Kenangan

22 5 0
                                    

Aroma padang rumput membelai indran penciuman, sesekali udara hangat menyisir suraiku lembut. Aku ikat jaket di pinggang supaya terlihat nyaman dan tidak mengganggu pekerjaan.

"Liya!"

Makhluk mungil itu bergelantungan di tungkaiku sambil memeluknya erat. Tampak ekornya berkibas serta telinganya berkedut.

"Dasar! Jangan tiba-tiba memelukknya!" omelku. Namun, mata berbinar darinya selalu lolos membuat hatiku meloncat jauh.

Tanpa basa-basi aku mengangkat tubuh mungilnya. Memeluknya erat dan sesekali menciumi pipinya yang gembul nan harum.

Dia adalah sosok yang aku temukan saat melewati badai. Keranjang aneh berhias bunga camelia itu menyambut rasa penasaranku.

Awalnya rasa takut terus mendorong hatiku agar semakin menciut, tetapi suara imut dengan gelagat aneh seakan menarikku untuk semakin mendekatinya.

Tiba-tiba siluet bergerak cepat dan seperti meloncat ke pelukanku. Tubuh makhluk mungil ini gemetar, telinganya turun seperti ketakutan. Secara tidak sadar aku mengelus kepalanya, merasakan perasaan aneh singgah di hatiku.

"Ren, jangan berlarian!" teriakku. Meski sepertinya Ren tidak mempedulikannya.

"Liya, apa ini?"

Aku beringsut ke Ren. Menatap buah unik berbentuk kristal.

"Sepertinya ini jenis makanan baru. Nanti kita cek di buku." Ren mengangguk senang. Ia mengelus kepalanya di tubuhku.

Sangat menggemaskan. Aku semakin ingin selalu berada di sisinya.

"Liya, aku mencintaimu! Jangan pergi ya!"

Seketika lidahku terasa kelu, hatiku teriris dan sangat sesak.

Ren selalu melafalkan kata yang sama setiap hari dan aku tidak sanggup menjawabnya sama sekali. Bukan karena aku membencinya, hanya saja suatu hari aku tersadar sesuatu.

Saat Ren sudah besar ia akan pergi meninggalkanku atau aku yang harus meninggalkan Ren. Ren adalah fantasi yang tercipta karena aku kesepian di tengah badai. Seharusnya aku memang tidak berharap jika pada akhirnya seperti ini.

Perpisahan ini bukan tanpa alasan. Jika aku melanggarnya bisa-bisa Ren lenyap dari lukisan fantasiku. Demi dirinya meski perpisahan ini sangat pahit. Asal Ren tidak lenyap aku rela berlari kemana saja.

~•°•~

Suatu hari ketakutanku terjadi. Badai telah tiba di tempatku dan Ren berada. Tubuh mungil itu terus meringkuk seperti buntalan bulu. Udara memang terasa dingin bahkan pikiranku selalu berkelana tanpa henti.

"Liya." Nada lembut dengan tarikan di baju lengan membuatku menoleh. Mata Ren berkaca, ia seakan tahu aku tengah gelisah. Ren beranjak ke atas, duduk di pahaku dan sesekali menyamankan tubuhnya untuk tertidur.

Aku hanya tersenyum, mengelus kepalanya lembut. Menarik selimut agar mendekap tubuh mungilnya.

Pikiranku kembali gelisah. Aku takut terjadi sesuatu pada Ren. Wajah menggemaskan dan tingkah yang selalu menghangatkan hatiku. Jika hal yang aku gelisahkan terjadi, aku bahkan malu untuk menjadi diriku sendiri.

~•°•~

"Liya! Liya!"

Tubuhku terasa goyah. Perlahan mataku terbuka mendapati Ren yang sudah menitikan air matanya.

"Liya! Liya!" Ren terus berteriak. Ia memegang tanganku di kepalanya. Air mata itu terus berjatuhan membasahi pipinya.

Aku berusaha menarik sudut bibir. Tanganku terasa kaku saat berusaha mengelus kepala hangatnya.

"Ren ...." Suaraku melirih dan tenggorokkanku sakit.

"Tidak! Liya harus berjanji untuk tidak pergi!"

Sangat mungil.

Sial, aku tidak bisa melihatnya untuk terus menitikan berlian dengan sia-sia hanya untukku.

"Aku tahu! Aku hanya fantasimu." Ren terisak. Suaranya semakin terdengar pecah, "tetapi Liya, aku tidak ingin kita berpisah!"

Tubuh mungil itu mendekap tanganku dan tidak pernah berhenti menangis. Tanganku bahkan sudah sangat basah karena air matanya.

Takdir. Mengapa kau memisahkan aku dan Ren yang masih sangat mungil? Lihat, ia bahkan terkadang tidak sanggup untuk mandi dan makan sendiri. Lalu apa jadinya saat aku pergi nanti? Apakah perlahan ia mati atau lenyap?

Akhirnya aku memberanikan diri. Aku menarik tubuh mungilnya untuk kupeluk terakhir kali. Hangat, menggemaskan, dan rasa rinduku semakin memuncak.

"Liya! Liya! Liya!" Ia menggesek wajah di dadaku. Meremas pakaianku sekuat tenaga.

Menyebalkan. Jika terus seperti ini aku semakin tidak menerima perpisahan dan diriku sendiri.

Ren. Andai aku tidak berharap kau ada. Andai aku tidak menciptakanmu dalam fantasiku.

Meski begitu terima kasih. Kau adalah cahaya satu-satunya yang membuatku hidup kembali.

================================

Cerita ini ditulis oleh Ria RiaArxqu95.
Jangan lupa tinggalkan jejak :*

La Mia FantasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang