BAB 2

2K 177 15
                                    


Suasana jalanan kota Bandung tampak ramai malam ini. Meski sisa gerimis masih mengiringi manja, tapi kehangatan terasa di beberapa sudut kota. Salah satunya di sebuah kafe sederhana yang ada di pinggir jalan.

Sekumpulan laki-laki berkumpul sambil mengobrol dan menikmati kopi di teras kafe. Asap tipis dari rokok pun mengepul dari tengah meja. Udara yang sedikit dingin tidak membuat atmosfer di sekeliling mereka menjadi redup. Justru semakin menjadi, dengan tawa menggema khas para lelaki.

"Oi, guys!" seorang laki-laki yang baru datang pun langsung menarik perhatian orang-orang yang ada di meja itu. "Kenalin, nih, cewek baru gue."

Sorakan heboh menyambut kedatangan Rizal itu. Ia langsung mengambil duduk di kursi kosong, dengan sebelumnya mempersilakan pacarnya duduk terlebih dulu. Di antara para laki-laki yang antusias berkenalan dengan pacar barunya Rizal, Arlan malah terkesan cuek.

Laki-laki bertubuh tinggi dengan alis tebal dan mata tajam itu sibuk dengan ponselnya. Sampai akhirnya Rizal, yang duduk di sebelahnya, menepuk pundaknya sampai Arlan terkejut sendiri.

"Cuma lo sama Gibran yang gak ada cewek, nih. Cari, napa!"

Arlan hanya terdiam mendengar ucapan Rizal. Matanya mengedar ke sekeliling meja. Selain Rizal, ada Leo, Evan, dan Sekala yang membawa pacar masing-masing. Arlan sendiri sebenarnya punya pacar, tapi tidak pernah mengungkapkannya kepada yang lain. Mana ada yang percaya kalau ia dan pacarnya saja tidak pernah bertemu langsung.

Arlan mengembuskan napas berat dan kembali memainkan ponselnya. Ia mengrimkan sebuah pesan kepada seseorang.

 Ia mengrimkan sebuah pesan kepada seseorang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wajah Arlan bertambah masam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wajah Arlan bertambah masam. Mood laki-laki itu makin berantakan setelah melihat jawaban dari gadisnya itu. Berdecak, ia meletakkan kasar ponselnya ke atas meja, membuat perhatian empat laki-laki yang lain mengarah padanya. Ia pun mengambil rokok, mematik api, lalu mulai menghisapnya.

Dilihatnya ponsel itu bergetar tanpa henti, tapi Arlan tetap mengabaikannya. Nama Aixa muncul berkali-kali, mulai dari chat sampai panggilan telepon. Ia membalik ponsel itu dan pura-pura tidak tahu. Teman-temannya yang melihat itu hanya saling bertukar pandang tanpa banyak berkomentar. Arlan tahu bagaimana semua ini bermain. Semakin diabaikan, gadis itu akan semakin keras mengejarnya.

Setelah sekiranya tiga puluh menit, ponsel itu kembali hening. Arlan pun mengerutkan dahi dan mulai memeriksa ponselnya. Sudut bibirnya terangkat ketika melihat betapa panik Aixa mencarinya. Menyenderkan punggung ke kursi sambil menyilangkan kaki, Arlan pun membalas singkat pesan terakhir Aixa.


Aixa

online

------------------------



Kamu marah ya?

hm

Jangan marah


Arlan hanya mendengkus melihatnya. Tiba-tiba, ia terlintas sebuah ide untuk membawa gadis itu ke sini. Ia bisa memanfaatkan rasa cinta yang besar itu.


Aixa

online

----------------------------------------

Aku ga akan marah kalo kamu di sini

Maaf by

Aku mau kamu buat kado ulang tahun aku

Hah?

Maksudnya?

Aku mau kamu datang pas ultah aku

Aku mau kenalin kamu ke temen2 aku by

Aku pengen mereka tahu kalau kamu satu2nya

cewek yang aku cinta

Lan, bukannya aku gak mau

Tapi jarak kita jauh bgt. Tabunganku juga belum cukup

Please

Kamu sayang aku kan?

Hm... aku usahain ya by

Doain biar dana aku cukup sebelum kamu ultah

Aku juga mau ketemu kamu


"Tadi muka lo asem banget, sekarang senyum-senyum. Gak jelas lo!" komentar Sekala saat melihat Arlan tersenyum lebar sambil menatap ponselnya.

Arlan menurunkan ponsel, lalu mengangkat bahu. "Ada yang bagus aja."

"Apaan?" tanya Rizal kepo.

"Adalah!" Arlan kembali menyesap rokoknya. "Tunggu tanggal mainnya pas ultah gue."

Arlan kembali tersenyum lebar, lalu membumbungkan asap rokoknya tinggi-tinggi. Selama ia mau, tidak ada yang tidak bisa didapatkannya. Termasuk gadis itu

***

Waktu pun berlalu. Akhirnya Aixa bisa mengumpulkan uangnya untuk terbang ke Bandung dan bertemu Arlan. Ini adalah harinya. Laki-laki itu berjanji akan menjemputnya di bandara ketika tiba nanti.

Aixa merapikan bajunya ke dalam koper. Ia tersenyum memikirkan bahwa dirinya akan segera bertemu dengan Arlan—pacarnya. Sambil memasukan baju dan perlengkapan lainnya, ia pun bersenandung pelan. Tidak peduli kalau tabungannya terkuras untuk ongkos bolak-balik, Aixa tetap bahagia karena salah satu keinginan kecilnya dapat terwujud.

Ketika memasukan peralatan mandi ke koper, tiba tiba saja ponselnya berbunyi. Getaran panjang itu menandakan sebuah panggilan masuk. Ia tersenyum, mengira panggilan itu dari Arlan. Namun, justru nama mamanya yang muncul di sana.

"Halo, Ma?"

"Aixa sayang ...." Suara mamanya terdengar bergetar, membuat Aixa langsung diserang kepanikan.

"K-kenapa, Ma?"

"Nenek kamu meninggal," ucap mamanya, lalu terisak.

"APA?!" Aixa langsung menutup mulutnya. Air mata pun mengalir saat itu juga. "K-kapan, Ma ...."

"Baru aja, Xa. Dia tadi mau banget ketemu kamu," jawab mamanya. "Mama harap kamu datang ke rumah besok buat liat nenek kamu terakhir kalinya."

Aixa dan neneknya memang terbilang cukup akrab. Meski tinggal di daerah berbeda, ia tidak segan mengirimi Aixa banyak makanan dan camilan kalau ada waktu. Bahkan sesekali berkunjung ke kosan Aixa hanya untuk melepas kangen. Aixa jadi merasa bersalah karean tidak bisa menemani neneknya pada saat terakhir.

Setelah berbicara dengan mamanya dan memutuskan untuk pulang siang ini, Aixa duduk di kasur dengan wajah muram. Seluruh tubuhnya lemas. Ia pun melirik tiket pesawat yang ada di atas meja belajar. Ia tidak dapat menepati janjinya dan kehilangan neneknya di waktu bersamaan. Air mata itu tumpah memenuhi kedua pipi Aixa. Ia menangis sejadi-jadinya dan tanpa sadar terlelap tidur dengan wajah sembab.

VirtualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang