Rumah Keluarga Ariana, 4 April 2021
20:00 WIBSuasana malam hari yang hening sedang meliputi bagian internal rumah. Tidak ada pencahayaan yang terang kecuali tempat yang dijangkau oleh cahaya lampu taman dan semburat bulan purnama. Mulai dari kamar tidur hingga ruang tengah benar-benar gelap. Namun, Ariana justru dalam diam berbaring di atas sofa panjang abu-abu yang terletak di ruangan bersantai atau tempat khusus pertemuan keluarga yang memiliki jendela besar dan menghadap ke arah taman belakang yang dipasangkan sekitar empat lampu taman seukuran bola voli. Berkas cahaya dari lampu-lampu taman tersebut menyusup dari jendela dan menerangi sebagian kepala Ariana.
Matanya memang tertutup, namun ia tidak tidur. Ia terus memikirkan hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini. Mulai dari keanehan pada emosinya hingga teka-teki kematian ibunya yang belum menunjukkan titik terang. Tangan kirinya diletakkan di atas dahi dengan telapak tangan yang dikepal lemah, sementara tangannya yang lain terkulai ke arah lantai. Sejak tadi, salah satu musik klasik yang ditulis oleh Mozart terus berputar lembut menemani renungan Ariana.
Tiba-tiba terlintas sebagian ingatannya ketika mengunjungi Dokter Erina untuk melakukan pemeriksaan terjadwalnya.
"Sebenarnya kamu tidak hanya menderita PTSD. Aku sempat meneliti kembali hasil pemeriksaan pertamamu dan menemukan bahwa kamu memiliki indikasi berkepribadian psikopat karena jawaban-jawaban yang kamu berikan sedikit berbeda dari pemikiran normal. Aku tidak tahu apakah ini benar atau memang aku yang sudah salah menilai. Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan memastikannya sekali lagi nanti."
Begitu kira-kira ucapan Dokter Erina yang membuat Ariana kembali merasa bahwa memang ada sesuatu di dalam dirinya.
Itu bukan imajinasi abnormal ataupun emosi yang wajar. Itu seperti sisi lain yang berpotensi membahayakan siapapun termasuk dirinya sendiri. Ia memang sempat bersikap tidak terkendali dan berakhir dengan bertindak brutal atau menahannya hingga kehilangan kesadaran. Namun, ia lebih percaya dengan diagnosa PTSD dibanding omong kosong yang disebutkan oleh Dokter Erina beberapa hari yang lalu. Ia merasakan sendiri gejala PTSD dan itu lebih meyakinkan daripada disebut memiliki kepribadian 'lain'.
Tiba-tiba perasaan rindu kepada ibunya mengusik renunangan malamnya. Ia membuka matanya, lalu setetes air mata terjatuh dari salah satu sudut matanya. Jika saja ibunya tidak tewas hari itu, maka ia bisa menceritakan semua keluh kesahnya. Kalau pun kabar bahwa ia memiliki gangguan mental akan menghancurkan hati ibunya, ia yakin pasti bisa bangkit karena dukungan ibunya dan keberadaan sang ibu di sisinya. Sekarang, ia tak hanya harus berjuang seorang diri untuk mendapatkan kebenaran akan kematian ibunya, ia juga harus bertahan hidup dengan gangguan mental yang setiap harinya sedikit demi sedikit melemahkan langkahnya.
Ariana bangkit dari sofa dan berjalan menuju lemari yang berada di depan sofa. Lemari kayu berukuran sedang dengan banyak pintu kecil. Tiga buah guci yang dipasangkan bunga buatan ditata simetris di atasnya. Ariana membuka salah satu laci yang berada di bagian paling atas lemari. Di situ ada banyak tumpukan album foto dan berkas-berkas penting milik ibunya. Saat hendak menarik salah satu album foto, sebuah amplop putih dan buku tulis kecil terjatuh ke lantai dan hampir menimpa kaki kiri Ariana. Perhatian Ariana pun teralih karena terkejut melihat benda yang jatuh di dekat kakinya. Amplop putih dan buku tulis kecil itu baru pertama kali ia lihat. Dengan rasa penasaran yang tinggi, ia memungut kedua benda tersebut dan membawanya duduk ke sofa.
"Rumah sakit Universitas Dongwon?" gumam Ariana membaca tulisan yang ada di pojok atas amplop.
"Sejak kapan ibu pernah mengunjungi rumah sakit di Korea?"
Dengan hati-hati, Ariana membuka isi amplop tersebut. Ternyata itu adalah surat hasil pemeriksaan kejiwaan. Tak berbeda jauh dengan surat yang ia dapatkan dari Dokter Erina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inside of Me
Mystery / ThrillerAriana Lee tanpa sebab dideportasi dari Korea Selatan ke Indonesia. Fakta bahwa dirinya memiliki separuh darah Korea tidak mampu membuatnya bertahan di negara asal ayah kandungnya di samping tujuan awalnya ke sana untuk melanjutkan pendidikan. Seha...