BAB 3

1.6K 158 25
                                    


Hening menyambut pagi yang terasa suram. Aixa tidak bisa memikirkan apapun selain neneknya sejak kemarin. Bahkan, setelah acara pemakaman pun ia tidak sempat membuka ponsel. Aixa larut dalam suasana haru dan kesedihan.

Sampai malam pun tiba. Ia merebahkan diri di kasur kamar tamu, di rumah neneknya. Ketika itulah ia teringat ponsel yang tersimpan di dalam tas yang tertutup rapat. Dengan tubuh lemas, Aixa meraih tas dan membukanya. Ponselnya dalam keadaan mati karena habis baterai. Setelah menghubungkannya dengan charger, Aixa menyalakan kembali ponsel itu.

Ia langsung diserang rentetan pesan dari Arlan, yang membuat matanya membulat.

            Ia langsung diserang rentetan pesan dari Arlan, yang membuat matanya membulat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Emosi Arlan makin meningkat. Ia menelusuri lorong apartemennya dengan wajah yang merah padam. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Ia terlihat seperti akan membunuh siapa saja yang ada di hadapannya saat ini.

Arlan membanting pintu apartemen dengan kasar. Ia pun berjalan menuju dapur untuk mengambil sebotol air es. Diteguknya air itu sampai habis, lalu meremas botol itu sampai remuk. Dibantingnya botol itu sembarang arah sampai menghasilkan bunyi memekakkan telinga. Tepat pada saat itulah Arlan merasakan ponselnya bergetar.

Berada di emosi tinggi membuat Arlan langsung mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa yang meneleponnya. "Halo, ini siapa?!"

"Halo, Arlan sayang." Suara seorang wanita menyapa di seberang sana, membuat tubuh Arlan menegang seketika. "Selamat ulang tahun, ya. Maaf, Mama baru ngucapin. Kamu mau kado apa dari Mama?"

Emosi Arlan makin menjadi saat mendengar suara wanita itu. Nada bicaranya sangat kasar dan mengatakan, "Gak usah sok peduli sama aku! Urus aja diri Mama sendiri! Aku gak butuh Mama, NGERTI?!"

Arlan memutuskan panggilan secara sepihak, lalu buru-buru mengambil jaket kembali. Ia merampas kunci motor di atas meja, lalu segera pergi dari apartemennya untuk mencari hiburan.

Untuk apa wanita itu menghubunginya? Bukankah ia sudah bahagia dengan keluarga barunya? Setelah meninggalkan Arlan begitu saja di usia muda, apakah ia sekarang ingin kembali menjadi ibu yang baik bagi Arlan? Tenang saja, Arlan tidak sepolos waktu itu. Ia tidak akan membuka hatinya semudah itu untuk wanita yang telah menyakitinya.

Mata dibalas mata. Gigi dibalas gigi.

Motor Arlan berpacu cepat dengan angin malam. Ia tidak tahu ke mana roda itu mengarah, yang penting jauh dari segala kekacauan hari ini. Akhirnya, Arlan memutuskan untuk masuk ke sebuah bar langganannya. Tanpa perlu berpikir lama, ia langsung memesan minuman yang biasa dipesan.

Minumannya sudah jadi, Arlan langsung meminumnya dengan sekali tegukan yang membuat dirinya sedikit mabuk. Kebisingan di bar ini tidak serta merta membuat Arlan terhibur. Ia malah semakin kosong dan marah. Tidak mendapat apa yang ia mau, Arlan pun berjalan keluar setelah membayar minumannya. Pada saat berbalik, ia tidak sengaja menyenggol pria berumur kisaran tiga puluh tahunan.

VirtualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang