Caraphernelia

22 5 0
                                    

Hari itu, kami sama-sama terdiam melihat ke arah satu buku jurnal bersampul cokelat tua yang ditinggalkan Ayah untukku. Kini tidak ada lagi yang dapat Bunda sembunyikan, semua sudah jelas, bahwa Ayah tidak akan kembali, bahwa Ayah tidak akan pulang ke rumah ini untuk selamanya. Aku selalu percaya akan apa yang dikatakan beliau ketika bertanya, kapan Ayah pulang? Kapan Ayah kembali?

Karena ayahmu nahkoda kapal laut, Ayah akan pulang jika tugasnya sudah selesai.

Tapi kapan? Kapan Ayah selesai dengan tugasnya dan pulang ke rumah? Semua yang kutanyakan selalu terjawab dengan kata-kata yang sama. Sampai hari ini, sampai aku menemukan satu kotak tersimpan di atas rak buku, kotak dengan isi sebentuk buku jurnal tebal dan pena. Sebuah pemberian terakhir Ayah, untukku.

"Maafkan Bunda, Lu." Suaranya tercekat, berucap seperti takut, mencoba memberi kekuatan dengan cara mencengkeram erat kedua bahuku. Aku tidak mengangguk maupun menggeleng, menerima pernyataan sulit yang tidak pernah dapat terduga kehadirannya selama ini tentu membuatku merasa terpukul. Tapi aku tidak bisa egois, marah dan melampiaskan kemarahan pada Bunda, karena kami sedang merasakan hal yang sama untuk saat ini. Bunda pasti memiliki banyak alasan mengapa menyembunyikannya dariku.

"Maafkan Lura karena saat ini merasa marah pada Bunda."

Hari itu, kami saling memberikan rangkulan untuk menyalurkan kekuatan, berbagi luka dan duka yang dirasakan. Hari itu, hari di mana kami memulai hidup baru, hari di mana awal dari hal ajaib itu dimulai.

***


Libur musim panas telah datang, Bunda berniat pergi menginap beberapa hari di rumah lama, rumah tempat Ayah pulang sebelum kembali ke rumah ini. Rumah yang dekat laut, tempat Ayah bertemu Bunda untuk kali pertama. Bunda memasukkan banyak pakaian juga buku-buku milik Ayah ke dalam satu kardus besar. Kupikir itu untuk dibawa pergi ke rumah lama, tapi ternyata sepertinya tidak. Cara memasukkan barang-barang dengan cepat dan seolah sedang marah, bahkan beberapa kali Bunda menunduk memeluk baju-baju milik Ayah, saat itu kutahu Bunda tidak siap untuk pergi ke sana. Jujur tidak mudah untuk kami hidup tanpa Ayah, padahal sudah sering ditinggal berbulan-bulan, tapi tetap, menerima kenyataan bahwa Ayah tidak akan pernah pulang terasa lebih berat.

Aku mendekat dan memeluk Bunda dari belakang. Kurasakan tubuh Bunda menegang, sebelum berbalik badan dan berusaha tersenyum. Matanya sembab, penuh kejut dengan rasa tidak percaya, kerutan-kerutan lelah tampak pada raut wajahnya. "Semua akan baik-baik saja, Bunda." Ya, semua akan baik-baik saja.

Bunda mengangguk dan berdiri, mengambil satu kardus besar dan dibawanya keluar kamar. Sebelum benar-benar pergi, beliau sempat berbalik ke arahku lantas berkata, "Tolong bantu Bunda beres-beres barang Ayah, Lura mau?"

Aku tersenyum.

Sibuk merapikan barang-barang, tidak terasa pipiku telah basah dibuatnya. Dongeng-dongeng sebelum tidur, buku-buku jurnal, baju renang, album foto. Bisakah aku mendapat satu kesempatan bisa bertemu dengannya untuk terakhir kali? Aku belum melihat lagi wajah Ayah yang tersenyum, aku belum merasakan lagi belaian tangannya, pelukan hangatnya. Bisakah aku mendengar suara Ayah sekali lagi? Rindu ini tak terbalas. Jika memang harus pergi ke dasar samudera menemui penyihir Adrella untuk meminta mutiara agar Ayah kembali, aku dapat melakukannya. Oh! Atau aku harus pergi mencari telur emas raja naga di puncak gunung? Menelusuri lembah, sungai-sungai, kemudian menghitung jejak langkah untuk diberikan pada Alsy, si ratu pengabulan keinginan atas perjuanganku itu? Jika hal-hal seperti itu benar adanya, akan kulakukan.

Begitu menurutku selesai, tinggal ada satu laci lagi yang belum diperiksa. Kubuka laci tersebut, tapi sulit. Sepertinya butuh kunci. Mencari kunci ke mana-mana, menanyakan pada Bunda, tetap tidak ada. Kesal, aku menarik paksa laci tersebut agar terbuka. Benar kata orang, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Laci itu terbuka dan menampakkan satu buku tua yang lusuh, halamannya sudah menguning dan rusak, bagian-bagian buku tersebut banyak yang sobek. Penasaran, kubuka buku tersebut, membetulkan halaman-halamannya yang tak sesuai.

"Hanya sebuah catatan tua, mengenai rasa ingin kembali," ujarku membaca halaman pertama. Begitu kubalik halaman kedua, kosong. Dan kubalik lagi halaman-halaman yang lain, tetap kosong. Tadi kulihat masih banyak tulisan, tapi kenapa sekarang kosong? Buku aneh!

Hampir melemparnya ke sembarang arah, aku menemukan lembar terakhir yang keluar dari buku tersebut. Kubaca, "Kesedihan akan kehilangan. Ada waktu, tolong jangan dibuang. Pergilah ke pesisir pantai, tumpuklah batu-batu, terumbu karang di bawah sinar bintang malam. Ungkapkan apa yang kau mau, temukan apa yang kau inginkan. Sehari bagai waktu tak terlupakan. Lakukanlah, selagi buku ini terlihat, selagi aku memberi tahumu." Mengerutkan dahi kemudian berdiri, tanpa berpikir panjang kumasukkan buku itu ke dalam kardus.

Setelah selesai, kami segera pergi menaiki mobil. Melewati jalan berkelok, menyuguhkan pandangan alam berupa gunung-gunung dan pantai yang ramai. Perjalanan menghabiskan waktu hampir satu jam, karena jalanan tidak macet, kami sampai sore hari.

Saat malam hari, kami mendirikan tenda di pesisir pantai, menyalakan api unggun, menggelar karpet, dan duduk menikmati semilir angin pantai di bawah langit hitam terbentang luas penuh bintang. Bunda juga menyiapkan panggangan, beliau bilang, ayo makan barbeque. Sedari dulu, hanya aku dan Ayah yang suka berkemah, Bunda sangat anti hal yang begitu. Tapi kali ini, justru beliau yang mengajakku.

"Lura, tolong ambilkan losion, ya! Mulai banyak nyamuk, nih!"

Aku tersenyum dan segera kembali ke rumah, mengambil losion untuk Bunda. Saat tanganku meraih losion tersebut di atas lemari, yang kuambil justru bukanlah losion anti nyamuk. Melainkan buku tua aneh yang kutemukan sebelum pergi ke sini. Aku kembali membaca halaman belakangnya, dan rasa penasaran membuatku ingin melakukan perintahnya. Aku memang merindukan Ayah, tapi apa hal seperti ini bisa jadi kenyataan? Apa hal ini bisa mengabulkan permintaanku untuk bertemu Ayah? Mengambil losion dan berlari kembali ke pantai, tapi bukan ke tempat Bunda berada. Di sana aku mengambil batu-batu dan terumbu karang sebanyak yang aku temukan. Kemudian menumpuknya menjadi satu. Percayalah, itu sulit! Tapi aku tetap berusaha.

Aku membuat tiga tumpukkan, satu dari batu, dua dari terumbu karang. Begitu aku duduk, suara gemuruh air laut dengan ombaknya membuat hatiku sedikit tenang. Perintahnya, aku hanya tinggal mengungkapkan apa yang kumau. "Jika memang aku bisa mempercayai hal seperti ini sampai mau melakukannya, tolong dengar yang kuinginkan. Tolong pertemukan aku dengan Ayah," jedaku, untuk mengambil napas, "untuk terakhir kali walau sebentar."

Orang bodoh. Tentu saja tidak akan terjadi apa-apa. Siapa yang percaya pada buku lusuh yang mungkin hanya takhayul belaka? Menarik napas panjang, aku berdiri dan hendak pergi meninggalkan tumpukan batu dan terumbu karang itu, sebelum seseorang memanggilku. "Allura Ashly Vallusha."

Aku menoleh ke belakang, dan kudapati Ayah berdiri di sana. Tentu saja, aku tak percaya tapi langsung berlari dan memeluk tubuhnya. Kucium wangi Ayah yang kurindukan, kupeluk beliau semakin erat, berharap Ayah tak lagi akan pergi. "Ayah," desisku.

"Maafkan Ayah ya, Nak." Ayah membelai rambutku. "Ayah menyesal, kalau Ayah nggak bisa lihat Lura lulus sekolah, jadi anak kuliahan, masuk kerja untuk kali pertama dan Ayah nggak bisa gandeng tangan Lura untuk mengantarkan kamu pada suamimu yang menunggu di altar, juga mengendong bayi kalian. Ayah menyesal, nggak punya kesempatan untuk menua bersama ibumu, menjaganya sampai tua nanti, dan terus bersama kalian."

"Ayah ...."

"Jaga ibumu baik-baik, ya, Lu." Pandanganku pada Ayah memudar, tubuhnya bertranformasi menjadi transparan. "Ayah akan selalu bersama Lura."

Ayah kembali pergi, tangisku tak lagi tertahan. Begitu Ayah hilang sepenuhnya. Dari sana, kusadari bahwa Ayah memang tak akan pergi, Ayah akan selalu berada bersama kami di mana pun kami berada.

Aku berdiri, menghapus sisa-sisa tangisku dan kembali menemui Bunda. Kuyakinkan sekali lagi pada beliau bahwa kami pasti bisa melanjutkan hidup kami. Keajaiban sementara itu akan menjadi hari-hari terbaikku bersama Ayah.

================================

Cerita ini ditulis oleh Hira nakahicchi.
Jangan lupa tinggalkan jejak :*

La Mia FantasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang