Luka dan Amarah

5 0 0
                                    

"Daisha! Cowo lo berantem di sekre" aku mendengar rere berteriak, dan berita yang di bawanya cukup membuatku shock. Pasalnya, arga selama ini tidak pernah menyelesaikan masalah dengan berkelahi.

"Kenapa sampai berantem re? Masalah hima?"

"Bukan sha, duh gara-gara apa ya? Na-nanti lo tanya sendiri ke arga deh"

"Boleh minta tolong ngga re?"

"Boleh banget, mau kesana kan? Let's go.. gue anter"

Rere ini teman satu-satunya yang tersisa setelah aku buta di kampus, entah mengapa semua orang yang aku anggap teman mulai menjauh semenjak aku buta kecuali rere. Aku paham dan sadar diri, mungkin mereka menganggap aku akan merepotkan. Tidak apa-apa.

Sesampainya di sekre, masih kudengar suara pukulan dan teriakan. Dan akhirnya aku tahu apa alasan arga untuk memukul doni.

"Emang benerkan ga? Lo bertahan sama daisha cuma gara-gara dia cantik doang?"

Pukulan kembali dilayangkan, mungkin itu arga yang melakukannya. Aku masih menyimak, tidak berniat untuk menghentikan sama sekali, aku ingin tahu pandangan orang semacam doni terhadapku.

"Oh, atau udah lo cobain sih daisha? Jadi gue ngomong gini doang marah banget lo, ngga bisa diajak bercanda nih sekarang arga. Baperan"

"Gue bunuh lo don!"

"Arga Adhinatha! Peringatan 1, ngga berhenti aku marah"

Sepertinya, teriakanku terdengar di telinga arga. Tidak ada suara lagi, semua diam, aku meminta rere untuk mendekatkanku ke arah doni.

"Don, lo pikir gue pelacur bisa di cobain? Kalo lo pikir gue begitu, kenapa dulu lo nembak gue? Pengin cobain juga?"

"Arga sini, mana arganya?"

Arga mendekat kearahku tanpa mengatakan apapun, yang dia lakukan hanya menggandengku menjauh dari tempat itu. Mungkin.

Arga membawaku untuk duduk, entah dimana. Tapi ini seperti taman fakultas, karena anginnya sejuk.

"Kenapa berantem?"

"Kenapa ngomong gitu?"

Kita berbicara bersamaan, tidak ada jawaban. Sampai akhirnya arga menghembuskan nafas kasar.

"Aku ngga suka cowo brengsek itu ngomong aneh-aneh tentang kamu"

"Yang dia omongin bener apa engga?"

"Enggalah!"

"Yaudah jangan marah-marah.. mana, ada yang sakit ngga? Ada yang luka ngga? Jangan bohong, kamu tau kan aku ngga suka di bohongi, ga?"

"Ini tangan aku luka, sama ujung bibir"

Aku meraba wajah arga, mencari letak ujung bibirnya. Kemudian tanpa aba-aba aku mengecupnya sekilas, dan mengecup tangannya yang kurasakan memar dan bengkak.

"Aku ngga bisa obatin kamu ga, maaf ya"

"Udah sembuh, langsung!" Ucap arga bersemangat dan langsung menarikku kedalam pelukannya.

"Kamu lebih dari obat sha"

Bercerita sedikit tentang doni, saat memasuki awal semester 2 dia sempat mengutarakan perasaannya padaku dan dia memintaku untuk menjadi pacarnya. Jelas saja ku tolak, aku sudah bersama arga. Walaupun aku sedang tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa saat itupun aku tidak akan menerima doni, dia terlihat brengsek sejak awal.

---------------------

'Ga, aku nunggu di halte depan ya?'

"Loh jangan sha, di kelas aja nanti aku jemput. Sebentar lagi kelar kok ini rapatnya"

'Tapi rere dijemputnya di halte, jadi aku sekalian bareng dia'

"Mana rerenya? Coba, aku mau ngomong"

Panggilan sudah beralih ke rere, aku segera menjauhkan telinga. Karena suara rere amat sangat lantang.

'Apa?'

"Re, gue minta tolong ya walaunpun lo udah di jemput jangan pergi dulu sebelum gue dateng, please?"

'Iya, aman kali daisha sama gue mah. Lagian belum jemput kok supir gue, masih agak lama katanya lagi di bengkel'

"Oke, thanks a lot re. Gue usahain kelar cepet. Balikin dong ke cewe gue"

'Iya ga? Udah ya? Aku tutup telfonnya'

"Jangan ditutup sayang, biarin aja"

'Oh yaudah oke, aku sambil ngobrol sama rere ya. Kamu fokus rapat aja dulu'

Akupun kembali fokus untuk menyelasaikan rapat akhir kepengurusan periode angkatanku. Sampai dari telfon yang masih tersambung dengan daisha terdengar suara teriakan rere.

'Heh, lepasin ngga daishanya. Doni sialan!'

Aku langsung memutuskan pamit terlebih dahulu dan langsung meninggalkan ruang rapat. Benerkan firasatku, doni masih dendam perihal tadi siang. Aku langsung melajukan mobilku kencang ke arah halte.

"Lepasin cewek gue sialan!" Tanpa aba-aba aku langsung memukul doni, yang saat itu kulihat sedang menarik tangan daisha kasar.

Setelahnya tanpa balasan, tanpa perkataan apapun. Hanya ada tatapan benci, doni pergi.

Daisha terlihat lemas dan hampir saja jatuh jika saja tadi reflekku tidak bagus. Karena daisha tidak berbicara apapun, aku memutuskan untuk membawanya pulang.

Sesampainya di depan rumah daisha, dia menahan tanganku agar aku tidak langsung beranjak.

"Maaf dan terimakasih ga"

"Untuk?"

"Maaf karena kamu jadi berantem sama doni, terimakasih karena sudah menjadikan aku prioritas. Padahal aku cuma cewek buta"

"Sha, kamu bukan cuma cewek buta. Aku ngga suka kalimat kamu barusan"

"Aku sama doni emang ngga temenan juga kok, dia pernah nembak kamu dulu. Mana ada aku temenan sama dia, lagian emang sekali-kali di butuh pukulan sha. Bukan cuma aku sama kamu yang di ganggu, anak lain juga banyak yang di ganggu sama dia. Eh, loh kok nangis?"

Akupun langsung memeluk daisha untuk menenangkannya.

"Aku sayang kamu ga"




EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang