Secarik Surat Harapan dan Bunga Kaca

14 4 0
                                    

Ini hari Rabu yang cerah di penghujung tahun. Waktu yang biasanya amat buruk dilalui orang sepertiku. Aku cukup beruntung dapat melalui waktu ini dengan kasur terapi yang hangat, padahal kebanyakan pasien di kamar bawah berebut selimut bersih. Anak dari lantai bawah yang biasa menyusup ke kamar, belakangan ini tidak nampak. Entah itu berita buruk tentangnya, atau justru tentangku.

Sudah lama sekali sejak aku menulis. Suster baru hari ini memberikan sebuah buku kuning dan pena. Dia bilang buku ini ajaib, bisa mengabulkan harapan apapun yang ditulis. Sepertinya aku sudah cukup dewasa untuk percaya takhayul. Namun pada keadaan seperti ini, harapan apapun akan kupercayai, doa apapun akan kupanjatkan.

Meski sebenarnya buku ini hanya alasan semata dari suster baru tersebut. Aku tahu, waktuku sudah sangat dekat dan tidak ada yang dapat dilakukan selain menunggu. Tulisan di benda ini hanya akan jadi memorandum dari sebagian jiwa ini, yang hanya akan dibaca ketika aku benar-benar sudah tiada.

Untuk memulai dari manifestasi harapan, maka hal pertama yang akan kutulis adalah, aku ingin membanggakan kedua orang tuaku lebih lama lagi. Aku ingin lulus tepat waktu, meski sepertinya sangat tidak mungkin karena sudah hampir setahun aku cuti kampus. Tidak tahu entahlah apakah itu masih pantas disebut cuti. Aku tidak pernah mengundurkan diri, dan kampus setiap semesternya selalu mengirimi pesan mengenai kabarku. Sebagian besar teman seangkatan sudah mengetahui keadaanku kini, dan seharusnya kampus pun begitu. Kampus hanya berbasa-basi, atau mungkin mereka sebenarnya peduli karena status tunanganku?

Seharusnya bulan ini aku sudah sibuk menyusun skripsi. Mondar-mandir di kampus demi mencari dosen yang terlibat, seperti yang diceritakan Noa. Dia sudah selesai dengan semua tanggung jawabnya di kampus dan terhitung akan mengenakan toga dua bulan dari sekarang. Padahal kala itu, kami berjanji akan menghadiri wisuda masing-masing—entah kami masih berhubungan atau tidak. Jika tidak, pun kami akan menggandeng seseorang di acara wisuda, biar kesannya tidak kesepian. Ah, itu juga masuk dalam daftar harapanku: aku ingin lulus dan menghadiri wisuda Noa.

Jika aku diberi kesempatan, aku ingin makan apapun yang ada di dunia ini. Aku akan memakan setiap makanan yang ada, menjadi kenyang akan kebahagiaan, sampai mabuk akan rasa syukur.

Sudah setahun lebih sejak makanan terakhir masuk dan dikunyah oleh gigi ini. Karena keadaan ini, jangankan memasukkan makanan ke dalam mulut, untuk bicara saja rasanya sakit sekali. Terakhir kali aku mencobanya, sekepal darah keluar begitu saja. Nutrisi masuk melalui selang, yang setiap pagi Noa racik dan injeksikan langsung. Katanya, "Anggap saja aku sedang menyuapi," dengan nada bercanda pada awal, tapi isakan pada akhir. Noa yang malang, dia bahkan rela tidak makan selama menjagaku di rumah sakit karena khawatir aku akan iri dengan makanannya.

Bicara soal Noa, dia juga akan masuk ke daftar harapanku. Jika aku diberi kesempatan, aku ingin menikahinya. Kami akan punya anak kembar, keduanya laki-laki. Lalu keduanya akan punya adik perempuan cantik yang selalu dilindungi kedua kakaknya. Si kembar akan menyukai polo seperti ayahnya, menjadi figur terpandang di sekolahnya seperti cerita fiksi kebanyakan. Si kembar pasti akan sering bertengkar. Tapi ketika melihat adik perempuannya, mereka memaksakan diri bersaudara kembali.

Si adik akan menyukai seni seperti neneknya. Dia akan punya rambut panjang pirang sepertiku, lalu kedua kakaknya akan berkelahi mengenai siapa yang berhak mengepang rambutnya.

Noa akan melanjutkan tahta Dukedom ayahnya. Setiap pulang kelelahan, ia akan meminta anak-anak menginjak punggung. Si kakak tertua akan kurang ajar dan melompati ayahnya, sementara si adik adalah manusia terlembut. Mereka berhenti bermain setelah makanan siap dan kami akan melanjutkan tawa pada makan malam.

Aku menghela napas. Sebuah bayangan yang indah. Rasanya ingin mendongak dan melihat pemandangan itu tepat di depan mata.

Tapi tentu skenario itu hanya jika aku mendapat kesempatan, tentu saja. Jika kesempatan itu tidak datang, maka harapanku selanjutnya adalah supaya Noa mendapat kebahagiaan, sama seperti aku mendapat kebahagiaan bersamanya. Aku tidak ingin dia terlalu larut, aku tidak ingin dia hanya mengingat bagian sedihnya. Biarkan aku pergi dengan kenangan indah yang menyenangkan. Ketika pertama kali bertemu di depan kantor kepsek, saat aku diminta melaporkan kemenanganku pada lomba desain dan Noa justru ada di sana karena mematahkan hidung berandalan sekolah. Ketika Noa bilang kami menjalani hidup yang sangat berseberangan, tetapi takdir justru mempertemukan kami.

Dan sekali lagi, takdir akan menyebrangkan kami kembali.

Hidungku sesaat terasa panas, dan air mulai menginvasi kantung mataku yang sudah terlanjur gelap. Cepat-cepat kuangkat kepala, dan hampir melupakan keberadaan selang yang memanjang di kerongkongan. Salah satu sisinya menusuk ujung kerongkongan, membuatku kembali menunduk tapi justru menyebabkan air yang kutahan menjadi sedikit tumpah.

Ah! Tidak boleh, tidak boleh menangis. Noa sudah banyak menangis, jika melihatku begini entah sebetapa hancur lagi dirinya. Baiklah, sudah cukup harapannya ... oh, satu lagi.

Tidak ada salahnya aku menulisnya, meski tidak akan terjadi.

Aku bahagia, dan akan lebih bahagia lagi jika aku tetap hidup. Harapanku hanya satu, sebuah kalimat yang lebih menyedihkan dari 'aku ingin mati.'

Aku ingin tetap hidup.

Setelah menutup buku kuning dan meletakkannya di nakas, Noa pun datang dengan senyuman tegar. Aku tidak ingin membuatnya semakin sedih sehingga kuputuskan untuk memeluk lengannya sampai tertidur.

~•°•~

Sekali lagi, hari ini cerah, lebih cerah dari musim dingin kebanyakan. Bahkan aku merasa hangatnya matahari.

Begitu aku membuka mata, Noa sudah menatapku dari atas. Kehangatan yang kukira adalah matahari ternyata adalah tangannya di pipi kiriku. Dia selalu melakukannya untuk membangunkan, khawatir jika suara membuatku panik.

Dia tersenyum, lemah dan pucat, tapi dia sehangat kehidupan. Dia Noa ku.

“Selamat pagi, Sof.”

Dan syukurlah, hari ini aku terbangun masih bersamanya.

“Pagi … Noa.”

Noa mendadak membeku. Bibirnya bergetar, begitu pula jarinya yang menyusupi rambutku kini. Air mata cepat terjatuh dan hampir mengenai mataku, yang kini sedang berkedip tidak mengerti. Beberapa saat kutatap kedua mata emasnya yang mendadak menggenggam erat jemariku. Sambil bergetar ia kembali bicara,

“Sofra … kamu …,” Noa meneguk ludahnya, “Kamu bisa manggil namaku?”

Hah ...?

Kini giliranku membeku, ikut bergetar di tangannya. Ini aneh, tidak ada darah. Tidak ada darah, tidak ada nyeri dan tidak ada sesuatu yang mengganjal. Untuk memastikan, kucoba menelan ludahku sendiri dan … aku baik-baik saja? Biasanya aku akan tersedak, biasanya darah akan keluar setelahnya!

Apakah mungkin ....

Aku menoleh pada nakas di samping ranjangku dan mendapati buku bersampul kuning itu lenyap. Sebuah bekas bayangan berukuran yang sama tersisa di sana, beserta ….

Sebuah bunga kaca.

================================

Cerita ini ditulis oleh Harisalin turmalin_.
Jangan lupa tinggalkan jejak :*

La Mia FantasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang