Author : Vell
Donghyun pov
-
Aku terbangun, dengan keringat yang mengucur deras dari pelipisku. Debaran jantungku yang berpacu sangat kencang membuatku harus menarik nafas untuk menenangkan diriku sendiri.
Mimpi itu lagi.
Semua terasa sangat nyata. Bahkan hembusan nafas terakhirnya pun juga. Kupejamkan kembali mataku, berusaha mengeyahkan bayangan Joochan yang semakin terukir jelas.
Kubuka mataku, dan mulai menarik nafas lagi. Saat akhirnya kakiku mulai menginjak lantai, kuambil ponsel yang terletak di atas meja.
Kubuka layar kuncinya hanya untuk melihat puluhan telepon serta pesan yang masuk sejak 4 jam yang lalu.
Apa yang terjadi? batinku bingung.
Aku menelpon ulang nomor itu. Terdengar nada sambung yang cukup lama, sebelum kemudian seseorang mengangkatnya.
Kepalaku sudah penuh dengan ratusan, bahkan ribuan skenario terburuk yang kucoba enyahkan.
"Bomin ah?" panggilku.
Tidak ada suara sama sekali, membuatku mengasumsikan hal buruk telah terjadi. Bergegas aku berdiri dan mulai mengganti baju. Masih sambil memegang ponsel, aku terus memanggil nama Bomin.
Bomin masih tidak menjawab, dan kini aku mulai mendengar rintihan tangis.
Sebenarnya ada apa?
"Bomin ah, jangan bercanda denganku. Kau membuatku khawatir."
"Ya!! Choi Bomin!!"
Aku berteriak saat tanganku membuka gagang pintu apartemen yang sudah 2 bulan ini menjadi tempatku bernaung. Langkahku cepat, aku bahkan menuruni tangga karena terlalu lama menunggu lift.
Pikiranku sudah berasumsi macam-macam. Apalagi saat tiba-tiba rintihan tangis itu menjadi semakin nyaring.
"Hyuung.. "
suara bomin mulai terdengar, membuatku menghentikan langkahku.
Dan perkataannya setelahnya membuatku terduduk seketika. Aku terdiam kaku, berusaha berpikir apa yang kudengar bukanlah yang sebenarnya terjadi.
" Donghyun hyung... Joochan hyung meninggal.. "
Ponsel di tanganku terjatuh, aku melipat kedua tanganku dan menumpukan kepalaku disana. Tangisanku mulai terdengar, memenuhi sudut-sudut tangga yang hanya ada aku seorang.
Aku baru saja kehilangannya. Dia baru saja meninggalkanku.
***
"Aku akan mengajakmu kencan, aku janji."Senyuman itu, aku ingat saat dia tertawa seraya berjanji hal yang tidak mungkin bisa ia kabulkan. Dan bukannya tersenyum seraya menjawab aku malah membuatnya merenung.
"Jangan berjanji hal yang tak bisa kau tepati."
Ah, jika bisa mengulang, aku mungkin akan mengangguk seraya tersenyum sambil berkata, "Oke, kau sudah berjanji. Aku akan berdandan yang rapi saat kita kencan nanti."
Orang-orang berpakaian rapi satu persatu berdatangan. Aku bahkan tidak mengenalnya. Mereka ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir, hal yang memang biasa dilakukan jika ada seseorang yang meninggal.
Aku sendiri hanya bisa diam di sudut ruangan, pandanganku tidak kosong. Penampilan ku kacau, tapi tidak sekacau Bomin yang menunduk di sebelahku.
Aku tahu rasanya, keluarga satu-satunya meninggalkannya pergi. Karena ia pun juga meninggalkanku pergi.