Dia kembali lagi pikirku.

"Loe tahu gak sih itu kan di kantor gue rencananya bakal ikutin cara loe. Gue udah propose ide loe ini. Ternyata disambut baik manajemen gue. Gue dipuji-puji abis-abisan. Padahal itu kan ide loe."

Dia cuma ngangguk menanggapi semua ceritaku.

"Oh ia. Gue mau nanya deh. Itu yang film Warewolf kemarenitu ada di rak mana ya? Kok gue cari gak ada sih?"

"Di rak atas." jawabnya singkat banget.

"Ooo pantes aja. Gue carinya di bawah."

Karena merasa gak nyaman dengan rasa canggung, aku menyelesaikan makanku dengan cepat kemudian membereskan makanan yang tersisa. Aku mencoba untuk sesibuk mungkin sambil bersenandung. Bertingkah sebiasa mungkin. Ardo mulai mencuci piring kotor dan aku membersihkan meja makan. Dan sambil menunggunya, aku duduk di meja makan. Kami akan menutup hari ini dengan doa bersama. Paling tidak itu yang akan menutup hari-hari indahku besamanya.

"Yuk doa bareng dulu." Kataku setelah dia selesai.

".... Tuhan jaga Ardo di rumah ini dan berikan dia kesembuhan. Di dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin." Aku menutup doaku seperti doa yang aku ucapkan setiap kali aku yang pimpin doa.

Dia memandangku lekat kali ini. Aku salah tingkah. Haduuhh.. Aku harus pergi dari sini. 

Aku bangkit berdiri ke arah ruang TV berniat mencari CD film warewolf. "Oh ia Do. Gue berangkat besok jam 8 pagi yah. Nganter barang dulu ke apartment gue sebelum ke kantor."

Dan tiba-tiba..

Badanku diputar dengan sangat cepat, dan wajah Ardo dekat sekali dengan wajahku. Aku merasakan sesuatu di bibirku saat ini. Aku menyadari apa yang terjadi. Dengan cepat aku mendorongnya. Ternyata dia menahan kepala dan badanku tetap dalam pelukanya. Dia menciumku. Bibirnya terasa bergerak sangat cepat di bibirku.

Ini benar benar terasa asing dikepalaku. Aku terdiam gak bergerak.

Dia berhenti tapi gak melepaskan tubuhku. Wajahnya ditarik sedikit jauh dan menjatuhkan dahinya ke dahiku. 

"Bisa tolong berhenti menikam jantung gue?"

Is This Endless WaitingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang