Bab 2

1.7K 85 2
                                    

Ketika Aarav terbangun dari tidurnya, Zeline masih tertidur dengan pulas di sampingnya.

Rambut Zeline terurai lembut di atas pundaknya, menutupi sebagian wajahnya yang kecil. Aarav menyibakkan rambut Zeline yang terurai kebelakang telinganya secara perlahan, menampakkan wajahnya yang sangat damai seperti bayi kecil yang sedang bermimpi indah. Matanya masih terpejam, bulu mata panjangnya terjatuh, memberikan bayangan indah di pipinya yang kemerahan. Aarav menatap setiap lekukan wajah Zeline dengan penuh perhatian. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa wajah Zeline memang benar-benar sangat mirip dengan wajah Lexi 10 tahun yang lalu.

Aarav mengingat-ingat lagi saat itu.

Saat itu dia tak pernah sedikitpun memalingkan pandangannya dari Lexi. Aarav selalu berusaha melakukan yang terbaik di depan Lexi dan selalu bertindak seolah dia adalah seseorang yang sangat bisa diandalkan. 

Setiap hari dia selalu membawakan makanan dan minuman kesukaan Lexi, mengajaknya berbincang saat jam istirahat, dan menemaninya kemanapun dia ingin pergi di setiap akhir minggu.

Tidak seperti sekarang ini, tiada hari tanpa pertengkaran.

Dia tahu, Lexi sangat kecewa dengannya  karena dia telah berselingkuh.

Namun menurutnya, bukankah semua laki-laki sama saja, yang pasti akan bosan dengan mainan lamanya, semenyenangkan apapun itu.

Dia mungkin sangat mencintai Lexi, iya, tapi saat ini dia hanya ingin mencari selingan. Dia tidak pernah ingin melepaskan Lexi. Dia hanya ingin bermain sebentar.

Namun bagi Lexi, cinta Aarav hanyalah layaknya hujan, sederas-derasnya hujan ia akan tetap reda.

Kalau memang kenyataanya tidak sesuai dengan harapan, untuk apa diteruskan??

Seperti kata orang, sekeras apapun kita menjaga, sekuat apapun kita memegang, seerat apapun kita memeluk, yang pergi akan tetap pergi.

Aarav tidak dapat mengingat lagi kapan pertama kali dia tidur dengan wanita lain. Dia hanya ingat saat dia kembali ke rumah keesokan harinya, Lexi memukulinya habis-habisan dan mereka saling mengibarkan bendera perang dingin lebih dari satu bulan.

Entah apa yang ada di otak Aarav.  Sejak saat itu, Aarav bukannya menyesali apa yang terjadi tapi malah menjadi semakin tidak tahu diri. Lexi sangat marah mengetahui hal itu. Tapi setelah beberapa waktu, Lexi akhirnya menganggap itu sebagai hal biasa dan perasaannyapun sudah menjadi hampa.

Meskipun mereka berdua sudah tak lagi saling mencium, memeluk ataupun tidur bersama lagi, tapi Aarav tidak ada niatan untuk meninggalkan Lexi.

Mereka sudah saling mengenal sejak 18 tahun, saling jatuh cinta sejak 14 tahun, dan tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupan masa kecil satu sama lain.

"Meskipun perasaanku padanya sudah tak sedalam dulu, tapi aku tidak akan pernah mengizinkannya untuk pergi," pikir Aarav dalam hatinya.

"Mmm.", cahaya matahari yang samar-samar menembus kaca jendela bermotif bunga-bunga jatuh tepat di wajah Zeline yang sedang menguap, berusaha mengumpulkan benih-benih kesadarannya.

"Badanmu baik-baik aja, kan? Tidak ada yang sakit, kan?", Aarav mengancingkan bajunya sambil menatap wajah Zeline.

"Semuanya baik kok.", Zeline mengingat kembali kejadian semalam dan wajahnya yang pucat berubah sedikit memerah, Zeline tersipu.

"Aku pergi dulu.", Aarav sedikit bergumam dan beranjak pergi, tidak ingin wajahnya yang kini mulai terasa panas diketahui oleh Zeline.

----------------------------------------------------

Aarav pergi mengunjungi bar sore itu. Aarav sudah sangat mengenal Reza, sang pemilik bar, dengan sangat baik. Setelah saling bertukar kalimat, Aarav mengajak Zeline pergi.

Mereka berdua pergi ke restauran mie kecil di pinggir kota tempat favorit Lexi.

Pemilik restauran ini masih sangat mengingat Aarav dan Lexi. Mereka adalah pelanggan nomer satu yang hampir setiap 3 hari sekali akan memesan mie disini, "Makan kwetiau goreng pedas lagi dengan Lexi?"

Aarav menatapkan dengan tatapan dingin, "Itu bukan dia."

Pemiliki restauran mendekati mereka dan mengedipkan matanya berkali-kali, "Ah maaf. Aku kira dia Lexi. Mereka benar-benar sangat mirip."

Perasaan Aarav menjadi kacau, dia tidak ingin mendengar nama "Lexi" lagi.

"Dua mangkok kwetiau goreng pedas.", Aarav mulai memesan dengan tatapan dingin.

Pemilik restauran lebih tua beberapa tahun dari Aarav, mengetahui Aarav menjadi badmood saat dia menyebutkan nama Lexi lagi, dia segera pergi ke dapur dan membuat pesanan mereka.

Aarav menatap layar ponselnya. Sudah 6 hari Lexi pergi dan dia tidak tahu kapan Lexi akan kembali.

Terserahlah, dia bisa bertahan hidup dengan caranya sendiri, kenapa aku harus memikirkannya.

Dia pasti akan kembali padaku, cepat atau lambat.

.............................................

Aku tahu cepat atau lambat kita akan berpisah, jadi aku hanya ingin agar kamu mulai terbiasa dengan kepergianku.

Mungkin awalnya hanya seminggu, kedua sebulan. Lalu terakhir adalah selamanya.

Aarav, aku tidak ingin kamu tahu bahwa sepanjang waktu ini, saat kamu menungguku untuk kembali, aku akan ada di sebuah box.

Sebuah box yang terkubur di tanah.





Good Bye AaravTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang