Saat umurku masih menginjak lima tahun, aku sering berfantasi, jika sewaktu-waktu akan datang seorang pangeran tampan menjemput gadisnya lalu kemudian hidup bahagia bersama. Tentu saja gadis itu harus bernama Kiana Belgesta!
Bertambah tiga tahun, bukan pangeran pun rasanya tidak apa-apa, lah. Asalkan wajahnya tampan dan bisa terbang. Aku, sih, boleh-boleh saja. Bertambah lagi dua tahun aku mulai merasa putus asa, aku tidak butuh pangeran atau lelaki yang bisa terbang. Tapi yang bisa menyembuhkan penyakit pun sudah cukup. Penyakit sialan ini harus musnah!
Bertambah lagi tiga tahun, setelah ditampar begitu banyak realita, aku tambah frustasi. Ada lelaki berwajah pas-pasan yang nyasar ke balkon kamarku saja, aku sudah luar biasa bahagia.
Tetapi aku sadar menunggu hal yang semu itu rasanya bodoh sekali. Persetan lelaki tampan ataupun pangeran berkuda putih. Sekarang aku tahu betul apa yang aku inginkan. Aku ... ingin sembuh.
Hari itu, tanggal 2 Maret tepat pada pukul 12 malam, dia datang. Sungguh, itu hanyalah hari yang biasa-biasa saja. Bukan hari kelulusan, apalagi kejutan ulang tahun dari Mama dan Papa. Barangkali mereka akhirnya sadar, bahwa putrinya telah sejak lama mendambakan lelaki tampan di balkon kamarnya, tapi tentu saja itu tidak mungkin terjadi.
Tuk!
Aku terperanjat mendengar ketukan dari arah jendela. Inilah yang dirasakan tokoh utama dalam cerita-cerita horor, mereka takut tapi juga penasaran. Aku pun begitu. Takut, tapi jika diabaikan terasa ada yang menganjal. Oleh karena itu, dengan langkah yang mengendap-endap, aku mulai menghampiri pintu balkon.
Pintu balkon berderit kencang karena ia jarang sekali dibuka. Udara dingin tidak baik bagi kesehatanku. Beberapa kali aku menengok ke sekitar, tetapi tidak ada apa-apa. Maju lagi beberapa langkah, kakiku menginjak sesuatu.
Sambil berjongkok aku mengambil benda tersebut.
“Eh, apa ini? Bulu?” Teksturnya begitu halus dan lembut. Warnanya putih bersih dan bagian tulangnya diselimuti serbuk emas. Tiba-tiba suara dentingan terdengar melalui indra pendengaranku. Senyap sebentar, suara dentingan itu terdengar lagi, terus begitu.
Hingga kurasakan seseorang berdiri di hadapanku. Aku tidak berani mendongakkan kepala, yang terlihat hanyalah sepasang kaki telanjang berwarna putih pucat tanpa noda.
Sadar akan hal itu, buru-buru aku berlari masuk dan melompat ke atas kasur. Dadaku terasa sesak dan pandangan menjadi kabur, sakitku kambuh. Dalam keadaaan panik seperti ini, aku mendadak tidak bisa menemukan letak obat-obatan biasanya disimpan.
Sosok itu mulai melangkahkan kakinya menuju lantai kamar. Aku tambah panik. Dengan terburu-buru, aku mengambil benda apapun dan melemparnya ke depan. Sayangnya, tidak ada satu pun yang kena.
Sosok itu telah tiba di hadapanku, tangannya terangkat menyalurkan rasa dingin yang membuatku mengantuk.
"Selamat tidur, Kiana."
Seketika aku pun terlelap.
***
Aku terbangun pagi-pagi sekali. Sepertinya tadi malam aku bermimpi buruk. Ada sosok berpakaian aneh masuk ke kamarku. Tidak bisa kubayangkan kalau itu betulan.
"Sudah bangun?" Aku melotot mendengarnya. Suara dentingan lonceng kembali terdengar persis seperti sebelum-sebelumnya. Tubuhku merinding seketika.
Aku menutup mata, bersiap mengeluarkan teriakkan paling membahana yang bisa aku lakukan. Tetapi belum sempat berteriak, ia melesat dengan cepat, tangan kirinya membekap mulutku sedangkan tangan yang satu lagi membuat gestur agar aku tetap diam. Ini gila, jadi yang semalam itu bukan mimpi?
KAMU SEDANG MEMBACA
La Mia Fantasia
Historia Corta[Fantasy x Sci-fi x Horror x Thriller] Hanya sebuah kisah mengenai aku dan fantasiku. Entah itu fantasi biasa saja, atau justru fantasi liar yang mampu memperdaya? Aku kembali merekam ulang semua imajinasi, yang terbawa dalam mimpi ketika aku tertid...