6. Mata Elang

17 4 2
                                    

SMP Internasional Jakarta,
18 Maret 2014
07:00 WIB

Seorang siswi SMP baru saja turun dari sebuah mobil pribadi di depan gerbang sekolah dimana terdapat tulisan 'SMP Marionette Jakarta' pada palang yang terletak tepat di atas gerbang. Banyak siswa SMP tersebut yang berlalu lalang di sana.

Ia masuk ke dalam area sekolah sendirian tanpa ada teman yang menyapa atau mengajaknya pergi ke kelas bersama. Raut wajahnya yang datar membuatnya terlihat tidak bersahabat, padahal bentuk wajahnya memang seperti itu.

Bentuk wajah oval dan mungil, kedua alisnya tipis, hidung mancung yang indah, mata kecil dengan tatapan tajam yang mirip dengan mata elang dan bibir dengan ketebalan yang menengah membuatnya memiliki bentuk wajah yang garang. Sebetulnya itu tidak bisa dijadikan patokan untuk gambaran kepribadiannya atau caranya bersikap. Hanya saja, orang-orang menjadi enggan untuk sekedar menyapanya. Ia tidak masalah dengan situasi itu dan sudah cukup terbiasa selama beberapa tahun belakangan ini.

Ia terus berjalan tanpa menghiraukan orang-orang yang sedikit menjauh darinya ketika berpapasan dengannya hingga mencapai kelas. Dengan sedikit asal, ia meletakkan tasnya di atas meja dan mendudukkan dirinya di kursi yang terletak di pojok kiri belakang kelas. Ia sengaja memilih kursi tersebut agar tidak ada yang perlu merasa takut ketika melihatnya. Hal ini membuatnya tampak terasing dan sedikit menyedihkan.

"A-ariana." panggil seseorang yang berhasil mengacaukan lamunannya sembari memandang jendela kelas yang terbuka dan berada tepat di sampingnya.

Yang dipanggil pun menoleh. Wajah dinginnya membuat si pemanggil menjadi gugup dan langsung menurunkan pandangannya.

"Ada apa?" Tanya Ariana.

"K-kamu di-dipanggil o-oleh bu Ge-gendis ke k-kantor g-guru." Jawab siswi yang namanya telah tercantum di papan nama yang terpasang di kemeja putihnya dan bertuliskan Lutia Sahara.

Setelah itu, ia langsung kabur dari hadapan Ariana dan pergi entah kemana.

Ariana menghela nafas, lagi-lagi ada yang ketakutan setelah bicara dengannya. Ia segera bangkit dari duduknya dan menuju ruangan guru untuk bertemu bu Gendis, guru bahasa Indonesia yang senang mengamuk ketika ada yang mengacaukan penjelasannya.

Bahkan ketika ia berdiri dan mulai melangkah keluar kelas, semua teman-temannya terdiam dari kegiatan masing-masing dan tidak ada satupun yang berani melirik ke arahnya. Ariana tidak ambil pusing karena ia sudah mulai terbiasa dengan suasana tersebut.

Bahkan di sepanjang koridor dari ruang kelasnya menuju ruangan guru, orang-orang yang ada di sana, semua enggan menatapnya. Sejujurnya itu cukup menyakitkan bagi Ariana dijauhi oleh satu sekolahan. Ia sendiri tidak tahu alasan mereka semua seperti itu, apalagi ia baru menginjak tahun kedua sebagai siswa SMP di sana.

Ariana terus menguatkan dirinya ketika semua itu terjadi dan berusaha menganggap bahwa keadaan itu tidak akan mempengaruhinya sedikit pun.

Sesampainya di ruangan guru, terdapat tiga orang guru yang tinggal di dalamnya. Sementara sisanya sudah pergi mengajar ke beberapa kelas.

Ariana berjalan menuju meja bu Gendis yang berada dekat dengan pintu masuk ruangan.

"Permisi, bu. Ada apa memanggil saya ya, bu?" Ariana lebih dulu bertanya setelah berada di hadapan bu Gendis.

Inside of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang